Kamis, 15 Juni 2017

Nothing is Impossible


Behind The Scene Jalan Sunyi

Siang itu, 30 Agustus 2016, pertama kali kami dipertemukan dalam sebuah majelis khusus. Majelis yang dibuat sebagai wadah pembinaan keagamaan. Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Pemahaman keislaman memang hal yang penting, dan kegiatan ini sebagai bentuk tanggung jawab ‘perusahaan/organiasi’  terhadap kesejahteraan karyawan dari sisi ruhiyah. Unsur yang vital dalam sebuah organisasi adalah SDM.


Kelompok kami ada 7 orang, dengan satu orang sebagai pembina. Kalau sekadar kenal, saya sudah kenal semuanya, keenam teman di kelompok ini. Namun, tidak semuanya saya kenal secara akrab, paling sekadar tahu nama dan pernah bertemu di beberapa kesempatan. Saya pribadi, awalnya merasa senang karena di kelompok ini dibina oleh pak Wahyu Setiawan yang sudah cukup saya kenal, bahkan jauh waktu saya usai lulus kuliah S1. Salah satu nama yang sebenarnya membuat saya ‘bertanya-tanya’ adalah Ustad Amin Rois. Bertanya-tanya sebab menurut saya idealnya beliau sudah masuk sebagai Pembina, bukan anggota. Ya, selain memang menjadi Mudir pesantren, beliau kan ustadz, alumni Al Azhar pula.
 Pertemuan pertama dilakukan di sebuah masjid kawasan Manahan. Kami bertemu dan berkenalan satu sama lain. Standar sih, laiknya majelis khusus yang ‘sudah biasa’ saya ikuti. Dibuat susunan pengurus juga, dan seperti sudah saya duga, ustad Amin Rois kami daulat menjadi ketua kelompok, aklamasi. Kesan pertama saya, masih biasa. Namun, saya menangkap ada nuansa berbeda. Majelis ini sepertinya ‘diciptakan’ lebih pada produktivitas, bukan sebatas aktivitas kerohanian semata.
Seiring berjalannya waktu, saya merasa ‘klik’ dengan kelompok ini. Meskipun sejatinya kami berbeda karakter, tetapi uniknya kami mencoba tidak bertahan dengan dominasi karakter kami masing-masing. Hal ini membuat kami bisa nyaman satu sama lain. Kami pun membuat komitmen-komitmen tentang bagaimana mengelola majelis ini. Ide-ide bertebaran, dan oleh Pembina, bisa diakomodasi dan mendukungnya. Lalu, muncul sebauh nama yang kami sepakati sebagai identitas kelompok kami yaitu The Dream Team. Maknanya yang terkandung sebenarnya tidak jauh berbeda dengan makna kata-kata itu sendiri, yaitu menjadi tim yang diimpikan, tim yang tentu membanggakan. Namun, bagi kami bukan sesederhana itu. Kami meniatkan tim ini menjadi tim yang membuat kami nyaman di dalamnya dan akan merindukannya senantiasa. Hingga, jika tidak datang di tiap pekannya, kami merasa ‘rugi’ dan merasa kurang langkap.
Semangat itu ternyata tidak sekadar menjadi isapan jempol belaka. Masing-masing kami mencoba mewujudkannya. Ya, menjadi majelis yang dirindukan dan majelis impian. Majelis yang kami rindukan adalah slogan dan motivasi kami agar kami senantiasa berusaha datang, kecuali jika benar-benar urgent. Sejauh ini, Alhamdulillah, masih bisa kami wujudkan, dari segi kehadiran bisa dikatakan bagus. Majelis impian yang kami maksud adalah majelis yang bisa memberi kontribusi nyata bagi masing-masing kami pribadi dan juga untuk umat. Maka, program-program pun kami gulirkan.
Singkat cerita, kami ingin membuat karya film.
