Senin, 19 Juni 2017

WAKATOBI: Akhirnya Kau Kudatangi


Sebelumnya, rima tentang keindahan Wakatobi sebatas saya dengar atau saya lihat melaui televisi atau internet. Sepertinya, tipis kemungkinan bagi saya untuk mengunjungi tempat itu. Ya, setidaknya melihat kondisi keuangan saya. Sebab, yang saya tahu, Wakatobi itu jauh, di Sulawesi Tenggara. Meskipun saya penyuka jalan-jalan, tetap harus memperhitungan banyak hal sebelum bepergian, termasuk keuangan, hehe.

Namun, Impossible is Nothing.
Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Alhamdulillah, begitu bahagia saat saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sana. Bergembiranya lagi, saya bisa ke Wakatobi dengan gratis. Iya, lagi-lagi ini bentuk apresiasi atau 'hadiah' karena abstrak saya lolos untuk dipresentasikan di sebuah seminar internasional. Ini kesempatan kedua, setelah sebelumnya saya pernah ke Pulau Bintan juga dengan tujuan yang sama dan fasilitas yang sama. Padahal, saya sebelumnya tidak begitu berharap sebab kali ini saingannya sangat banyak. menurut info dari salah satu panitia, ada 400 abstrak yang masuk dan hanya diambil 25 abstrak. Alhamdulillah ya Allah. Saya juga wajib berterima kasih pada salah satu mahasiswa cerdas saya, Choirun Nisa Ristanty yang sudah membantu untuk edit bahasa Inggrisnya, hehe. Makasih ya Tan, Allah yang membalasnya.

Seperti yang sudah saya bayangkan, perjalanan ke Wakatobi akan sangat panjang. Nyatanya, perjalanan ke sana tidak cukup ditempuh dalam satu hari, meskipun naik pesawat. Route pertama, saya berangkat dari bandara Juanda Surabaya. Kemudian transit di Makassar untuk menuju ke Kendari. Nah, di Kendari inilah harus menginap semalam sebab pesawat ke Wakatobi sudah lewat, hanya ada sekali penerbangan dan itu waktunya sekira pukul 10.00 pagi. Padahal, saya mendarat di Kendari sudah sore. Disyukuri dan dinikmati, berarti kesempatan saya untuk singgah di Kendari. Lain kali akan saya tulis khusus di Kendari sebab di kesempatan lain saya juga mengunjungi Kendari untuk urusan lain. Singkat cerita, keesokan harinya saya terbang ke Wakatobi.

Asli, saya baru sadar dan tahu, kalau sejatinya WAKATOBI itu akronim, hehe. Pantesan, awalnya saya merasa kata 'Wakatobi' kok kurang familiar di lidah Indonesia, agak-agak Jepang atau gimana gitu, hihi. Yup, WAKATOBI adalah akronim dari nama-nama pulau di sana, ada WAngi-wangi, KAledupa, TOmiya, dan BInongko. Jadi, Wakatobi itu bentuknya kepulauan, salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Saya ke sana ke Pulau Wangi-wangi, ibukota kecamatanya ada di Wanci. Konon, Pulau Wangi-wangi memang yang paling ramai di antara pulau-pulau yang lain.Pulau atau daerah lain yang dekat dengan Wakatobi adalah PUlau Buton dengan ibukotanya di Bau Bau. Keperluan atau kebutuhan di Wakatobi biasanya dipasok dari Buton.

