Sabtu, 01 Juli 2017

Nilai-nilai Kepahlawanan dalam Naskah Langendriyan Ranggalawe Gugur sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan Berbangsa

Abstrak
Langendriyan adalah kesenian Jawa yang berbentuk dramatari. Apabila Langendriyan dibandingkan dengan wayang orang yang juga satu bentuk drama tari, tetap memiliki perbedaan. Perbedaan itu tampak pada bentuk dialog yang digunakan. Bentuk pertunjukkan wayang orang pada umumnya menggunakan dialog antawacana (percakapan biasa) dan kadang-kadang ada sedikit tembangnya, sedangkan Langendriyan semua dialognya menggunakan tembang.
Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa Langendriyan adalah dramatari dengan menggunakan dialog tembang. Artinya pemeran tokoh dalam cerita Langendriyan ketika berdialog menggunakan tembang macapat, yang kadang-kadang dalam satu pupuh tembang dibawakan oleh seroang saja, tetapi terkadang juga dibawakan oleh lebih dari satu orang secara bergantian. Dialog dalam Langendriyan sangat erat kaitannya dengan nilai sastra. Jalinan cerita tercipta melalui urutan tenbang sehingga memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Menganalisis naskah Langendriyan kemudian mempublikasikannya di hadapan pembaca kekinian tentu sebuah usaha yang sangat perlu. Nilai-nilai positif yang terkandung di dalam naskah Langendriyan bisa dijadikan pembelajaran karena tetap relevan dengan persoalan berbangsa di era sekarang. Salah satu naskah Langendriyan yang berpotensi dikaji adalah Ranggalawe Gugur. Cerita dalam Ranggalawe Gugur adalah perjuangan seorang senapati Majapahit dalam membela kerajaan. Nilai-nilai kepahlawanan yang diajarkan Ranggalawe dapat dijadikan teladan bagi seluruh lapisan masyarakat, utamanya para pejabat yang mengemban amanah membesarkan bangsa Indonesia ini.
Kata Kunci: Langendriyan, nilai kepahlawanan, Ranggalawe, tauladan


1. Pengantar
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Dengan media bahasa, karya sastra hadir sebagai cerminan realitas sosial yang dipotret pengarangnya. Tidak sekadar ada, karya sastra juga merespon kondisi sosial yang ada dan (seyogyanya) berusaha memberikan faedah bagi pembacanya. Karya sastra yang tinggi adalah karya sastra yang mampu membangun kekuatan nurani dan memberi semangat untuk menjalani hidup.  Dengan kata lain, karya sastra yang adi luhung adalah yang mampu menawarkan kearifan-kearifan dan nilai religiusitas. Melalui karya sastralah kesadaran sejarah dan penghayatan religiusitas ditanamkan mendalam di lubuk kalbu. Ungkapan yang senada dengan ini juga diungkapkan oleh Paul Goodman, dengan sangat lugas seperti yang dikutip oleh sejarawan sekaligus budayawan Koentowijoyo tentang puisi-dengan demikian termasuk sastra, “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi kepada Tuhan dan tanah air” (Koentowijoyo, 2006:31).
Dalam khazanah sastra Jawa dapat dilihat hadirnya sastra yang menggelorakan perasaan cinta ketuhanan dan semangat profetik yang bermuara pada intensitas transendental. Selain itu, sastra Jawa juga mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup dan moralitas yang terefleksikan dan termanifestasikan dalam bentuk tembang-tembang, serat, suluk, dan yang lainnya. Nilai kesastraan juga bisa ditemukan dalam berbagai kesenian tradisional lain, seperti seni drama tari (sendratari). Salah satu bentuk sendratari yang mengandung nilai-nilai pesan kebaikan adalah Langendriyan.
Langendriyan adalah kesenian Jawa yang berbentuk dramatari. Apabila Langendriyan dibandingkan dengan wayang orang yang juga satu bentuk drama tari, tetap memiliki perbedaan. Perbedaan itu tampak pada bentuk dialog yang digunakan. Bentuk pertunjukkan wayang orang pada umumnya menggunakan dialog antawacana (percakapan biasa) dan kadang-kadang ada sedikit tembangnya, sedangkan Langendriyan semua dialognya menggunakan tembang. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa Langendriyan adalah dramatari dengan menggunakan dialog tembang, yang artinya pemeran tokoh dalam cerita langendriyan ketika berdialog menggunakan tembang macapat, yang kadang-kadang dalam satu pupuh tembang dibawakan oleh seroang saja, tetapi terkadang juga dibawakan oleh lebih dari satu orang secara bergantian (Widyastutieningrum, 1994 : 13).
Dialog dalam Langendriyan sangat erat kaitannya dengan nilai sastra. Jalinan ceita tercipta melalui urutan tembang sehingga memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Horace berpendapat bahwa sastra yang baik adalah sastra yang mempunyai fungsi dulce et utile (menyenagkan dan berguna). Dulce berarti menyenangkan karena sastra bukan sesuatu yang menjemukan, bukan suatu keborosan, tetapi kesenangan yang tidak disebabkan oleh hal-hal itu sendiri. Utile bearti ‘bermanfaat’, adalah pemberian pengetahuan-pengetahuan termasuk anjuran tentang kesusilaan sebagai pengembang dan pemerkaya pandangan hidup (Sundari, 1998:32).
Langendriyan di Surakarta pada awalnya tumbuh di Pura Mangkunegaran  pada zaman pemerintahan K.G.P.A.A Mangkunegara IV, yaitu antara tahun 1853-1881. Menurut R.M. Sayid, Langendriyan di Mangkunegaran Surakarta diciptakan oleh R.M.H. Tandhakusuma (menantu Mangkunegara IV) pada tahun 1881.  Pada dekade 1970-an, Langendriyan tampak berkembang di dalam maupun di luar Mangkunegaran. Kemudian pada tahun 1972, S. Maridi menyusun pethilan Langendriyan Menakjingga-Damarwulan yang berpijak pada gaya atau versi Mangkunegaran. Cerita Damarwulan terbagi menjadi empat episode, yaitu: Damarwulan Ngarit, Ranggalewe Gugur, Menakjingga Lena, dan Jumenenging Damarwulan Dados Ratu ing Majapahit Kagarwa Ratu Ayu. Oleh Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Negeri Surakarta-sekarang SMK Negeri 8 Surakarta-dipadatkan lagi menjadi dua episode saja yaitu Ranggalawe Gugur dan Menakjingga Lena. Dua lakon/episode ini pernah menjadi mata uji wajib pelajaran Pagelaran tingkat akhir bagi siswa-siswi jurusan seni tari. 
Supaya lebih fokus, penulis memilih satu lakon/episode dari empat lakon/episode dalam pethilan Menakjingga-Damarwulan, yaitu Lakon Ranggalawe Gugur. Lakon Ranggalawe Gugur lebih menitikberatkan pada tema kepahlawanan. Tema kepahlawan sepertinya lebih tepat untuk dikaji karena relevan dengan kondisi bangsa kita pada saat ini. 

