Kamis, 15 Juni 2017

Kimono Putih dan Gorden Merah Tua


Cerita ini mungkin biasa saja dan barangkali tidak ada istimewanya. Namun, bagi saya pribadi cukup memberi pengalaman baru dan hikmah tersendiri. Tentang adab memasuki tempat baru, tentang keberadaan makhluk cinpataan Allah selain manusia,  dsb. JIka saya menuliskan cerita ini, sekadar sebagai pengingat bahwa suatu saat nanti, jika saya baca-baca catatan di FB ini, saya ingat detail kronologis cerita yang pernah saya alami ini. 
Saya berkesempatan menjadi utusan UM bersama satu rekan saya. Beliau seorang dosen senior di Fakultas Teknik. Kegiatannya adalah pelatihan selama dua hari di sebuah hotel terkenal di Surabaya. Ada 37 kampus se-Indonesia, baik PTN maupun PTS, yang diundang di acara tersebut. Tiap kampus maksimal 2 utusan.


Singkat cerita, saya dan teman saya  sampai di hotel pukul 13.00. Usai ragistrasi dan mendapat kunci kamar, kami langsung menuju kamar 1302, sesuai yang tertera di amplop kunci. Ada di lantai 13. Saya tidak berpikir macam-macam, bahkan soal lantai 13. Saya baru menyadari tantang lantai 13 justru setelah kejadian. Bahwa, saya pernah naik lift yang tanpa lantai 13, usai lantai 11, kemudian 12A, 12B, dan 14. Entah apa alasannya, saya kurang tahu persisnya.

Sampai di kamar, saya sudah bisa membayangkan suasana kamar seperti apa karena sebelumnya saya pernah menginap di hotel tersebut, tapi di lantai 6. Kamar yang jauh dari kesan horor atau mistik. Yang tampak adalah kesan mewah. Wajar, setahu saya rate kamar itu per malam mencapai 1,5 juta. Saya dan teman saya pun segera menaruh barang, melihat suasana sejenak, bersihkan badan, sholat, dan segera menuju ruang seminar/pelatihan di lantai 2.

Sekitar pukul 15.15 saya kembali ke kamar seorang diri. Tidak ada perasaan takut apa-apa. Hanya, pas saya di kamar mandi, terdengar suara gaduh dari luar, entah luar kamar mandi atau luar kamar. Sekilas sepert kucing mengejar tikus di atas rumah itu. Tapi saya tidak menaruh curiga apa-apa. Usai keperluan, saya kembali ke ruang kegiatan di lantai 2. Istirahat lagi menjelang maghrib. Kami ke kamar untuk mandi dan sholat. Saat mau sholat, saya sempat ngomong ke teman saya, "Wah, enak Pak njenengan bawa sarung."

Teman saya menjawab, "Apa sampeyan make kimono tidur yang digantung di lemari itu Pak untuk sholat, hehe." 
Sejenak terjadi perbincangan antara kami. Intinya saya sholat pakai celana panjang saja, dan kimono itu tetap pada posisinya, di lemari. Ada 2 kimono berwarna putih. Kami membicarakan fasilitas di kamar itu yang lengkap. Ada papan setrika berikut setrikanya juga di dalam lemari besar itu.
Usai shlat saya sempat melihat suasana Kota Surabaya di malam hari yang eksotis dari jendela kaca yang lebar di kamar itu. Lagi, teman saya ngomong pada saya, "Pak, kita terlihat dari luar tidak kalau gordennya tidak ditutup?" saya bilang tentu tidak dan biar saja gorden terbuka karena pemandangannya bagus. Lalu saya menutup gprden yang berwarna putih transparan agar pemandangan di luar bisa terlihat, sementara gorden berwarna merah tua tetap terbuka.
Sebelum makan malam dan kembali ke ruang kegiatan, saya sempat menyalakan laptop untuk ngechek email.

