Jumat, 16 Juni 2017

Samalona dalam Cerita




Siang yang cukup terik itu dermaga Pantai Losari terlihat ramai. Riuh suara orang dengan beragam urusan membuat suasana terasa panas. Beberapa orang menawari saya untuk menyeberang ke pulau Kayangan atau Samalona. Saya yang semula hanya iseng, akhirnya memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu saya di Makassar itu untuk mengunjungi pulau Samalona. Malam harinya, saya harus ke bandara karena harus kembali ke Jawa.



Ternyata, tarif yang ditawarkan para nahkoda kapal itu rata-rata sama dengan info yang saya peroleh dari laman-laman yang mengulas seluk beluk Samalona, termasuk tarif. Meskipun begitu, saya tetap usaha nego dengan salah satu nahkoda yang mendekati saya. Aha, berhasil, berkurang 10%, lumayan. Deal, saya dengan seorang teman saya akhirnya menyeberang menuju Samalona, sebuah pulau kecil di tengah lautan luas di Provinsi Sulawesi Selatan. Pergi-pulang diantar dengan kapal-lebih tepatnya perahu saja-dan sekitar pukul lima sore sudah kembali lagi ke Losari. Estimasinya, saya hanya punya waktu maksimal tiga jam untuk menikmati Samalona. Sarana transportasinya memang hanya dengan menyewa perahu sendiri-sendiri. Untuk lebih hemat sebenarnya bisa gabung dengan lain rombongan jika ada. 

Perahu pun perlahan meninggalkan dermaga Losari. Tidak lama, perahu kami berhenti di pulau Lae Lae. Pulau ini tidak begitu jauh jaraknya dengan dermaga tadi. Rupanya Pak Nahkoda ingin mengisi bahan bakar. Ok, semua beres, perahu kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah lautan, saya sempat merasa ngeri karena perahu yang kami tumpangi berpapasan dengan perahu-perahu besar. Terkadang perahu goyang-goyang terkena ombak efek perahu besar yang melintas. Namun, saya tetap menikmatinya dengan melempar pandang jauh ke berbagai sudut dan jeprat jepret dengan kamera.

Sekitar satu jam, kami sampai di pulau Samalona. Pulau yang dikelilingi pantai berpasir putih itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa rombongan wisatawan yang sedang bermain di pantai. Pulau indah itu 'hanya' dihuni tak lebih dari 15 kepala keluarga. Sekelilingnya lautan luas.

Pulau itu tidak luas, hingga tak butuh waktu lama pun sudah tuntas menjelajahinya. Yang menawan di pantai ini selain pasirnya yang halus dan putih, adalah airnya yang jernih hingga dasar lautnya terlihat.
Setelah puas, kami pun meninggalkan Samalona. Kali ini suasana tampak mendung. Pak Nahkoda membuka tirai perahu yang sebelumnya digulung dan diikat. "Supaya tidak terkena air karena jika sore angin dan ombaknyanya kencang, Mas," kata si Bapak. Saya masih santai saja, wajar-wajar saja saya kira. Saat perahu mulai agak jauh meninggalkan Samalona dan pulau itu tinggal terlihat gundukan tanah kecil yang hijau, saya merasakan angin memang kencang dan kian kencang. Hingga, benar saja airnya menyiram tirai perahu dan baju kami tak luput juga dari cipratan air. Ah, masih aman, pikir saya.
Namun, ketika Samalona sudah lenyap dari pandangan saya dan yang saya lihat sekeliling hanya lautan, tiba-tiba mesin perahu itu mati. Karena mesin itu mati, perayu tidak ada tekanan sehingga guncangannya begitu keras. Saat itu perasaan saya mulai was-was. Saya dengan teman saya hanya diam sambil menunggu tindakan yang hendak dilakukan Pak Nahkoda. Meskipun saya bisa berenang, tetapi kondisi di tengah samudera seperti itu dan sialnya ternyata kami tidak dilengkapi dengan rompi pelampung membuat hati saya semakin was-was.
"Bensinnya kok sepertinya habis ya, Mas?" kata Pak Nahkoda yang bahkan saya lupa menanyakan siapa namanya. Saya dan teman saya yang waktu itu sama-sama menghadiri acara seminar di UMI, sama-sama memandang, seperti saling bertanya,"lalu bagaimana?" Namun, kata-kata itu urung kami ucapkan. Hingga kami memilih diam dalam kecamuk hati masing-masing.

Ya Allah, betapa saat itu saya merasa ajal saya sudah dekat. Beragam doa pun terucap dari mulat saya. Teringat semuanya. "O begitu ya, Pak," kurang lebih begitu respon saya akhirnya. Saya menjawabnya dengan santai agar kami tidak saling tegang. Saya tidak tahu harus melakukan apa atau menyalahkan siapa, tetapi saya berpikir tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Tenang dan terus berdoa agar keajaiban datang. Toh, mau bagaimana lagi, emosi pun tidak menyelesaikan urusan, justru kami ketar ketir karena baju kami mulai basah akibat siraman air laut yang semakin kencang akibat mesin mati. Setelah sekitar sepuluh menit berlangsung, saya sedikit mendekat ke arah mesih perahu di belakang. Sungguh, doa saya waktu itu begitu tulus memohon kepada Allah agar jangan ambil nyawa saya di tengah samudra seperti itu. Dan ketika saya hendak bertanya kepada Bapak apa bensin benar-benar habis karena tadi sudah diisi, tiba-tiba usaha Pak nahkoda itu berhasil. Mesin perahu menyala. Ah, entah itu apa bensin sisa-sisa atau memang sebenarnya belum habis, saya tidak peduli. Yang pasti kami bertiga diam, seolah masing-masing berkata ayo segera jalan dan sampai di Losari, atau minimal Lae-lae sebelum bensin ini benar-benar habis. Akibatnya, saya tak henti berdoa dan merasa dalam ketegangan selama perjalanan pulang. Perjalanan menuju Samalona yang awalnya saya nikmati dengan berfoto ria dan senyam senyum, sekembalinya berkebalikan 180%. 

Alhamdulillah, entah sebenarnya apa yang terjadi, perahu kami pun mulus merapat ke Lae-Lae. Legaaaaa sekali, hingga ketika Pak Nahkoda itu sibuk dengan perahunya, saya menyempatkan turun ke Lae Lae dan menikmati pantai, seolah tidak terjadi apa-apa. 

Perahu bertolak menuju Losari. Ketika langit tampak lembayung, saya sudah menginjakkan kaki lagi di Losari. Jika ingat Samalona, saya menjadi ingat bahwa pertolongan Allah itu dekat. Begitu juga saya ingat bahwa maut senantiasa mengintai kita kapan saja dan di mana saja. Semoga saya senantiasa mengingat keduanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...