Senin, 03 Juli 2017

Karya Sastra: Hidup Berkat Kritik dan Apresiasi

Ini tulisan Puput, semoga manfaat.

Ini adalah jargon pembuka diskusi yang sangat menarik ketika Neko sit in di kelas Teori Sastra. Kelas ini dipegang oleh Bapak Karkono, dosen Neko di Sastra Indonesia. FYI aja, Neko itu anak Sastra Inggris, tepatnya pendidikan Sastra Inggris. Semester depan Neko akan ambil ulang 
mata kuliah Literary Theory.

Jujur Neko agak kesulitan memahami Literary Theory. Semester lalu, Neko mencoba memasuki kelas itu (haha...buat kuliah kok coba-coba). Tadinya Neko mengira akan mendapatkan materi-materi seperti "cara menulis karya sastra dengan baik", ternyata...yang dibahas adalah...teori-teori untuk kritik sastra! Pengalaman Neko pada kelas itu bisa dibilang sangat tidak sukses. Karenanya Neko harus retake kelas ini. Alhamdulillah, beruntung Bapak Karkono mengijinkan Neko untuk masuk ke kelas Teori Sastranya di Sastra Indonesia.

Buat yang udah kenal Neko, mungkin bisa jadi pada bingung dan berpikir, "Apa yang dilakukanm anak ini di kelas Sastra Indonesia?" 

Hahaha... karena memang sebenarnya Neko anak Sastra Inggris. Anak pendidikan pula! Tapi berhubung Neko agak nyentrik en doyan nulis*, Neko lebih sering dituduh sebagai  anak Sastra hehehe... Neko pingin double degree, tapi takut kuliah yang udah molor ini tambah molor lagi. Akhirnya Neko cuma mengambil jatah kuliah anak Sastra  di kelas-kelas seperti Cultural Studies, Asian Studies dkk. Neko lebih sering kelihatan main ama anak Sastra daripada ama anak-anak pendidikan hehehe... Like a fish out of the tank geetoh! (Atau malah like an English man in Newyork?)

*baca: aktivis facebook!

tampang Neko saat frustasi dengan kelas Literary Theory
Ndilalah pas ambil mata kuliah Literary Theory, Neko kena batunya. Gak nyambung blas ama apa yang diomongin! Ternyata teori-teori sastra itu lebih rumit daripada membaca karya sastra paling mbulet. Bahkan lebih runyam ketimbang saat membuat karya sastra itu sendiri. Mana kelasnya sore*,  dosennya pakai metode ceramah pula. Suram banget deh tuh kelas.

*jam dimana kucing-kucing normal lain harusnya bobo!

Neko pun cabut karena nggak tahan. Bahkan tanpa mengerjakan tugas akhir (mau ngerjain gimana, wong nggak ngerti blas!) Alhasil nilai (SENSOR!) pun menghiasi KHS dan benar-benar bikin Neko tambah frustasi. What the hell getoh dengan strukturalisme-lah, post-modernisme-lah,dan isme-isme lainnya suck! Teori-teori yang bikin sebal dan tidak practical! Apa gunanya isme-isme itu di dunia nyata ? Palingan menjadi beban wacana belaka? Anak-anak yang dapet nilai bagus di kelas itu belum tentu bisa menghasilkan cerpen seperti Neko! "I don't these hellish theories!"  That's what I thought for the first time.

But, bagaimanapun Neko harus melakukan sesuatu terhadap nilai aib ini...ARGGGGGH!

Lek ga lulus ni mata kuliah, bisa tercemar nih KHS seumur-seumur! Apalagi Literary Theory itu sebenarnya cuma mata kuliah pilihan (alias bukan mata kuliah wajib). Rugi amat IPK terjun bebas cuma gara-gara 1 mata kuliah non-wajib! Artinya Neko harus retake. Tapi di semester-semester berikutnya, rupanya kelas Literary Theory tetap dipegang ama dosen yang sama. Neko sih nggak benci dosennya. Cuma cara ngajarnya itu bikin ngantuk. Entah beliau sudah saatnya ganti metode, atau otak Neko aja yang terlalu simple untuk menerima hal-hal yang rumit. Huhuhu

Tuhan lalu memberikan jalan terang bagi Neko. Suatu hari Pak Karkono*, menawarkan kepada Neko untuk sit in** di kelas Teori Sastra. Kelasnya Jurusan Sasindo. Beliau bilang Neko bisa mendapatkan ilmu macam strukturalisme blablabla... itu dari kelas beliau. Puji Tuhaaaaaaaaaaaaaan! Alhamdulillaaaaah! Benar-benar setitik cahaya harapan di masa-masa molor kuliah yang kelam!  Akhirnya demi mempersiapkan diri untuk kelas Literary Theory semester depan, Neko pun sit in di kelas Teori Sastra Sasindo selama 1 semester, nyaris non-stop! Gabung ama para mahasiswa baru Sastra Indonesia. Hihihihi... Lagi-lagi ketemu brondong***. 

