Sabtu, 01 Juli 2017

Gelegar Ekranisasi di Indonesia


Ini esai yang saya tulis sekira bulan November 2009 dan dimuat di Koran Malang Post..

Saat ini, selain hingar bingar Pemilu Pilpres yang baru saja usai digelar, hal lain yang cukup menyedot perhatian masyarakat adalah hadirnya film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Sejak diputar di bioskop pada 11 Juni 2009 lalu, film yang disutradarai oleh Chaerul Umam ini bisa dikatakan sukses dari segi pencapaian penonton. Tulisan ini tidak hendak membahas film KCB lebih jauh, tetapi lebih fokus pada fenomena lain yang menarik untuk dikupas berkaitan dengan dirilisnya film KCB ini yaitu ekranisasi.


Secara sederhana, ekranisasi dapat diartikan sebagai proses transformasi dari bentuk novel ke dalam bentuk film. Dalam Eneste (1991: 60) dijelaskan, yang dimaksud ekranisasi ialah pelayarputihan (ecran dalam bahasa Prancis berarti layar). Di Indonesia, ekranisasi dapat dikatakan bukanlah hal baru, setidaknya pada tahun 1951 proses adaptasi semacam ini sudah dimulai yaitu ketika sutradara Huyung memfilmkan drama karya Armijn Pane yang berjudul Antara Bumi dan Langit. Ekranisasi memang sudah lama dimulai di Indonesia, tetapi gaung dari fenomena ini sepertinya baru benar-benar terasa ketika novel Ayat Ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El Shirazy difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo. Tidak bisa dipungkiri, kesuksesan film AAC mencatat sejarah tersendiri dalam hal pencapain penonton di bioskop. Angka yang mencapai jutaan penonton sebenarnya akan sangat mungkin menjadi lebih berlipat jika sebelumnya tidak beredar versi bajakannya di internet. Banyak orang yang akhirnya cukup puas melihat di internet dan tidak ke bioskop. 

Fenomena ekranisasi kian menjadi perbincangan karena kesuksesan AAC segera disusul oleh proses ekranisasi yang juga menggebrak yaitu ketika difilmkannya novel Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata oleh sutradara Riri Reza. Film LP juga memikat banyak orang untuk datang ke bioskop. Bahkan, novel Sang Pemimpi yang merupakan rangkaian tetralogi LP, kabarnya juga akan difilmkan. Tidak terlalu lama berselang dari kemunculan film LP, kembali hadir sebuah film hasil adaptasi dari novel yaitu film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang disutradarai Hanung Bramantyo. Film ini diangkat berdasarkan novel karya Abidah El Khalieqy yang berjudul sama. Kita tentu masih ingat, Film PBS semakin menjadi sorotan karena cukup mengundang kontroversi, utamanya dari kalangan umat Islam. 

Jika kita menengok ke belakang, fenomena ekranisasi sebenarnya juga sempat menjadi perbincangan banyak orang yaitu ketika sutradara Imam Tantowi memfilmkan sandiwara radio Saur Sepuh (SP) pada tahun 1988. Flim SP juga sempat meramaikan bioskop Indonesia, bahkan banyak orang yang mengaku sangat jarang ke bioskop dan ke bioskop hanya sekali saat melihat film SP. Dalam sejarah perfilman di Indonesia, ada banyak film hasil ekranisasi yang cukup berhasil mencuri perhatian masyarakat luas, beberapa di antaranya adalah film Darah dan Mahkota Ronggeng karya Ami Priyono yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, film Jangan Ambil Nyawaku yang diangkat dari novel karya Titi Said, film Roro Mendut karya Ami Priyono yang diangkat dari novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, film Atheis karya Sjumandjaja yang diangkat berdasarkan novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja, film Salah Asuhan karya Asrul Sani yang diangkat berdasarkan novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, film Ca Bau Kan karya Nia Dinata yang diangkat dari novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado. Bahkan Novel Badai Pasti Berlalu karya Marga. T. sudah dua kali difilmkan dan yang terakhir disutradarai oleh Teddy Suriatmadja. 

Di kancah perfilman dunia, banyak film yang meledak di pasaran adalah film-film hasil proses ekranisasi. Sebut saja, film Harry Potter yang merupakan adaptasi dari novel berjudul Haryy Potter karya J.K. Rowling, film The Lord of the Rings yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tolkien tahun 1954, film Doctor Zhivago adaptasi dari novel Doktor Zhivago karya Boris Pasternak, dan masih banyak lagi.

Kembali pada awal tulisan ini, bioskop di Indonsia tengah diramaikan pemutaran film hasil proses ekranisasi yaitu film KCB. Film ini diangkat dari novel dwilogi karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul sama. Apa yang terjadi dengan film KCB dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diraih oleh film AAC, utamanya dari segi pencapaian penonton. Sepertinya, gelegar KCB diprediksikan tidak begitu saja berlalu karena film ini dibuat dalam dua film, KCB 1 yang tayang sejak 11 Juni, dan KCB 2 yang direncanakan tayang pada bulan September tahun ini. Yang menjadi pertanyaan penting, mengapa film-film hasil proses ekranisasi (lebih sering) laris di pasaran? Apakah hal ini sebuah kewajaran? Dalam pandangan saya, film-film hasil proses ekranisasi bisa dikatakan cukup beralasan jika diminati penonton. Salah satu pertimbangan proses ekranisasi adalah melihat media sebelumnya (misalnya novel atau sandiwara radio) juga memiliki banyak penggemar. Ada asumsi, jika sebelumnya sudah meledak di pasaran, tentunya ketika difilmkan akan juga mengundang minat banyak orang. Pembaca novel atau pendengar sandiwara radio lebih sering memiliki rasa penasaran yang kuat, ingin tahu bagaimana cerita di dalam novel ataupun di sandiwara radio ketika divisualisasikan ke dalam film. Seorang sutradara film ataupun produser tentu sangat jeli membidik peluang dan bukan tanpa pertimbangan ketika hendak membuat film yang diangkat dari media tertentu.

Jika melihat kenyataan bahwa banyak film hasil proses ekranisasi yang sukses di pasaran, bukan tidak mungkin ke depan akan semakin banyak film yang diproduksi hasil ekranisasi. Fenomena ini cukup menggembirakan, pasalnya berdasarkan kenyataan yang ada kualitas film-film hasil ekranisasi bisa dikatakan cukup baik karena diangkat dari novel yang berkualitas pula dan sebelumnya sudah meledak di pasaran. Menggembirakan karena khazanah film Indonesia semakin berwarna, tidak saja mengangkat tema-tema horor atau tema seks yang dibungkus komedi seperti yang sudah terjadi di Indonesia. 

Sekadar catatan, melihat reaksi masyarakat terhadap film-film hasil ekranisasi, sejauh ini banyak yang memberi penilaian bagus tidaknya film hasil ekranisasi adalah pada tingkat kemiripan/kesamaan antara novel dan filmnya. Jika film bisa memenuhi harapan penonton (lebih mirip dengan novel) maka penonton lebih banyak yang menilai bagus meskipun secara umum belum tentu kualitas filmnya bagus. Begitu juga sebaliknya: ada film yang cukup berbeda dengan novel (karena sengaja dibuat berbeda dengan tujuan tertentu) dinilai tidak bagus oleh sebagian besar penonton padahal sebenarnya kualitas film tersebut cukup bagus. Apa pun itu, saya menilai semua ini sebagai fenomena yang positif, gelegar ekranisasi setidaknya membuat masyarakat lebih apresiatif dan kritis terhadap karya seni film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...