Pukul 18.30 kami turun untuk makan malam dan sekalian ke ruang kegiatan. Kegiatan ini sangat menarik karena pembicara yang luar biasa dari UGM, ITB, dan UB. Hingga pukul 22.30 kegiatan malam itu baru usai. Kami langsung ke kamar karena sudah capek. Begitu masuk kamar, keanehan itu pun terjadi. Pertama, teman saya kaget ketika tidak mendapati sandal hotel di tempatnya. Beliau yakin tadi sandal beliau taruh di tempat sandal di dekat pintu. Ternyata tinggal sandal saya saja. Lalu saya pun kaget ketika melihat ada kimono putih sudah terlipat rapi di atas ranjang saya. Lalu sprei di ranjang saya berubah posisi, seperti ada orang usai tidur di sana. Padahal saya merasa tadi belum sempat berbaring di ranjang bersprei putih bersih itu, apalagi mengambil kimono (saya saja tidak tahu bagaimana melipat kimono itu). Dan, sandal teman saya itu ternyata ada di bawah tepi ranjang saya, persis seperti orang baru bangun tidur dari ranjang saya. Lalu, yang mencolok adalah gorden merah yang tertutup rapat. Aneh.

Saya sempat meyakinkan,ini kamar kami apa tidak, kok terlihat asing. Namun, kami yakin tidak salah kamar. Kami juga yakin bahwa ada yang telah masuk kamar kami. Kami sempat berdiskusi sejenak, sambil mengingat kronologi sebelum kami meninggalkan kamar usai maghrib tadi. Ya, siapa tahu kami sama-sama lupa yang kami kerjakan, misalnya mengambil kimono, menutup gorden, dan sebagainya. Namun, kami yakin dengan ingatan kami masing-masing bahwa yang ada di kamar sekarang berbeda dengan saat terakhir kami meninggalkan kamar. Saya langsung konfirmasi ke petugas hotel lewat telp di kamar. Mbak resepsionis sempat kaget dan akan menghubungi kami kembali. Dia ingin menanyakan ke petugas kebersihan atau apa ada karyawan yang masuk ke kamar kami. 
Telp berdering, mbak petugas hotel berkata bahwa "bisa jadi" ada petugas masuk untuk membersihkan kamar.

Lho, kok bisa jadi?
Saya tahu, tentu petugas hotel itu tidak mungkin menceritakan peluang adanya makhluk halus yang mengubah kondisi kamar kami, bagaimanapun itu menganggu kenyamanan tamu untuk menginap selanjutnya. Saya konfirmasi bahwa kondisinya tidak menjadi bersih tuh Mbak, air minum juga tidak diganti yang baru di mini bar. Setahu saya, make up room itu di pagi hari dan biasanya konfirmasi ke penghuni mau dibersihkan apa tidak. Lalu, Mbak itu memberi saran adar kami pindah kamar, tanpa memberi alasan jelas dan tidak bisa menjawab kegalauan kami tentang kamar itu. Kami pun diminta turun untuk mengambil kunci kamar baru. Kami keluar tanpa membawa barang-barang kami. Sebelum ke Front Office, kami menemui panitia dulu yang kebetulan masih di ruang kegiatan. Panitia juga sempat kaget ketika kami cerita dan menyarankan kami pindah kamar saja. Usai menemui panitia sejenak, kami pun langsung ke FO. Petugasnya laki-laki dan tidak banyak tanya, seolah-olah bukan kejadian aneh dan sudah biasa terjadi. Kami pun diberi kunci di kamar 914, lantai 9. Ada petugas hotel yang mengantar kami untuk membawa barang.

Petugas laki-laki yang masih muda itu mengucap salam ketika hendak masuk kamar 1302. Saya pun membatin,"hmmm...oh ternyata...." 
Saya sempat menceritakan kronologisnya sampai menunjukkan barang-barang yang pindah tadi. Sepertinya petugas itu paham tentang cerita ini. Ah, mungkin sudah biasa terjadi. Kami pun pindah kamar di lantai 9. Usai sholat Isya berjamaah di kamar, kami pun tenggelam dalam tidur karena kantuk, tepat pukul 24.00. Kami tidak ingin banyak cerita karena sudah larut malam, hehehe.
Esoknya kami pun bercerita. Apa yang terjadi sepertinya merespon ucapan kami sebelumnya. Tentang kimono, tentang gorden, bahkan tentang posisi sajadah yang ternyata baru kami sadari bahwa posisinya bergeser. Ah, barangkali kami lupa mengucap salam untuk masuk ke kamar itu. Ah, barangkali sebenarnya kami hendak dimudahkan tetapi kami salah persepsi, tentang komino dan gorden itu. Ah, barangkali memang ada petugas kamar yang masuk dan sempat tiduran di kamar 1302. Ah, entahlah...
Begitu ceritanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...