Jumat, 16 Juni 2017

Inspirasi Tiada Henti: Helvy Tiana Rosa



  
Membicarakan nama Helvy Tiana Rosa serasa tidak ada habisnya.
Saya yakin, jika diadakan survei untuk melacak siapa yang paling banyak berpengaruh dalam mewarnai perjalanan karier kepenulisan para penulis muda di Indonesia, Helvy Tiana Rosa adalah salah satu nama yang akan sering disebut. Hal ini tidaklah berlebihan, sepak terjang Mbak Helvy dalam dunia kepenulisan tentu sesuatu hal yang basi jika diulas kembali. Kalaupun ada orang yang mengaku aktif di dunia kepenulisan tetapi tidak mengenal tokoh yang satu ini, patut disangsikan pengakuannya tersebut.


Setidaknya, saya adalah salah satu dari sekian banyak bukti pembenaran pernyataan di atas: awal ketertarikan saya untuk menekuni dunia tulis menulis adalah ketika mengenal sosok Mbak Helvy. Sosok yang begitu menginspirasi saya dan mungkin juga berjuta orang yang lain. Semoga apa yang saya tulis di kesempatan ini bukan semata untuk menyanjung Mbak Helvy, tetapi lebih kepada ucapan terima kasih saya atas apa yang sudah terjadi pada diri saya hingga detik ini.

Tahun 1999, ketika saya belum lama duduk di bangku kuliah, adalah awal saya mengenal sosok Mbak Helvy. Jika banyak teman-teman yang mengenal mbak Helvy dari majalah Annida, saya justru tidak. Saya tahu nama Helvy Tiana Rosa justru ketika membaca judul skripsi Mas Kundharu Wahyono-salah satu senior di kampus UNS Solo-yang membahas cerpen Mbak Helvy Ketika Mas Gagah Pergi. Ketika saya membaca skripsi tersebut, saya langsung tertarik membaca lampiran cerpen dalam skripsi itu. Barangkali sama dengan orang lain yang membaca cerpen Mbak Helvy itu, usai membacanya saya begitu terkesan dengan cerpen tersebut. Bahkan, saya sering mengulang membacanya. Bisa dikatakan, cerpen Ketika Mas Gagah Pergi adalah cerpen berlabel Islami yang pertama kali saya baca. Saya sebelumnya memang suka membaca cerita, entah itu cerpen ataupun novel, tetapi ketika menemukan cerpen fenomenal itu, saya seperti terhentak. Tidak saja dari segi emosi saya yang teraduk-aduk, tetapi cerpen tersebut seolah memamerkan kepada saya bahwa ada cerpen yang sangat begitu enak dinikmati dan juga menyampaikan pesan-pesan positif yang sangat mudah diserap. Secara nirsadar, saya serasa menemukan menu bacaan yang selama itu saya cari.

Melihat reaksi saya usai membaca cerpen tersebut, ada salah seorang senior di kampus yang mengenalkan saya dengan majalah Annida. Betapa bahagianya saya setelah saya menemukan ada nama Helvy Tiana Rosa di sana. Saya masih ingat, dan sampai sekarang masih saya simpan, edisi pertama yang saya baca adalah Annida edisi No.02 Tahun IX November-Desember 1999. Hampir keseluruhan cerita yang ada di majalah itu membuat saya terpana, barangkali karena bertepatan dengan edisi pemuatan cerpen-cerpen pemenang LMCPI IV. Salah satu cerpen yang menjadi andalan adalah cerpen yang berjudul Kucing karya Mas M. Irfan Hidayatullah, yang waktu itu mendapat juara I LMCPI. Cerita lain yang kian membuat saya ‘jatuh cinta pada pandangan pertama’ dengan Annida adalah tulisan Aisyah Shihab dalam kolom Cathar, yaitu Catatan Buya.