*dosen Sastra Indonesia yang sering bersedia jadi konsultan waktu Neko mau bikin cerpen

** Sit in= mengikuti perkuliahan di kelas lain. Nggak masuk KRS dan nggak dapat nilai. Tapi insyaallah dapat pengertian ilmu kimia yang lengkap.  Istilah halusnya "JADI PENYUSUP"!

*** motivasi sampingan yang bikin Neko tambah semangat. Hihihihi

Kesan Neko? It was really fun! Ada banyak yang Neko dapetin, padahal Neko baru pertama kali sit in di sana. Pertama kali Neko menyusup, saat itu adalah pertemuan kedua. Tapi udah ada dua teori sastra yang nyantol ni kepala Neko saat itu juga. Alhamdulillah...terimakasih Pak Karkono. Cara mengajar beliau enak diikuti. Beliau mampu menyajikan hal yang rumit menjadi bahasan ringan en mudah dicerna otak. Kelas jadi lebih menyenangkan juga karena Neko udah nge-fren ama nih dosen kali yaaaa? Hehehehe... Nah, apa aja yang udah Neko dapat dari sana? Check these out!
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

B. Pengenalan Kritik Sastra: Jadilah Pembaca Kritis! Kok Harus?

Nah, mulai bab ini, gaya pembahasannya jadi lebih serius nih. Sebagai pemanasan, mari kita lihat lagi kalimat pembuka postingan di atas:

"Apakah karya sastra dapat langsung disebut 
sebagai "karya sastra" setelah dihasilkan? " 

Ternyata jawabannya tidak. Sastra adalah salah satu bentuk kebudayaan manusia yang disampaikan dalam bentuk ide. Entah oral maupun non-lisan atau tertulis. Karena itulah...

"sebuah karya sastra hanya menjadi artifak atau benda mati jika belum dibaca oleh orang lain". 


Agar dapat mengerti maksud kalimat di atas, mari kita mengutip Wolfgang Iser*, 

"Literary work can only come to life when it is read. 
Therefore a literary work can only be studied 
through the eyes of the readers" 

Apa maksudnya? Artinya sebuah karya sastra baru bisa menjadi hidup kalau dibaca oleh orang lain. Jika karya itu sudah diapresiasi oleh pembacanya.

Karena itu, studi tentang sastra hanya bisa didapat melalui sudut pandang pembaca. Karena itu jangan berani-beraninya menyebut diri sebagai penulis kalau karya-karyanya dibiarkan ngendon sampai wuelek di laptop en ga pernah berani mencoba mempublikasikan karya. Minimal jadi aktivis blogger en facebook kaya Neko inilah. Huahahahaha...

*Note: Siapa tuh? Wolfgang Iser? Dia bukan sodaranya Wolfgang Amadeus Mozart loh! Hehehe...Neko belum ngajak kenalan lebih lanjut. Yang jelas Neko nyomot nama beliau dari power point-nya Pak Karkono hihihihi

Untuk penjelasan simpelnya, tengok halaman-halaman Sastra dan resensi buku di kolom-kolom koran hari Minggu. Biasanya di sana ada pembahasan suatu karya sastra secara khusus. Entah cerpen atau novel. Sedangkan resensi lebih kepada promosi buku atau iming-iming agar pembaca koran pun tertarik untuk membeli buku tersebut. Karya-karya sastra yang demikian inilah yang bisa dibilang sebagai karya sastra yang benar-benar hidup. Karena selain sudah diterbitkan dan merambah masyarakat luas, juga sudah mendapatkan respon dari orang lain. Ketika teman-teman membuat resensi buku atau meresensi cerpen orang lain dan mempostinganya secara sederhana di blog masing-masing, itu berarti teman-teman sudah menghidupkan suatu karya sastra. Jaman sekarang, jadilah pembaca yang cerdas dan kritis, bukan hanya pasif. 