Bandara di Wanci terletak di dekat pantai, saat hendak mendarat, kelihatan indah sebab air laut membiru berkolaborasi dengan pasir putih pantai yang mengelilinginya. Dari bandara ke lokasi acara, yaitu Patuno resort, lumayan jauh. Sepertinya tidak ada transportasi umum. Saya waktu itu naik mobil yang disediakan panitia.
Sepertinya, Patuno Resort ini adalah salah satu resort yang cukup besar di kawasan Wanci ini. Tidak salah, kalau event seminar internasional ini diadakan di sini. Suasanaya begitu nyaman. tepat di tepi pantai yang indah. Selain bangunan-bangunan yang masih mempertahankan artitektur klasik, lokal daerah setempat, juga yang sangat terasa adalah kesunyiannya. Saking luasnya, di dalam area resort disediakan kendaraan lho. Sebab, dari resto, misalnya, ketika hendak ke kamar jauhnya minta amiit. uhuks. So, banyak spot kalau mau menghabiskan waktu di resort ini. Sudut-sudut pantai semuanya menawan. Sepertinya, cukup berdiam diri di resort saja sudah maknyuss... Namun, tentu sayang dong jika tidak jalan-jalan ke luar. Nah, kebetulan saya dapat kenalan orang-orang dari kalangan jurnalis nih. Mereka juga datang untuk acara seminar ini. Ada yang wartawan Kompas, Majalah Femina, dan ada juga kontributor in-flight magazine. Asyik kan, naluri keingintahuan mereka sedemikian besar. Makanya, rasanya klik saat bersama-sama mereka eksplore Wakatobi.

Salah satu keindahan di Wakatobi adalah keindahan di dasar lautnya. Jadi, kalau mau tahu keindahan dasar lautnya ya musti menyelam, atau minimal snorkeling. Nah, saya pun melakukannya. Jalan-jalan ke berbagai tempat, baik pusat kulinar, pusat kerajian tenun, maupun spot wisata lain: ada budidaya rumput laut dan ada juga Kampung Bajo.

Namun demikian, yang membuat saya terharu adalah saat sesi presentasi.
Saya presentasi di hadapan peserta dari berbagai negara, bahkan ada yang dari Belanda. Bhakan yang memoderatori adalah seorang profesor dari Bali. Ada juga mantan pejabat yang dulu saya kenal waktu saya kecil, mengenal mereka via televisi. Kini, mereka duduk sebagai pembicara lain dan waktu saya presentasi, mereka menyimak apa yang saya presentasikan. Meskipun grogi, tetapi ada kebanggaan dan keharuan yang menyeruak di dada. Beginilah, jika ilmu begitu diapresiasi. Kerja keras menulis makalah, banyak membaca referensi sana-sini, seolah begitu bermanfaat dan tidak ada sesuatu yang sia-sia. Alhamdulillah atas anugerah semua ini.


Oiya, ada salah satu minuman khas dari Wakatobi yang sangat saya suka. Namanya Saraba kalau tidak salah. Sekilas mirip-mirip teh tarik khas Aceh sih. Seperti susu ada gula merahnya gitu. Pokoknya enak, apalagi kalau diminum hangat-hangat ditemani pisang goreng, di makan di tepi pantai yang dihiasi angin semilir, wuih... alhamdulillah banget itu.

Satu lagi, di Wakatobi ini mayoritas penduduknya muslim. Sangat senang sebab begitu mudah menemukan masjid dan mendengar suara adzan. Selain itu, kita tidak terlalu risau saat hendak menyantap hidangan di berbagai kedai di sana. Harga-harganya pun murah-murah. Coba kalau Wakatobi itu dekat, bakalan sering ke sana, hehe.

Saat penutupan acara seminar, digelar pentas seni yang menampilkan berbagai atraksi khas Wakatobi.Salah satunya aadalah tari Lariangi. Konon, menurut info yang saya dengar dari teman saya yang wartawan Kompas, tarian ini jarang-jarang dipentaskan. Sekilas memang nampak suasana magis gitu, sebab penari yang berjumlah 12 wanita ini menari sambil menyanyi menggunakan bahasa daerah setempat. Bersyukur bisa menyaksikan pertunjukan langka ini.

Lagi-lagi harus bersyukur diberi kesempatan oleh Allah bisa mengunjungi Wakatobi, bisa menjelajahi setiap lekuk eksotikanya, dan merasai sejuta pesonanya. Saatnya pulang dengan membawa banyak kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...