2. Pembahasan
Untuk memahami isi sebuah karya sastra dalam penelitian sastra, langkah awal yang dilakukan adalah analisis struktural. Analisis struktural sebagaimana diungkapkan oleh Teeuw (1991: 135) adalah analisis terhadap naskah cerita yang meliputi unsur?unsur instrinsik. Dalam analisis ini, unsur?unsur instrinsik tersebut dipaparkan secara detail, cermat, dan teliti. Dari analisis struktural inilah  ditemukan seluruh unsur yang membangun sebuah karya sastra sebagai satu kesatuan makna yang utuh dan menyeluruh. Analisis struktural setidaknya akan membahas mengenai penokohan, alur, latar, tema, amanat, dan keterjalinan unsur?unsur yang membentuk makna totalitas. Beberapa hal tersebut dianggap yang paling mendukung dan mampu mewakili untuk memahami maksud dan tujuan dari aspek formal Langendriyan lakon Ranggalawe Gugur secara keseluruhan.
Dari analisis struktural terhadap naskah Langendriyan Ranggalawe Gugur, pada akhirnya ditemukan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Kemudian diketahui bahwasanya semua unsur?unsur yang terkandung dalam naskah Langendriyan Ranggalawe Gugur ini saling memiliki makna dan peranan masing-masing yang membentuk kesatuan utuh dan menciptakan nilai rasa totalitas yang dapat dirasakan oleh penikmat.

2.1 Struktur Langendriyan Ranggalawe Gugur

2.1.1 Tema
Ranggalawe Gugur bertema kepahlawan. Tema kepahlawanan ini ditunjukkan oleh tokoh Ranggalawe. Ranggalawe adalah seorang ksatria yang berdedikasi tinggi dan begitu setia terhadap negaranya yaitu Kerajaan Majapahit. Demi membela kepentingan Majapahit, Ranggalawe rela meninggalkan istri dan keluarganya bahkan sampai mempersembahkan jiwa raganya. 

