Kamis, 15 Juni 2017

Membincang Dugaan Plagiasi Film Surat dari Praha




      Film berjudul Surat dari Praha (SDP) yang dibintangi Julie Estelle kini tengah ramai dipergunjingkan. Pasalnya, judul film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko dan diproduseri Glenn Fredly tersebut sama dengan judul sebuah buku kumpulan cerpen (kumcer) karya Yusri Fajar, sastrawan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Kumcer SDP lahir lebih dulu, yaitu tahun 2012 dan diterbikan oleh Aditya Media (Malang), sementara film SDP belum tayang di bioskop. Wajar jika kemudian publik mengira/mempertanyakan apakah film SDP adalah hasil adaptasi kumcer karya Yusri Fajar tersebut. Apalagi, publik sudah tidak asing dengan fenomena film yang lahir dari hasil adaptasi dari cerpen atau novel, baik film Indonesia maupun film Barat. Fenomena menariknya, justru Yusri Fajar baru tahu ketika informasi akan lahirnya film SDP sudah menyebar di media massa, padahal sebelumnya belum ada komunikasi dari pihak Tim Produksi film.


          Sebenarnya hal tersebut bukan yang pertama terjadi dan tidak saja di ranah sastra. Dalam kancah musik pun pernah juga terjadi. Cerpen Shalawat Dedaunan karya Yanusa Nugroho pernah juga diperbincangkan sebab begitu mirip dengan kisah Nenek Pemetik Daun dari Madura. Dalam dunia musik justru lebih banyak lagi. Tingkat kemiripan juga lebih dominan sebab bisa dari segi lirik ataupun aransemen musiknya. Lantas, bagaimana kita menyikapinya?
          Sebuah teks tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Kelahirannya senantiasa dibayangi oleh pengaruh teks-teks lain. Hal ini disebabkan sebuah teks (dalam tulisan ini fokus ke dalam karya sastra) tidak lahir dari kekosongan fenomena. Seorang penulis tentulah mempunyai bekal sebelum menghasilkan tulisan. Bekal tersebut diperoleh dari proses 'pembacaan' yang disadari atau tidak oleh penulis. Baik membaca dalam arti sebenarnya (buku, artikel, dll) atau membaca fenomena yang terjadi di sekitarnya. Hal inilah yang memungkinkan akan lahir sebuah teks yang memiliki hubungan persamaan atau kemiripan dengan teks lain, dalam kadar yang beragam. Hubungan antarteks ini lazim disebut hubungan intertekstualitas.
          Faktanya, seringkali kita menjumpai sebuah karya yang memiliki kemiripan dengan karya yang lain. Bisa dalam genre yang sama atau berbeda. Kemiripan itu bisa dari judul, masalah yang diulas, bahkan isi. Lantas, apakah dengan gegabah kita menghakimi bahwa karya yang lahir belakangan adalah hasil plagiasi atas karya yang lebih dulu lahir? Berdasar uraian yang saya paparkan di awal tulsan ini, tentu jawabnya tidak. Bahwa dua karya atau lebih yang memiliki hubungan kemiripan, belum pasti hasil plagiasi satu dengan yang lain. Bahwa, meskipun satu karya mempunyai kemiripan dengan karya yang lain, masih ada celah kemungkinan bukan hasil plagiasi.
         Setidaknya ada tiga kemungkinan yang menyebabkan terjadinya kemiripan antarteks. Pertama, murni sebuah ketidaksengajaan. Misalnya sebuah cerpen. Dua penulis yang berdomisili di wilayah yang sama dan menghadapai fenomena sama kemudian menjadikan fenomena itu menjadi inspirasi cerita. Tanpa disadari keduanya, karya mereka lahir dengan kemiripan. Minimal kemiripan ide cerita atau masalah yang dikupas. Contoh lain, kedua penulis dalam rentang waktu berbeda menulis cerpen berdasarkan pengalaman mereka ketika tinggal di suatu tempat yang sama. Disebabkan terkesan dengan tempat tersebut, akhirnya lahir karya yang mengeksplorasi tempat tersebut dan jadilah dua karya yang mempunyai kemiripan. Kedua penulis sama-sama tidak menduga jika pada akhirnya akan menghasilkan karya yang sama atau memiliki kemiripan. Kedua, dua buah karya atau lebih memiliki kemiripan sebab karya yang lebih akhir lahir terinspirasi karya yang lebih mula hadir. Bahwa