Barangkali klise, tapi saya harus mengakuinya sebagai sebuah fakta yang tidak bisa dibantah: saya banyak mendapat pencerahan usai membaca cerpen-cerpen yang ada di majalah Annida. Saya yang waktu itu dapat dikatakan awam dengan dunia keislaman dan ‘takut’ untuk berinteraksi dengan kerohanian kampus, seolah perlahan tapi pasti mulai terjerat untuk menggumulinya. Sekadar informasi, saya adalah Alumni SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Negeri Surakarta jurusan seni tari. Kehidupan masa SMA saya memang sudah akrab dengan dunia seni pentas dan cenderung glamour. Sebuah dunia yang saya anggap cukup kontradiktif dengan dunia baru saya di kampus waktu itu: sebuah dunia jilbaber dan jenggoter. Jujur, saya merasa takut untuk mendekati rohis lebih pada ketakutan saya untuk tidak bisa mengembangkan potensi saya di bidang seni. Dan, lagi-lagi, senior saya di kampus, banyak bercerita pada saya tentang sosok Mbak Helvy. Selain penulis, ternyata Mbak Helvy adalah seorang penggiat teater. Lalu, saya semakin intens mengakrabi Annida berikut Mbak Helvy Tiana Rosa. Saya benar-benar luluh. Saya serasa menemukan dunia baru yang begitu indah. Saya pun kian terjun di dunia rohis.

Setelah Annida, beberapa buku lain juga kian membuat saya jatuh cinta pada tulis menulis dan semakin menemukan indahnya Islam. Ada novel Kembara Kasih dan buku Sembilan Mata Hati. Nyaris, setiap ke toko buku atau jika mengunjungi pameran buku, salah satu buku yang saya cari adalah yang ada nama Helvy Tiana Rosa di sana. Saya semakin bersemangat berkegiatan di rohis kampus dan menu bacaan yang terus saya baca untuk menyemangati saya adalah majalah Annida dan juga buku-buku karya Mbak Helvy. Saya yang semula tidak mempunyai kemampuan untuk menulis fiksi, lama kelamaan menjadi tertarik untuk mencoba menulis. Saya terus belajar menulis, dan karya-karya Mbak Helvy begitu menginspirasi saya untuk menulis.

Interaksi saya dengan karya-karya Mbak Helvy pada akhirnya mampu ‘merayu’ saya untuk bisa menghasilkan tulisan. Entah bagus atau tidak, tetapi waktu itu saya merasa puas. Saya merasa tetap bisa mengasah potensi saya di dunia seni, meski dalam wajah yang berbeda. Di Syiar Kegiatan Islam (SKI) Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS, saya dan beberapa teman kemudian merintis majalah Islam yang kami beri nama Tazkia. Dalam majalah yang sebagain besar berisi cerpen itu, saya diamanahi sebagai Pemimpin Redaksi.

Semakin lama, saya semakin menikmati dunia tulis menulis dan semakin mencintai keindahan Islam lewat karya-karya yang saya baca. Alhamdulilah, perlahan saya bisa mengubah alur hidup saya, dari semula yang menggeluti seni umum perlahan saya alihkan pada seni yang mempertimbangkan syar’i. Selain merintis majalah Tazkia, saya dan teman-teman di SKI juga merintis berdirinya teater Warna, sebuah kelompok teater yang semua anggotanya ikhwan dan mementaskan naskah-naskah yang berhikmah. Jujur, berdirinya teater ini juga tidak terlepas dari hasil bacaan saya tentang konsep teater yang didirikan Mbak Helvy yaitu teater Bening. Salah satu naskah yang pernah kami pentaskan adalah naskah Zak Sorga dari teater Kanvas yang berjudul Intifadhah. Teater Warna juga pernah pentas di Teater Arena Taman Budaya Surakarta dengan naskah karya Afifah Afra yang berjudul Mush’ab Sang Syuhada.

Aktivitas saya di majalah Tazkia akhirnya membawa saya untuk bergabung menjadi redaktur di majalah Karima, sebuah majalah remaja bermisi Islam yang dikomandani oleh mbak Intan (Izzatul Jannah). Menjadi redaktur Karima akhirnya mempertemukan saya dengan Mbak Helvy, yaitu saat peluncuran majalah Karima yang waktu itu diadakan di Jakarta. Sebuah kegembiraan yang tak dapat saya urai dengan kata. Sebelumnya saya hanya tahu Mbak Helvy melalui karya-karyanya saja. Pada pertemuan saya dengan Mbak Helvy, saya mengetahui secara langsung bagaimana semangat Mbak Helvy untuk berdakwah melalui sastra. Pada kesempatan itu juga, saya bertemu dengan putra beliau, Abdurrahman Faiz.