Ada banyak karya sastra atau buku-buku yang bisa mengubah dunia. Harry Potter, membuat genre dunia fantasy digemari lagi, minat baca anak-anak meningkat, dan banyak penulis-penulis cilik seperti Ataka dan lain-lain yang akhirnya bisa menerbitkan buku mereka sendiri di usia yang sangat muda karena terinspirasi oleh Harry Potter. Ada buku Negeri Bahagia  yang membuat dunia menyalurkan jutaan dollar bantuan demi menolong para penderita lepra yang tersingkirkan di India. Ada juga Totto Chan, yang memicu revolusi pendidikan di Jepang dan beberapa negara lain (Totto chan kabarnya kini menjadi bacaan wajib para pendidik di Jepang.)

I dare to say that this is my 2nd bible
Pada tahun 2000-an James Redfield pun menggebrak dunia materialisme barat dengan novel The Celestine Prophecy-nya. Buku itu membuat banyak masyarakat dunia barat berbondong-bondong menggali kembali konsep spiritualisme yang di negara mereka sudah aus. Fenomena buku ini di seluruh dunia mungkin bisa disamai oleh ESQ oleh Agus Ginanjar itu Lalu ada Laskar Pelangi, tetralogi yang benar-benar out of the blue. Kini banyak sekolah si beberapa daerah terpencil sudah didirikan dengan profit yang didapat Andrea Hirata dari hasil penjualan bukunya yang mega best-seller. Kini buku itu bahkan diterbitkan secara internasional. Jangan lupakan juga Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cinta-nya yang menghidupkan kembali khasanah karya sastra Islami yang berlandaskan pada moral dan tidak hanya nafsu birahi seperti pada "sastra-sastra parfum" umumnya (yang model gini mah bukan "Sastra Wangi". Istilah yang lebih tepat seharusnya SASTRA BUSUK!)



C. Kesimpulan

Hanya menjadi penikmat sastra boleh-boleh saja, tapi alangkah bagusnya jika teman-teman bisa mendapat nilai lebih dengan menjadi pembaca yang kritis. Tidak hanya keuntungan secara material (seperti uang jika artikel tentang sastra atau jika resensi bukunya dimuat  di media massa), tapi juga secara...hmm...spiritual. Karena membaca karya sastra adalah sarana pembebasan jiwa. Di sana kita bisa mengarungi suatu dunia yang benar-benar berbeda seperti Harry Potter, Alice in Wonderland, sampai Kerudung Merah Kirmidzi. Kita bisa mengalami pengalaman batin yang dilalui para karakter cerita untuk mengembangkan dirinya, hanya dengan berimajinasi.Bayangkan juga bagaimana bahagianya para penulis itu ketika hasil jerih payahnya berkutat selama ribuan jam di depan komputer atau mesin ketik kemudian mendapat respon dari pembacanya.

Pertanyaannya, apakah semua buku di atas bisa populer dengan sendirinya? Tentu tidak. Selain usaha keras para penulis, penerbit, dan distributor buku dalam memasarkan buku-buku itu, peran pembaca pun tak bisa diremehkan. Misalnya nih, banyak teman Neko yang awalnya nggak tertarik blas waktu melihat Novel Laskar Pelangi yang setebal bantal itu di toko buku. Neko sendiri tahu buku ini dari sebuah resensi di satu surat kabar ternama. Tahu apa kata salah satu teman Neko di forum penulis? "Apaan nih? Baca buku itu buku luar negeri, jangan yang dibikin ama orang Indonesia!" Tapi dia langsung mengubah pendapatnya setelah melihat komentar Garin Nugroho di  bawah buku itu! Setahun kemudian, sang teman dengan bersemangatnya mendatangi jumpa fans dengan Andrea Hirata di satu universitas ternama di Malang! Huakakakakakak! Orang-orang pun banyak yang tertarik dengan novel ini, baru setelah Kick Andy menayangkan ulasan tentang Laskar Pelangi.

The Celestine Prophecy awalnya juga tidak laku. Promosi dari mulut ke mulut-lah yang mendongkrak penjualan buku itu dengan drastis. Nah, sudah jelas kan betapa rekomendasi para pembaca, resensi , dan apresiasi ternyata sangat berpengaruh dalam menghidupkan karya sastra?


Ayo budayakan apresiasi sastra. Sekali lagi, jadilah pembaca yang kritis lagi kreatif

Cherio

Mizuki-Arjuneko (Koordinator Divisi Apresiasi Sastra FLP Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...