dalam ranah sastra, kita mengenal istilah hipogram untuk menunjuk sebuah teks yang menjadi landasan bagi lahirnya teks yang lain. Ini sah-sah saja dilakukan, tetapi kadar orisinalitasnya yang berkurang. Idealnya, ada keterangan tambahan bahwa karya yang dihasilkan tersebut terinspirasi karya apa, begitu. Untuk kemungkinan kedua ini pernah juga terjadi ketika ada lomba menulis cerpen tentang kisah Panji. Semua cerita yang dilombakan harus bersumber dari kisah Panji. Hasilnya, banyak cerpen lahir dengan memiliki kesamaan cerita, tetapi dalam kemasan berbeda sesuai kreativitas masing-masing penulis. Ketiga, hal yang menjadikan sebuah karya memiliki kemiripan dengan karya yang lain adalah dengan sengaja menjiplaknya, baik sebagian atau seluruhnya.
            Menjiplak atau yang jamak kita kenal dengan tindak plagiasi adalah mengambil karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya, tanpa menyebut sumber yang dirujuk. Tentu tindakan ini sangat tidak dibenarkan. Lalu, bagaimana mengetahui, dua buah karya atau lebih yang memiliki kemiripan tersebut bukan hasil plagiasi, melainkan karena ketidaksengajaan? Jawabannya sederhana, bergantung pada kejujuran masing-masing penulis. Dalam arti, dikembalikan lagi kepada penulis yang menghasilkan karya lebih akhir yang memiliki kemiripan dengan karya yang lahir lebih dulu. Jika, penulis memang benar-benar tidak merasa melakukan tindak plagiasi atas karya yang mirip tersebut (bahkan meski tingkat kemiripannya sangat dominan), ya tidak bisa kita lantas menghakiminya sebagai hasil plagiasi. Pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada penulis.
           Kembali pada kasus di atas, jika memang film SDP adalah hasil adaptasi dari kumcer SDP, tentu sudah seharusnya ada etika yang perlu dilakukan oleh Tim Produksi film yaitu dengan mengubungi penulis kumcer. Ada perjanjian dan aturan yang seyogianya dipatuhi ketika sebuah karya sastra hendak dialihwahanakan ke film, apalagi dengan tujuan komersial. Namun, jika memang film SDP sama sekali bukan adaptasi Kumcer SDP, ya tidak ada yang perlu disalahkan. Kembali pada uraian saya di atas bahwa kesamaan dua karya atau lebih bisa saja karena ketidaksengajaan, kemungkinan tersebut tetap saja terbuka. Jika sebelumnya penulis skenario dan Tim Produksi film SDP menyadari bahwa judul tersebut sama dengan judul sebuah kumcer (padahal bukan adaptasi atau plagiasi), untuk menghindari gejolak di kemudian, seyogianya di awal hendak menginformasikan jika akan diproduksi film dengan judul yang sama, ya melakukan konfirmasi kepada penulis kumcer terlebih dulu. Namun, jika memang penulis skenario atau Tim Produksi film SDP baru menydari bahwa Surat dari Praha ternyata sudah digunakan sebagai judul sebuah kumcer, padahal sama sekali sebelumnya tidak mengetahui, ya sebaiknya ada klarifikasi supaya tidak terjadi kesalahfaman.
         Ringkasnya, orisinalitas sebuah karya memang sulit ditelusuri. Dua buah karya atau lebih yang mempunyai kemiripan belum tentu telah terjadi plagiasi di dalamnya. Bisa saja, ada sebuah karya yang hanya sedikit memiliki kesamaan dengan karya lain, tetapi karena penulis piawai membungkusnya, menjadi tidak terbaca sebagai hasil plagiasi, padahal justru hasil plagiasi. Sebaliknya, sebuah karya memiliki tingkat kesamaan yang dominan dengan karya lain tetapi sama sekali bukan plagiasi. Hubungan intertekstualitas dalam penciptaan karya sangat mungkin terjadi dan akan terus terjadi sebab penulis adalah mahkluk sosial yang senantiasa bergerak dan berinteraksi dengan lingkungan di sekelilingnya. Namun, tentu tidaklah bijak jika memang melakukan plagiasi tetapi bersembunyi di balik intertekstualitas. Kejujuranlah yang utama dalam berkarya. Wallahu'alam.

Dimuat di Radar Malang, Minggu 2 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...