Pertemuan ke dua saya dengan Mbak Helvy adalah ketika ada Forum Silaturahmi Nasional di Jakarta yang diselenggarakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP). Dalam pertemuan itu, saya menjadi kian mengagumi sosok Mbak Helvy, bukan semata dari karya-karya beliau, tetapi juga dari kepribadian beliau. Satu hal yang paling saya lihat adalah sosok Mbak Helvy begitu mudah menghafal nama-nama orang di sekitarnya (pada saat acara FLP tersebut) meskipun baru pertama berjumpa sekalipun. Ini mungkin terkesan sederhana, tetapi bagi saya istimewa, karena tidak semua orang bisa seperti itu.

Pertemuan ke tiga saya dengan Mbak Helvy terjadi di kampus Universitas Negeri Malang. Pertemuan ini cukup berselang lama setelah pertemuan ke dua. Antara saya dengan Mbak Helvy saat itu sama-sama berstatus sebagai dosen. Mbak Helvy saat itu berkunjung ke Malang sebagai dosen pembina mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang sedang mengadakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL), sedang saya adalah dosen jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Pada acara itu, hadir juga tokoh penulis wanita dari Malang yang sudah terkenal yaitu ibu Ratna Indraswari Ibrahim. Saya melihat langsung bagaimana Mbak Helvy berinteraksi dengan Bu Ratna. Bagaimana Mbak Helvy tak kuasa menyembunyikan keharuaannya saat berbincang dengan ibu Ratna. Selang beberapa hari dari pertemuan itu, saya membaca tulisan Mbak Helvy di blog pribadi beliau tentang pertemuan beliau dengan bu Ratna. Kalau tidak salah tulisan beliau waktu itu berjudul “Ratna Indraswari Ibrahim: Tempat Bercermin.”

Dalam ranah sastra Indonesia, nama Helvy Tiana Rosa masuk dalam jajaran angkatan 2000, salah satu cerpen beliau yang fenomenal dan pernah masuk dalam cerpen terbaik majalah Horison adalah cerpen yang berjudul Jaring Jaring Merah. Cerpen itu sangat melekat dalam ingatan saya. Bahkan, beberapa kali saya menulis naskah teater banyak terinspirasi dari cerpen yang berlatar kekejaman militer di Aceh itu. Nama Helvy juga tak mungkin dipisahkan dengan lahirnya organisasi kepenulisan besar yang saat ini terus berkembang, yaitu FLP. Beliau adalah salah satu pemrakarsanya. Dan, jika Indonesia sempat diguncang novel Ayat Ayat Cinta, yang juga difilmkan, saya bisa mengatakan hal tersebut tak luput dari perjuangan Mbak Helvy yang memelopori lahirnya karya sastra ber-genre sejenis (beliau lebih sering menyebut karya sastra yang bertanggung jawab daripada karya sastra yang Islami).

Rasanya tak akan pernah cukup kata-kata saya untuk mengurai bagaimana sepak terjang Mbak Helvy. Prestasi beliau-utamanya di dunia kepenulisan-tentunya sudah cukup diketahui banyak orang dan tak perlu diragukan lagi. Dan jujur, semua itu begitu menginspirasi hidup saya. Bisa saya katakan, ketika saya mendapat pencerahan akan indahnya Islam, salah satu jalannya adalah melalui karya-karya Mbak Helvy.