Ide ini menurut kami realistis sebab kami mempunyai kecenderungan dan bekal ke arah sana. Kalaupun ada yang ‘awam’, ibaratnya masih bisa satu selera hingga tak ada yang perlu merasa dipaksakan. Persiapan pun kami lakukan, dari mulai ide cerita, pemain, dana, dan teknis lain. Kami tidak ingin sesuatu itu terkendala dana. Dana memang penting, tetapi bukan berarti segala sesuatu harus terkendala dana, jika usaha dilakukan, insya Allah akan ada jalan. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin.
Cerita sudah disusun, naskah sudah ada, pemain sudah ada gambaran, dan siap dilakukan pengambilan gambar. Catatannya, semua kami wajib ikut main film. Ahay… ini tantangan baru bagi saya. Selama ini, saya paling ‘alergi’ main film, lebih memilih di balik layar. Kalau main teater sudah sering dan akan senang-senang saja menjalankannya. Woke, saya konsekuen. Saya akan ikut main film ini.
Jalan Sunyi, adalah judul naskah yang akan kami produksi.
Naskah ini merupakan karya bersama. Ide utama dari Ustad Wahyu Setiawan, dibumbui oleh Ustad Amin Rois dalam sinopsis, dan saya yang menuliskannya menjadi scenario utuh. Salah satu lokasi yang ingin kami pakai untuk pengambilan gambar adalah kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur. Dari ketujuh anggota The Dream Team, baru saya dan Pak Sony Raharjo yang sudah pernah ke sana. Ini berarti juga sebagai bentuk mewujudkan mimpi teman-teman lain yang selama ini ingin pergi ke Bromo. Biar tidak sekadar berhenti sebagai mimpi belaka, jiaaa.
Malam itu, Sabtu 10 Desember 2016, kami meluncur menuju Bromo.
Persiapan menuju tanggal 10 Desember 2016 ini sudah sedemikian kami lakukan. Mulai dari pendanaan kami pribadi dengan iuran tiap pekan, ngurus bekal, alat, transportasi, dan lain-lainnya. Bismillah…
Kami bertujuh menggunakan mobil AVP milik Hadila Corporation dengan skema menyewa. Ustadz Amin Rois yang menjadi driver, dan saya sebagai navigator karena sudah faham route di sana dan sudah tiga kali ke Bromo dengan berbagai rute, duilee. Ahad pagi, kami singgah di rumah mertua saya di kawasan Bangil , Kabupaten Pasuruan. Alhamdulillah, dapat jamuan sarapan pagi, hingga bisa mengurangi anggaran pengeluaran, hehe, segitunya ya. Itu sih bukan utama, tapi sebab memang sejalur, sekalian untuk transit MCK dan silaturrahim. Apalagi, kedua adik istri saya adalah alumni Gontor, sama seperti Ustadz Amin Rois. Kami meneruskan perjalanan menuju Bromo melalui jalur utara, Probolinggo. Perjalanan relatif lancar meskipun bisa dikatakan cukup ramai sebab memang long week end.
Menjelang dzuhur, kami tiba di kawasan Cemoro lawang, Bromo. Gerimis dan kabut menyambut kami. Ada yang unik, ustadz Amin Rois begitu turun dari mobil langsung menggelar jaket dan sujud di depan mobil. Menurut beliau, ini prestasi tersendiri sebab bisa lancar melalui jalur ke Bromo yang curam dan aduhai. Kami lalu mendekat ke radius titik terdekat Gunung Bromo, tepatnya di samping hotel Cemoro Indah. Kami mengenakan jaket ‘seragam’ kami yang memang kami beli untuk identitas kelompok, uhuks. Pak Luthfi Hidayat yang ngurus semuanya. Beliau memang ahli dalam hal keuangan dan ngurus penik-pernik begitu.