2.1.2 Penokohan
Dani N. Toda menggunakan tokoh protagonis untuk tokoh utama dan tokoh antagonis untuk tokoh tambahan. Protagonis yaitu peran atau pemain utama yang mendukung ide prinsipal dalam cerita dan biasanya mempunyai rencana serta maksud tertentu. Antagonis berarti peran lawan atau pemain kedua yang biasanya menentang atau berusaha menggagalkan rencana dan keinginan pemain pertama (dalam Mido, 1994: 37). 
Dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini ditampilkan beberapa tokoh dengan segala perannya, yang masing?masing merupakan unsur dari kesatuan yang membangun cerita. Keseluruhan tokoh dalam cerita ini berjumlah enam belas, yaitu; Ranggalawe, Menakjingga, Ratu Ayu Kencana Wungu, Patih Logender, Dewi Banuwati, Layang Seta, Layang Kumitir, Sindura, Menak Koncar, Dayun, Watangan, Buntaran, Wangsapati, Angkat Buto, Ongkot Buto, dan Menak Sabawa. Dalam kesempatan ini, hanya dianalisis tokoh?tokoh yang dirasa paling berpengaruh dalam keseluruhan cerita, tokoh-tokoh itu antara lain, Ranggalawe, Ratu Ayu Kencana Wungu, dan Menakjingga. 
Ranggalawe
Tokoh Ranggalawe adalah tokoh Protagonis. Tokoh protagonis sebagaimana definisi Dani N. Toda adalah peran atau pemain utama yang mendukung ide prinsipal dalam cerita dan biasanya mempunyai rencana dan maksud tertentu (dalarn Mido, 1994: 37). Tokoh Ranggalawe adalah tokoh utama yang membawakan peran sebagai tokoh pembawa misi cerita. Amanat yang hendak disampaikan dalam cerita ini pun diwakilkan kepada tokoh Ranggalawe, yaitu kecintaannya kepada Kerajaan Majapahit dan semangat rela berkorban walaupun nyawa taruhannya. 
Ranggalawe adalah seorang Adipati yang cukup berwibawa di Kadipaten Tuban. Ia mempunyai istri yang cantik jelita bernama Dewi Banuwati. Dari perkawinannya dengan Dewi Banuwati membuahkan dua putra kembar yaitu Watangan dan Buntaran. Kadipaten Tuban yang dipimpin Ranggalawe ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Dalam lakon Ranggalawe Gugur diceritakan bahwa hubungan Ratu Ayu Kencana Wungu sebagai penguasa Kerajaan Majapahit begitu dekat dengan Adipati Tuban. Maka, ketika Kerajaan Majapahit dalam keadaan bahaya karena serangan dari Menakjingga, Ranggalawe lah yang ditunjuk oleh Ratu Ayu Kencana Wungu sebagai senapati untuk melawan Menakjingga. Hal ini bisa dilihat dalam adegan pertama, ketika Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan Patih Logender supaya mengutus kedua putra kembarnya (Layang Seta dan Layang Kumitir) untuk ke Kadipaten Tuban dan memberitahukan kondisi Majapahit kepada Adipati Ranggalawe dan Adipati Sindura. Pada saat perasaan gundah karena ancaman dari Kerajaan Blambangan, yang terbersit dalam benak Ratu Ayu Kencana Wungu seketika itu adalah Ranggalawe. 
Ranggalawe adalah sosok yang begitu setia terhadap istri dan keluarganya. Ketika tengah dalam keadaan perang melawan Menakjingga dan hampir saja mendapati ajal, Ranggalawe masih sempat mengingat istrinya dan seperti hendak mohon pamit karena merasa akan kalah ditangan Menakjingga. Ini bisa dilihat pada adegan keenam (palagan). Lebih jelas lagi dapat dilihat pada kutipan tembang di bawah ini.

Sekar Macapat Asmaradana Slendro Manyura 
(Ranggalawe) 
Dhuh garwaku Banuwati 
Sira kariya raharja 
Ingsun anemahi layon 
Den becik pamomong ira 
Mring para putranira 
Dhuh nyawa atmajaningsun 
Dadya kariya raharja 
(Ranggalawe Gugur, hal 28)