Dari sekian banyak tulisan mbak Helvy, yang saya ketahui Mbak Helvy lebih banyak menulis cerpen, meskipun beliau juga sering menulis esai, puisi, novelet, atau novel. Dan, spesialis cerpen di Indonesia-khususnya di lingkup FLP-menurut saya belum ada yang menandingi Mbak Helvy. Bahkan, teman saya di jurusan Sastra Indonesia begitu terkesan dengan salah satu cerpen Mbak Helvy yang pernah dimuat di majalah Horison yang berjudul Pertemuan di Taman Hening. Teman saya yang notabene tidak banyak tahu tentang Helvy-tahu dalam tataran permukaan saja-bisa mengakui kepiawaian Mbak Helvy dalam menulis cerpen. Dan memang, setiap kali saya membaca cerpen Mbak Helvy-apapun yang dijadikan tema-emosi saya selalu bisa ikut arus. Jika banyak orang mengatakan bahwa seorang sastrawan tidak harus lahir dari Fakultas Sastra, itu memang benar. Banyak sastrawan di Indonesia yang tidak berlatar belakang pendidikan dari Fakultas Sastra. Namun, dalam kaca mata saya, sangat berbeda rasa bahasa dan pencapaian yang diraih ketika seorang sastrawan itu berlatar belakang pendidikan di Sastra. Bukti nyata pernyataan saya ini adalah Mbak Helvy. Selain bakat, kerja keras, dan loyalitas yang menyebabkan Mbak Helvy menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini, satu hal yang tidak sembarang dimiliki oleh penulis lain adalah latar belakang pendidikan beliau.


Belum lama ini, di suatu sore usai saya mengajar, ada seorang mahasiswa yang menjajari langkah saya keluar kelas. Tanpa basa-basi, mahasiswa tadi langsung bertanya tentang sesuatu hal yang hingga kini terus terngiang dalam benak saya. “Bapak kan dulu seorang penari, bagaimana ceritanya kok bisa meninggalkan dunia tersebut dan lebih memilih menggeluti dunia tulis menulis?” begitu kira-kira pertanyaannya waktu itu. Meskipun sekilas sederhana, tetapi tidak cukup mudah untuk menjawabnya. Ada serangkai kisah penuh liku yang cukup membetot ingatan saya, yang setiap kali saya menceritakannya, selalu tidak pernah lepas dari sebuah nama yang bisa dikatakan sebagai tokoh utama dalam cerita tersebut. Tokoh utama tersebut adalah Helvy Tiana Rosa. Kini, setiap kali saya membagi kisah inspiratif untuk memotivasi mahasiswa saya, dengan bangga saya menyebut nama Helvy Tiana Rosa.


Akhir kata, saya begitu bangga bisa mengenal sosok seperti Mbak Helvy. Ini saya pikir tidak berlebihan untuk menggambarkan bagaimana kekaguman saya terhadap segala kelebihan yang dimiliki mbak Helvy-baik dari tataran kemampuan menulis fiksi dan nonfiksi, kepribadian, kecerdasan, keluasan wawasan, kecerdasan emosional yang terlihat dari cara bersosialisasi, dan yang lain. Jika Bapak Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa FLP adalah hadiah bagi Bangsa Indonesia, saya akan melengkapi pernyataan yang membaggakan itu, Indonesia sangat beruntung karena Helvy Tiana Rosa menjadi salah satu warga negaranya. Wallahu’alam.

2 komentar:

  1. Saya sudah tersentil sejak paragraf pertama. Saya pikir saya sudah yang paling menyukai dunia kebahasaan dan kepenulisan (setidaknya di antara teman-teman saya--jika dibandingkan dengan bapak, saya sudah tertinggal jauh) tapi nyatanya pengetahuan saya terhadap bidang yamng saya suka ini sangatlah masih cetek, bahkan tidak ada apa-apanya. Berkat tulisan Bapak, saya jadi lebih menambah pengetahuan tentang penulis lama Indonesia tentunya dalam hal ini adalah Bu Helvy Tiana ini. Suatu saat nanti saya akan pasti baca karya-karya beliau. Tulisan ini juga membuat saya penasaran akan bentuk majalah zaman dulu seperti apa. Maklum yang saya tahu majalah waktu kecil hanya Majalah Bobo, Mombi, Girls Tabloid, dan sejenisnya.

    BalasHapus
  2. Terima kaih Drima, sudah berkenan mampir di blog ini.

    BalasHapus

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...