Kamis, 15 Juni 2017

Perempuan Tua dengan Seribu Luka


        Tubuh perempuan itu meringkuk di tepi jalan, di bawah garang matahari yang memanaskan kepala. Bagai tak jauh beda dengan sampah yang tak lagi guna, tak satu pun manusia yang berlalu lalang di depannya memedulikannya. Jangankan sekadar menyapa, melihatnya pun rasanya enggan. Jika saja manusia-manusia itu pernah melihat perempuan itu saat masih gadis dulu, pada waktu muda, ketika kecantikan dan sejuta pesona melingkunginya, barangkali mereka akan menunjukkan reaksi yang berkebalikan. Betapa perempuan tua dengan pakaian camping itu dulu adalah seorang gadis yang  menjadi idaman setiap pria. Bak kembang menawan yang dikerubungi kumbang. Tidak sedikit yang datang padanya dengan menawarkan seperangkat iming-iming dan janji, berebut ingin melamarnya, bahkan dengan segala macam cara yang brutal sekalipun.



         Perempuan itu, Pertiwi, memang sudah tidak seperti dulu lagi. Seperti sumur berlumut yang airnya tak lagi jernih dan berbau sehingga orang-orang yang dulu setia mereguknya kini tak lagi sudi. Yang ada padanya kini sungguh jauh berbeda dengan keadaannya berpuluh tahun lalu. Kini, dia hanyalah manusia renta yang begitu ringkih. Rambutnya yang teramat lama tak tersentuh sisir itu kian hari kian memutih, pori kulit semakin keriput, dan luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya. Dahulu, dia hijau menyegarkan, menyebarkan pesona yang memikat banyak orang. Kecantikannya menguar hingga jauh ke negeri seberang.
            Membayangkan keadaan Pertiwi dulu dengan kini, benar-benar memiriskan hati. Dulu, dia hidup dalam selubung kedamaian, dalam buaian kasih dan sayang kedua orang tuanya. Gemah ripah loh jinawi, semua serbamudah didapat dan saling mengayomi. Leluhurnya adalah barisan manusia yang mengedepankan kerukunan, yang senantiasa mengajarinya akan pentingnya sebuah kedamaian. Masa itu terlewat dengan bahagia, meski sesekali ada goncangan, tetapi itu tiada seberapa.
               Namun, sungguh tiada terduga.
Ketika sawah ladang leluhurnya mulai berbuah, berjuta ikan, rempah-rempah, hamparan nyiur melambai, dan Dewi Sri siap untuk dipanen, tiba-tiba banyak orang serakah datang merampasnya. Kekayaan anugrah Tuhan yang tiada ternilai itu pun mereka renggut dengan paksa, tanpa belas kasih, dan leluhur Pertiwi hanya makan sisanya yang tiada seberapa, dan itu senantiasa terjadi selama berabad-abad lamanya. Lalu, leluhurnya pun menjadi kaum tertindas di negerinya sendiri. Kejam!
Kini, Pertiwi lebih sering mendengar suara-suara sumbang yang lebih pada nada menghina dirinya. Ironisnya, itu adalah suara anak-anak dan cucu-cucu Pertiwi. Mengapa mereka tak lagi peduli dengan Pertiwi, bahkan tak lagi mengenalinya? Mungkinkah karena jiwa bapak mereka telah pergi dari mereka? Ya, bapak mereka, suami Pertiwi: Budaya.