Karakter pemberani dan tidak gentar menghadapi musuh terlihat dalam adegan ketiga. Pada saat itu meskipun istrinya melarang Ranggalawe untuk pergi ke medan perang karena musuh yang sedang dihadapi bukan orang sembarangan, Ranggalawe tetap bersikeras untuk berangkat ke medan perang demi mengemban tugas mulia. Ranggalawe dengan rela meninggalkan istri untuk maju ke medan perang. Kutipan tembang berikut ini begitu jelas memaparkan pernyataan tentang keberanian Ranggalawe dalam menghadapi musuhnya. 
Palaran Maskumambang Slendro Sanga 
(Banuwati)
Menakjingga satuhu satru kang sekti
Yen mboten prayitna
Kalenan tumekeng lalis
(Ranggalawe) 
Ingsun kang nigas jangganya 
(Ranggalawe Gugur, hal 20)
Ratu Ayu Kencana Wungu
Tokoh Ratu Ayu Kencana Wungu juga salah satu tokoh yang cukup berperan penting dalam lakon Ranggalawe Gugur. Pada hakikatnya asal konflik dalam cerita ini ditimbulkan oleh Ratu Ayu Kencana Wungu ini. Namun demikian, karena dalam cerita keseluruhan tokoh Ratu Ayu Kencana Wungu tidak banyak dimunculkan sehingga terkesan berperan sedikit saja. 
Konflik cerita bermula ketika Ratu Ayu Kencana Wungu kedatangan duta dari Kerajaan Blambangan yaitu Menak Sabawa. Menak Sabawa diutus oleh Menakjingga untuk menyampaikan surat kepada Ratu Ayu Kencana Wungu, surat itu berisi tagihan janji. Diceritakan bahwa sebelumnya Kerajaan Majapahit gempar karena amukan Kebo Marcuet, lalu Sang Ratu membuat sayembara. Sayembara itu berisikan, barang siapa yang dapat membunuh Kebo Marcuet maka jika dia seorang wanita akan dijadikan saudara, dan jika seorang pria akan menjadi suami Sang Ratu yang bertahta di Kerajaan Majapahit. Selanjutnya, Menakjingga yang memang sudah sejak lama ingin mempersunting Ratu Ayu yang cantik jelita merasa tertarik untuk mengikuti sayembara. Akhirnya Menakjingga lah yang memenangkan sayembara itu walaupun ia harus mengalami cacat kaki dan mukanya terluka. Dalam lakon Ranggalawe Gugur ini cerita dimulai saat utusan Menakjingga menagih janji atas sayembara Ratu Ayu Kencana Wungu. 
Kondisi psikologis yang dihadapi oleh Ratu Ayu Kencana Wungu sangat jelas terlihat. Seorang ratu yang berkuasa di Majapahit, tentu Ratu Ayu Kencana Wungu tidak ingin untuk mengingkari janji yang telah diucapkannya. Di sisi lain dia juga seorang wanita biasa yang mempunyai kelemahan. Seorang wanita tentu mendambakan seorang suami yang tampan dan berhati mulia. Inilah dilema yang harus dihadapai Ratu Ayu. Ketika mengetahui Menakjingga atau yang biasa disebut juga Sri Bisma yang memenangkan sayembara dan akan menjadi suaminya, Ratu Ayu begitu gelisah. Nurani kewanitaanya menolak kondisi dan sosok Menakjingga untuk mendampingi hidupnya. Menakjingga telah cacat kaki (pincang) dan mukanya rusak. Tetapi tidak bisa dipungkiri, jasa Menakjingga memang cukup besar karena bisa menangkap Kebo Marcuet. Ratu Ayu pun akhirnya mengatakan kepada Menak Sabawa bahwa ia belum bisa memberi jawaban atas surat dari Menak Jingga.
Sikap tegar telah ditunjukkan oleh Ratu Ayu Kencana Wungu dalam tindakannya mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Saat Menak Sabawa kembali pulang ke Blambangan, Ratu Ayu Kencana Wungu telah bisa mendeteksi apa yang bakal terjadi. Sudah pasti Menakjingga menjadi marah atas jawaban yang ia berikan. Maka, ia pun dengan segera memerintahkan Patih Logender untuk mengutus kedua putranya (Layang Seta dan Layang Kumitir) pergi ke Kadipaten Tuban, dan mengatakan bahwa Kerajaan Majapahit dalam keadaan bahaya. 
Menakjingga
Tokoh Menakjingga adalah tokoh yang dideskripsikan dalam cerita ini sebagai tokoh Antagonis. Menakjingga adalah lawan Ranggalawe dalam konflik cerita Ranggalawe Gugur. Pendeskripsian tokoh Antagonis dari Menakjingga dapat terlihat dari karakternya yang keras dan juga emosional. Sebagai penguasa Kerajaan Blambangan, Menakjingga dikenal sebagai ksatria yang sangat sakti. Maka, tidaklah mengherankan jika ia memenangkan sayembara yang diadakan oleh Ratu Ayu Kencana Wungu.
Menakjingga ini juga terkenal bergantian ganti pasangan. Istrinya ada dua yaitu Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Meskipun sudah beristri dua, tetapi Menakjingga masih saja gemar "berburu wanita". Dalam adegan kedua, digambarkan bagaimana Menakjingga sedang kasmaran dengan Ratu Ayu Kencana Wungu, hingga para abdinya pun disangka Ratu Ayu Kencana Wungu. 
Menakjingga adalah sosok yang tegar dan pemberani. Karakter khas yang senantiasa melekat pada Menakjingga adalah seorang yang keras dan pemarah. Ini bisa dilihat dalam adegan kedua ketika dia menerima kedatangan Menak Sabawa yang baru saja ia utus untuk menyampaikan surat kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. 

2.2.3 Alur
Alur merupakan urutan kejadian yang mempunyai hubungan sebab akibat yang disusun dan direka, serta kadang?kadang disertai kejutan dan faktor kebetulan yang disengaja diciptakan oleh pengarang untuk memberikan daya tarik bagi penikmatnya. Alur menurut Sudjiman (1986: 4) adalah ”jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu”. 
Dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini alur yang digunakan adalah alur maju. Yang dimaksud dengan alur maju adalah penampakan cerita demi cerita diurutkan berdasarkan urutan peristiwa tanpa ada variasi?variasi alur lain. Alur dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini bisa disebut juga alur menanjak jika dilihat dari segi tegangan atau suspense, karena cerita diawali dari pengenalan masalah, semakin meningkat menjadi peristiwa yang makin penting dari peristiwa paling penting mengakhiri cerita. 
Pada adegan pertama ditampilkan masalah yang nantinya akan menjadi pokok perhatian dalam keseluruhan cerita, yaitu ketika Ratu Ayu Kencana Wungu kedatangan duta dari Kerajaan Blambangan yaitu Menak Sabawa. Tahapan ini merupakan tahapan Introduction (pengantar), penonton dikenalkan dengan permasalahan yang nanti akan berkembang. Pada saat kedatangan Menak Sabawa, peristiwa terus berjalan dengan sikap Ratu Ayu Kencana Wungu yang gelisah akan ancaman yang mungkin saja terjadi dan Kerajaan Blambangan. Perlahan, ketegangan di Kerajaan Majapahit mulai terasa. Adegan pertama berakhir ketika Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan Patih Logender untuk mengutus kedua putranya (Layang Seta dan Layang Kumitir) pergi ke Kadipaten Tuban dan Daha. 
Adegan kedua merupakan tahap Inciting moment atau rangsangan. Adegan ini terjadi di Kerajaan Blambangan yang menceritakan Menakjingga tengah bersenang?senang (gandrung) karena ia merasa sebentar lagi akan meminang Ratu Ayu Kencana Wungu setelah ia berhasil memenangkan sayembara. Akan tetapi, setelah Menak Sabawa datang menghadap dan membawa hasil yang mengecewakan, Menakjingga menjadi marah dan menyatakan perang terhadap Kerajaan Majapahit. Di sinilah rangsangan itu dimunculkan. Secara berurutan cerita tersaji dan terus bergerak maju.
Pada adegan ketiga diceritakan keadaan Kadipaten Tuban. Di dalam taman kaputren Kadipaten Tuban, Dewi Banuwati dan Ranggalawe tengah memadu kasih berdua. Tidak lama datanglah Adipati Sindura. Setelah itu datang Layang Seta dan Layang Kumitir yang diutus oleh Patih Logender membawa kabar dari Ratu Ayu Kencana Wungu tentang kondisi Kerajaan Majapahit. Inti adegan ini adalah Ranggalawe dan Sindura ditugaskan untuk berperang melawan Menakjingga. Adegan ini merupakan adegan lanjutan dan adegan pertama. Jadi secara urutan waktu, alurnya senantiasa bergerak maju dan cerita pun ringan mengalir. Adegan ketiga ini merupakan tahap Ricing Action atau situasi yang gawat. Sesudah Ranggalawe dan Sindura mendengar kabar dari Ratu Ayu yang dibawa Layang Seta dan Layang Kumitir, kedua Adipati itu pun langsung berangkat ke Kerajaan Majapahit, mereka telah siap berperang menghadapi Menakjingga dan pasukan dari Balambangan. Di sini jelas digambarkan bagaimana kondisi Majapahit yang gawat karena hendak mendapat serangan dari Blambangan. 
Adegan keempat berlangsung di palagan, prajurit Majapahit dan Blambangan saling bertempur. Banyak prajurit yang gugur di medan laga, salah satunya adalah Adipati Sindura. Dalam adegan ini, Ranggalawe belum dimunculkan dalam peperangan. 
Adegan ke lima berlangsung di Pasewakan Kerajaan Majapahit. Ratu Ayu Kencana Wungu dengan perasaan gundah dan khawatir, kemudian mewisuda Ranggalawe menjadi Senapati perang melawan pasukan Blambangan. Adegan ini pun merupakan urutan kejadian sebelumnya. Hal ini membantu pengondisian penonton untuk tetap merunut cerita yang hendak menuju klimaks. Suasana agung begitu terasa ketika Ranggalawe diwisuda menjadi Senapati dan disaksikan seluruh punggawa Kerajaan Majapahit.
Adegan keenam merupakan tahapan Climaxs atau puncak ketegangan. Diceritakan kondisi di palagan, pasukan Blambangan semakin seru menggempur Kerajaan Majapahit. Pertempuran sengit terus terjadi. Adegan ini merupakan puncak dari cerita, yaitu ketika banyak pasukan yang gugur dan hanya Ranggalawe yang bertemu Menakjingga. Suasana semakin menegang ketika kedua kesatria pilih tanding ini berperang. 
Secara perlahan terjadi Falling Action atau peleraian ketika di tengah pertempuran Ranggalawe terjajar mundur. Pada saat Ranggalawe tengah kalah tetapi belum sempat terbunuh, penonton dibawa pada suasana haru yang menyayat. Ranggalawe sempat melantunkan tembang Asmaradana yang berisi kata pamitan kepada istrinya. Cerita akhirnya mengalami Calasthrope atau penyelesaian ketika Ranggalawe gugur di tangan Menakjingga. 