                Budaya...
             Namanya selalu mengisi ruang-ruang kosong khayalan Pertiwi, yang kini telah pergi dan selalu Pertiwi nanti kehadirannya kembali. Pertiwi tidak akan pernah lupa saat-saat itu, saat Budaya pergi meninggalkannya, dan entah apakah dia akan kembali lagi.
 “Kakang Budaya, lirih sang bayu yang berhembus begitu setia menemani kemesraan ini. Debur ombak serasa turut menunduk hormat pada kesucian cinta kita. Kakang Mas, lihatlah anak-anak kita  yang ceria bergumul dengan pasir putih itu! Di mata mereka tergambar jelas masa depan. Merekalah yang akan meneruskan cinta ini, kedamaian ini, cita-cita ini.”
Di sebuah senja, Pertiwi hanyut dalam kedamaian bersama Budaya. Tak cukup banyak kata yang bisa diurai tuk melukiskan rasa yang saat itu  mereka rasa. Namun, entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada banyak tangan kekar yang menarik Pertiwi kuat, mendorong Budaya hingga tersungkur. Mereka berdua terpisah. Terdengar suara-suara tawa menggelegar manusuk-nusuk telinga.
“Kang Mas...!!!” teriak Pertiwi sekuat tenaga.
Orang-orang berjas rapi dan berdasi menghajar Budaya, tanpa ampun. Pertiwi hanya menjerit dalam tangis, tak ada yang lain karena kedua tangannya terbelenggu tali-tali keserakahan, keangkuhan.
“Dindaaa….” Budaya berusaha melepaskan diri dan menggapai Pertiwi. Nihil, gerombolan orang-orang itu terlalu kuat.
“Diammmm…!” lantang salah satu dari mereka bersuara memekakkan telinga, mengumandangkan kata bahwa mereka adalah penguasa yang lebih berhak atas diri Pertiwi dan Budaya.
Budaya dihajar, diseret pergi.
“Kang Mas... Kang Maass...!!!”
“Dinda… “
“Kang Mas… “
aaa
Kang Mas... Kang Mas....
Pertiwi terhanyut dalam lamunan.
Kejadian itu tak pernah hilang dari ingatannya karena saat itulah dia dipisahkan dengan suaminya, hingga kini. Entah, kini suaminya itu masih hidup atau sudah tiada. Semenjak mereka dipisahkan dulu, tak pernah sedikit jeda pun rasa rindu luput dari benak Pertiwi. Sejak saat itu, tak ada lagi yang mengasihi Pertiwi layaknya kasih Budaya. Pun seandainya kini Budaya kembali, mungkin sudah tidak mengenali Pertiwi lagi. Sebenarnya, jauh dalam bilik hati Pertiwi sangat berharap Budaya akan kembali padanya. Namun, Pertiwi dibelit ragu, apakah Budaya masih bisa menerima kondisi Pertiwi. Pertiwi sudah dijamah ribuan tangan tak berhati.
Kakang... dimanakah kini kau berada? Kemana aku harus mencarimu? Aku merindukan kehadiranmu, aku membutuhkanmu.
Pertiwi hanya bisa merintih. Terbelenggu kesepian. Terkurung dalam penderitaan. Anak dan cucu Pertiwi tak pernah mau menggantikan apa yang telah dilakukan suaminya dulu kepadanya. Sekarang, setelah mereka tumbuh besar dan pandai-pandai, justru mereka hanya bisa menderitakan Pertiwi. Mereka saling berebut peninggalan Pertiwi: lautan, hutan, gunung-gunung, kekayaan, dan semua isi rahim Pertiwi. Mereka telah kehilangan rasa belas kasih dan rasa syukur pada Yang Menjadikan mereka ada. Mereka tampak seperti bukan manusia lagi.
aaa
Pertiwi bangkit, dengan sisa-sisa tenaga dia berjalan tak tentu arah. Sesekali terseok karena kaki yang menopang tubuhnya sudah dipenuhi luka hingga tak lagi kuat seperti dulu. Luka dan kecewa memenuhi hatinya. Rindu pada Budaya, kecewa dengan anak cucu yang tak mau berbhakti kepadanya. Terkadang amarah mencuat saat melihat anak cucu yang mengolah sawah ladangnya malah memberinya racun. Ada juga  yang tanpa malu menggunduli hutan-hutan Pertiwi demi kepuasan perut mereka sendiri. Melihat semua itu membuat pertiwi semakin rapuh. Rambut pun tidak hanya memutih, tetapi mulai rontok satu satu. Luka-luka di tubuhnya tidak kian mengering, tapi justru kian menganga lebar di sana-sana. Aroma kematian begitu menyengat. Namun, pantang bagi Pertiwi untuk menyerah. Di ujung jalan yang lengang, tubuh Pertiwi ambruk, tersungkur.
Anak-anakku... jika air mata ini tumpah, bukan sebab aku meratapi diriku yang renta ini. Tapi sebab aku mencintai kalian semua. Sadarilah bahwa aku termat mencintai kalian. Sadarilah, jika aku sampai mendapati ajal, kalian pasti akan menyesal. Tuhan, apakah ini pertanda hidup sudah di ambang batas kematiannya? Tuhan, izinkan aku melihat lagi kedamaian yang dulu pernah kualami bersama suamiku, Budaya.
Seolah nirsadar, Pertiwi mengungkapkan rasa di benaknya. Kali ini tangisnya pecah. Ia mencoba berdiri, tetapi tak lagi mampu.
Kulihat ibu pertiwi...
Sedang bersusah hati...
Air matanya berlinang....
........................................

Lamat terdengar syair mengalun lembut. Pertiwi terkesiap. Itukah suara anak cucuku? Masih adakah di antara mereka yang menyayangiku? Bisik pertiwi dalam hati. Dan, air mata itu kian deras.
aaa


(Dimuat di Solopos, beberapa waktu lalu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...