2.2.4 Latar
Kaitannya dengan latar (setting), Sudjiman menyatakan bahwa ”sebuah cerita sudah pasti akan membutuhkan latar (setting) untuk mendukung dan menjelaskan peristiwa yang terjadi. Tanpa adanya latar, penonton (penikmat) cerita akan mengalami kesulitan untuk mencerna cerita yang disajikan. Setting adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana lakuan dalam karya sastra (lihat Sudjiman, 1998: 86).
Latar Tempat
Latar tempat adalah tempat di mana berlangsungnya cerita yang disajikan. Dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini latar tempat mengikuti jalannya cerita. Ada empat latar tempat yang digunakan dalam cerita ini. Untuk mengetahui latar dari cerita ini sebenamya dapat dilihat pada saat pementasan, yaitu pada dekorasi panggungnya, tetapi pada pementasan Langendriyan ini tidak menggunakan sceneri surealis seperti pentas?pentas wayang orang. Dekorasi atau tata panggung yang dipakai adalah sceneri realis berupa gambaran Sasana Sewaka Kerajaan Majapahit dan bersikap permanen, dalam arti selama pertunjukan berlangsung hanya menggunakan satu macam sceneri ini.
Jadi untuk mengetahui dan menganalisis latar lumayan sulit karena di sini memang tidak ada deskripsi secara rinci mengenai lokasi atau tempat terjadinya cerita seperti laiknya cerita?cerita prosa (cerpen atau novel). Untuk mengetahui latar tempat dari cerita ini, adalah dengan cara memahami ceritanya secara mendalam, setelah paham baru kemudian bisa diketahui sebenarnya di mana cerita sedang berlangsung. Walaupun seringkali latar tempat ini tersurat dalamn tembang yang dinyanyikan sebagai dialog para tokohnya. 
Latar Suasana
Dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini ada beberapa latar suasana. Untuk menganalisis latar suasana yang terdapat dalam cerita ini relatif mudah, selain bisa dan uraian dialog yang ditembangkan oleh para tokoh, dapat juga dari tata artistik yang digunakan, yaitu tata iringan dan tata cahaya. Adapun latar suasana dalam Langendriyan Ranggalawe Gugur ini setidaknya terdiri dari empat suasana: resah. Tegang, senang, dan sedih. 
Suasana resah bisa dilihat pada saat Ratu Ayu Kencana Wungu menerima duta dari Kerajaan Blambangan yang menagih janji atas sayembara yang pernah ia keluarkan, kondisi psikologis Ratu Ayu Kencana Wungu tampak sekali dalam keresahan. Hal ini di samping dari dialog yang dikeluarkan oleh Ratu Ayu tampak pula pada iringan yang menandakan keresahan tersebut. Suasana resah tampak pula pada adegan ketiga. Dewi Banuwati begitu resah ketika hendak melepas suaminya, Ranggalawe ke medan peperangan melawan Menakjingga. Hal ini karena yang akan dihadapi oleh Ranggalawe adalah seorang ksatria pilih tanding. 
Suasana tegang, selain disebabkan oleh kondisi tokoh yang tengah marah, bisa juga disebabkan oleh tuntutan cerita yang memang menegangkan, misalnya pada saat peperangan. Kondisi tokoh yang tengah marah akan menimbulkan suasana tegang. Misalnya saja adalah kemarahan Menakjingga ketika mengetahui kabar yang dibawa oleh anak buahnya Menak Sabawa. 
Pergantian suasana dalam cerita Ranggalawe Gugur ini terkadang terlalu cepat sehingga suasana yang diciptakan terkadang sulit dicerna. Misalnya saja perubahan suasana senang yang dialami oleh Menakjingga saat tengah kasmaran dengan Ratu Ayu tiba?tiba berubah menjadi kemarahan ketika ia mendengar kabar yang dibawa oleh Menak Sabawa. Begitu juga yang dialami oleh Ranggalawe, yang pada waktu itu tengah memadu kasih dengan Dewi Banuwati, mendadak menjadi kemarahan ketika mendegar kabar dari Layang Seta dan Layang Kumitir. Jadi, dalam satu adegan tidak hanya terdapat satu suasana saja. Dalam satu adegan bisa saja terjadi beberapa suasana yang berbeda karena tuntutan cerita. 
Penggambaran suasana yang terlihat paling sedih adalah pada saat adegan terakhir. Ranggalawe yang sakti ternyata harus bertekuk lutut di hadapan Menakjingga. Di saat ajal hendak menjemputnya, Ranggalawe melantunkan tembang Asmaradana yang berisi kata pamitan kepada sang istri, Dewi Banuwati. Karena jenis tembang yang dibawakan adalah tlutur, suasana sedih sangat terasa. Banyak penonton yang terharu melihat adegan ini.

2.2.5 Amanat
Pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang lewat karyanya disebut amanat. Bentuk penyampaian amanat dalam suatu karya sastra ada yang tersifat langsung ataupun tidak langsung. Penyampaian secara langsung identik dengan pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian penjelasan dan ekspositosi, wujud pesan ini tampak menggurui pembaca. Penyampaian secara tidak langsung hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara komprehensif dengan unsur cerita yang lain. Hubungan antara pembaca dengan pengarang terjadi secara tidak langsung dan bentuknya tersirat sehingga tidak ada pretensi pengarang untuk menggurui pembaca (Nurgiyantoro, 1995: 333). 
Berdasarkan analisis struktural di atas, amanat yang ada dalam cerita Langendriyan Ranggalawe Gugur baik yang disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung adalah sebagai berikut.
1. Seseorang hendaknya senantiasa menepati janji yang pernah
   diucapkannya sehingga di kemudian hari tidak akan terjadi akibat
   yang lebih buruk. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dari Ratu Ayu
   Kencana Wungu yang telah mengingkari janji sayembaranya kepada
   Menakjingga. Akibat dari perbuatan Ratu Ayu Kencana Wungu
   tersebut, tidak hanya Sang Ratu yang harus menerima amukan dari
   Menakjingga, tetapi seluruh rakyat Majapahit yang dipimpinnya.
2. Kepentingan negara dan rakyat banyak lebih diutamakan daripada
   kepentingan pribadi. Sikap kepahlawanan, kecintaan, dan kesetiaan
   kepada negara harus mengalahkan kepentingan pribadi. Sikap ini
   ditunjukkan oleh Ranggalawe. Demi menyelamatkan Kerajaan
   Majapahit dari serangan Kerajaan Blambangan, Ranggalawe rela
   meninggalkan istri dan keluarganya bahkan sampai
   mempersembahkan jiwa dan raganya. Ranggalawe juga memberi
   tauladan berupa sikap gagah berani tak gentar melawan musuh.
3. Manusia hendaknya dapat mengekang hawa nafsunya supaya tidak
   terjadi kerusakan di muka bumi. Sikap tidak bisa mengekang hawa
   nafsu ini ditunjukkan oleh Menakjingga. Ia begitu tergila?gila dengan
   Ratu Ayu Kencana Wungu sehingga ketika nafsunya untuk
   mendapatkan wanita pujaannya itu tidak terlaksana ia langsung
   mengerahkan kekuatannya untuk menyerang lawannya, tanpa ada
   kompromi atau jalan tengah untuk menghindari pertumpahan darah.
   Demikian juga tokoh Ratu Ayu, keputusannya untuk belum bisa
   memberi jawaban kepada Menakjingga (dan ditangkap Menakjingga
   sebagi ingkar janji) sudah dipengaruhi oleh nafsu akan
   ketidaksukaannya kepada Menakjingga karena kondisi fisik
   Menakjingga yang tidak berkenan di batinnya. Seharusnya, apa pun
   risikonya apalagi seorang pemimpin, mengingkari janji adalah
   sesuatu yang tabu dilakukan. Dalam prinsip Jawa teguh memegang
   janji yang pernah diucapkan ini biasa dikenal dengan istilah bawa
   laksana.

3. Simpulan
Analisis struktur telah dilakukan dan sudah dapat dipaparkan bagaimana unsur?unsur instrinsik dalam naskah Langendriyan lakon Ranggalawe Gugur. Unsur?unsur itu tidak berdiri sendiri, kesemuanya senantiasa bergerak dinamis yang pada akhirnya membangun kesatuan yang utuh. Pada penokohan misalnya. Tokoh?tokoh yang memiliki karakter berbeda­-beda dapat membangun konflik yang diinginkan cerita. Namun, tokoh?tokoh itu tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya alur. Antara penokohan dan alur berkait secara sinergis sehingga akan lebih menguatkan dalam membangun alur. Demikian juga pada bagian latar yang digunakan. Latar otomatis menyesuaikan dengan alur cerita. Pergantian latar mengikuti pergantian alurnya. Tokoh?tokohnya pun akan menempatkan suasana batinnya sesuai dengan latar di mana adegan itu berlangsung. 
Bentuk struktur secara keseluruhan terdiri dari satuan unsur?unsur yang sudah dipaparkan di atas. Ibarat sebuah bangunan rumah, unsur?unsur instrinsik tadi seumpama bahan bangunannya, misalnya genting, kayu, paku, pasir, batu bata, semen, dan sebagainya. Untuk membangun sebuah rumah, bahan?bahan itu harus disatukan dan disusun secara runut. Maka, dalam naskah Langendriyan ini pun unsur?unsur instrinsik itu juga tersusun sedemikian rupa dan saling berkaitan sehingga menciptakan sebuah totalitas karya yang utuh.
Tembang-tembang macapat dalam naskah Langendriyan Ranggalawe Gugur tidak saja merupakan rangkaian cerita yang salin terjalin satu sama lain hingga membangun sebuah cerita, tetapi juga memuat nilai-nilai adi luhung yang masih sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan masa sekarang. Salah satu nilai tersebut adalah nilai kepahlawanan. Nilai-nilai tersebut seringkali tidak tertangkap begitu saja ketika hanya membacanya sekilas. Apabila kita cermati dengan seksama, rangkaian kata-kata (tembung) yang digunakan dalam tembang-tembang tersebut ternyata menyiratkan nilai-nilai yang sarat akan pesan kebaikan. Secara umum, nilai-nilai adi luhung yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut.

Nilai Kejujuran dan Keteguhan Memegang Janji.

Pentingnya bersikap jujur dan teguh memegang janji dalam cerita ini dicontohkan pada tokoh Ratu Ayu Kencana Wungu, penguasa Majapahit kala itu. Karena ketidakkonsistenannya memegang janji maka akibat yang ditimbulkan tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi pada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Maka, tentulah ini sebuah petuah yang sangat baik bagi kita-terlebih apabila kita seorang pemimpin- untuk bersikap jujur dan teguh dalam memegang janji.
Seseorang yang tidak menepati janji yang telah diucapkan maka akan mendatangkan bencana di kemudian hari. Ketika Ratu Ayu  mengingkari janji, konsekuensi dari hal yang dilakukannya ini tidak saja berakibat kepada dirinya sendiri, tetapi juga kepada ketenteraman seluruh rakyat Majapahit yang dipimpinnya. 
Hal ini senada dengan konsep bawalaksana dalam filsafat Jawa, bahwa pantang bagi seseorang-terlebih seorang pemimpin-untuk mengingkari sesuatu (janji) yang telah diucapkannya. Sebagai contoh lain adalah dalam cerita Ramayana. Malam hari sebelum penobatan Sri Rama menjadi raja, Dewi Kekeyi, istri Destarasta (ayah Rama) mengingkatkan kepada Destarasta bahwa dulu sebelum mempersunting Dewi Kekeyi, Destarasta pernah berjanji bahwa yang akan menjadi raja adalah dari anak yang dikandungnya, yaitu Barata, bukan Sri Rama yang anak dari Dewi Ragu, istri Destarasta yang lain. Destarasta menyadari dan mengakui akan janji yang pernah diucapkannya itu, sebagai seorang pemimpin, pantang bagi dirinya untuk mengingkari janji. Akhirnya, Bharata yang dinobatkan menjadi raja dan Sri Rama disuruh pergi ke hutan Dandaka bersama Dewi Shinta dan Laksmana selama tiga belas tahun. Maka, sudah sepatutnya kita-apalagi seorang pemimpin-dapat mengambil pelajaran dari ini semua. Tidak baik untuk mengingkari janji yang telah kita ucapkan.
Nilai Ketenangan dan Tidak Mengutamakan Emosi dalam Mengahadapi Masalah yang Datang.
Pesan ini banyak ditunjukkan oleh tokoh Menakjingga yang senantiasa terkesan emosional dalam menghadapi masalah. Ketika mendengar bahwa Ratu Ayu Kencana Wungu mengikari janjinya, seketika Menakjingga marah dan mengobarkan perang kepada kerajaan Majapahit. Begitu juga pada adegan saat Menakjingga mabuk kepayang pada Ratu Ayu Kencana Wungu sampai lupa diri di hadapan para abdinya. Menabuh genderang perang karena alasan emosi sesaat ternyata berakibat fatal. Bagaimanapun perang selalu mendatangkan bencana bagi kedua belah pihak. Dalam kondisi seperti itu, akal sehat menjadi hilang. Seseorang yang diliputi hawa nafsu sering kali tidak bisa jernih dalam berpikir. Tidak seharusnya seorang raja menunjukkan hal seperti itu di depan bawahannya karena akan menurunkan martabatnya.
Sebagai abdi kinasih (abdi kesayangan) Dayun pun mengingatkan apa yang telah dilakukan Menakjingga. Tidak seharusnya begitu terlarut dalam sakit asmara kepada Ratu Ayu. Dayun sebagai seorang abdi harus mengingatkan rajanya agar bisa berpikir jernih. Seorang pejabat negara yang begitu dipercaya pemimpinnya haruslah bisa memahami apa yang sedang dialami oleh rajanya. Tidak justru memanfaatkan kondisi seperti itu kepentingan tertentu yang bersifat pribadi-misalnya menjatuhkannya dari tahta. Pejabat negara yang baik seharusnya segera menyadari  apa yang terjadi dan mengingtkan pemimpinnya untuk segera sadar dari kesalahan.

Nilai Kepahlawanan dan Kesetiaan Membela Negara

Jiwa kepahlawanan dan kesetiaan membela negara hampir mewarnai keseluruhan cerita. Setiap tembang-tembang macapat dalam naskah Langendriyan  Ranggalawe Gugur ini selalu menyiratkan jiwa kepahlawanan. Sosok yang dicontohkan dalam cerita ini adalah Ranggalawe. Dalam kondisi bagaimanapun siap mengutamakan kepantingan negara meskipun nyawa taruhannya. 
Tembang palaran Durma Rangsang memberi gambaran kepada kita bagaimana seorang patih (Patih Logender) begitu taat kepada pemimpinnya (Ratu Ayu). Menyadari Majapahit dalam keadaan bahaya atas apa yang telah dilakukan Ratu Ayu, Patih Logender pun segera sigap untuk melaksanakan perintah dari Ratu Ayu untuk mengantisipasi perlawanan dari Majapahit, yaitu pergi ke Kadipaten Tuban dan Daha, mengabarkan keadaan Majapahit kepada Ranggalawe dan Sindura. Saat itu, Ranggalawe dan Sindura telah mendengar kabar tentang ulah Menakjingga yang hendak menyerang Majapahit. Ranggalawe menjadi berang. Bukan semata marah tanpa sebab, tetapi rasa patriotismenya pada negara yang membuatnya bersemangat untuk melawan Menakjingga. Pada bagian tembang ini, tersirat kembali bagaimana seharusnya kita membela negara kita ketika sedang digoncang oleh pihak lain. Jiwa kepahlawan yang begitu kuat dari sosok Ranggalawe memang menjadi inti dari keseluruhan tembang dalam naskah ini.
Begitulah, Seorang pejabat kerajaan (Patih) haruslah siaga dan cekatan dalam mengambil sikap untuk menyelamatkan kondisi negara (kerajaan). Meskipun sang pemimpin telah melakukan kesalahan, tetapi tidak lantas apriori kepada pemimpin atau masa bodoh terhadap perintah, tetapi lebih mengutamakan keselamatan kerajaan selanjutnya. Tidak kemudian membuat lingkaran konflik sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana mengambil langkah antisipatif selanjutnya. Tembang tersebut menggambarkan sosok patih yang setia kepada pemimpinnya.
Jiwa kepahlawanan yang dimiliki Ranggalawe juga menurun kepada kedua putranya, Watangan dan Buntaran. Melihat ayahnya hendak pergi ke medan perang melawan Menakjingga dan prajurit Majapahit, mereka berdua juga mohon izin untuk turut serta ke medan perang, membela negara, meski nyawa taruhannya.

DAFTAR PUSTAKA

♦ Kelompok V. 1996. Naskah Ujian Praktik Pagelaran Langendriyan Lakon
  Ranggalawe Gugur.  Surakarta: Sekolah Menengah Karawitan Indonesia
  Negeri Surakarta.
♦ Koentowijoyo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo
   Litera Media.
♦ Mido, Frans.1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Nusa
   Indah
♦ Nurgiyantoro, Burhan. 1995 Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
   Universitas Gadjah Mada Press
♦ Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan.  Jakarta: Pustaka
   Jaya
♦ Sundari. 1998. Pengantar Pengkajian Sastra. Surakarta: Fakultas Sastra
   Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
♦ Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
    Widyastutieningrum, Sri Rochana. 1994. Langendriyan Mangkunegaran:
   Pembentukan  dan Perkembangan Bentuk Sajiannya. Surakarta: Sekolah
   Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...