Rencana awal, kami ingin mendirikan tenda. Kami pun sudah membawa dua tenda yang kami pinjam dari teman, berikut peralatan masaknya. Namun, melihat kondisi alam Bromo yang gerimis dan diselimuti kabut tebal, kami jadi berpikir ulang. Kami membawa peralatan elektronik yang tentu riskan jika terkena air. Maka kami pun survei penginapan di sekitar kami. Alhamdulillah, kami ketemu dengan penginapan yang menurut kami nyaman dan pas sesuai budget kami. Satu vila dengan tiga kamar tidur yang cukup nyaman dan murah. Tanpa pikir panjang, kami pun langsung deal menyewa vila itu. Kami segera menurunkan barang-barang dari mobil, dan menghangatkan badan di vila. Maksudnya berteduh, hihi. Maklum, kondisi saat itu memang super dingin. Bahkan saat kami berbicara pun selalu keluar asap dari mulut kami laiknya orang merokok. Kami sholat di vila, sekadar catatan, di sini mayoritas Hindu hingga cukup sulit mencari mushola atau masjid.
Pak Luthfi, bendahara kami yang terampil, sudah dengan cekatan memesan nasi bungkus di warung depan vila kami. Kami juga menghidupkan kompor untuk membuat minuman hangat, lalu makan bersama di ruang tamu villa.
Perjalanan yang jauh dan melelahkan, ditambah dengan suasana yang hujan dan berkabut, membuat kami lebih memilih mendekam di kamar berselimut tebal. Lagi pula, kalau mau langsung take gambar juga sulit sebab yang terlihat hanya kabut. Keakraban begitu terasa, kami serasa satu kost.
Malam merambat. Gerimis belum juga reda. Kami harus segera melakukan take/pengambilan gambar agar waktu yang ada bisa termanfaatkan dengan optimal. Minimal ada scene mana dulu yang bisa diambil. Yang dapat jatah utama pegang kamera adalah Pak Wahyu Wahnuri dan Pak Sony Raharjo. Namun, ketika beliau berdua ada scene, maka kamera bisa dipegang oleh yang lain. Prinsipnya, kami siap main juga siap jadi kameraman, hihihi. Ok, kami akhirnya mengambil gambar di samping restaurant Hotel Cemoro Lawang, untuk adegan outdoor. Kami semua kompak ke sana, mengatur segala sesuatunya, termasuk pesan minuman hangat di resto. Kendala gerimis lumayan teratasi, tetapi muncul kendala lain:pencahayaan. Suasana malam di Bromo begitu gelap. Ah, akhirnya tetap diambil seadanya, jika nanti hasilnya jelek bisa take  ulang besok, pokir kami begitu. Malam kian berpendar kehitaman, dan kami menghabiskan malam dalam dingin yang hangat sebab bersama dalam kehangatan.
Keesokan harinya, kami bersemangat untuk melakukan take.  Prinsip kami, ini jalan-jalan yang efektif, jalan-jalan yang sekaligus syuting dan syuting yang sekaligus jalan-jalan. Adegan pertama yang kami ambil adalah suasana di depan vila dengan kabut dan kuda-kuda yang berseliweran, sungguh memesona. Pak Tri Waluyo yang sangat bersemangat. Alhamdulillah, satu scene selesai dengan lancar. Meski kadang masih ada rinai gerimis, namun secara umum pencahayaan aman untuk syuting, hingga kami memanfaatkan banyak spot di sekitar Bromo untuk menuntaskan adegan-adegan yang sudah ada di scenario. Kami bersemangat sebab setelah itu ingin turun ke lautan pasir dan mendaki puncak. Kami ambil gambar di lereng bukit, perkebunan, dan persawahanyang hijau. Ada juga scene di mana kami harus menyewa kuda. Alhamdulillah… lancar. 



Siang hari, kami kembali ke vila dulu untuk ishoma.
Setelah itu, kami berencana menuju ke lautan pasir. Senangnya, pagi hingga siang sudah banyak scene yang kami ambil. Ya, meskipun saya pribadi kurang begitu puas dengan hasilnya sebab kadang ‘tergesa-gesa’, tetapi tetap disyukuri. Namanya juga tidak semua sudah pengalaman dari segi acting maupun pegang kamera kan?
Sebenarnya, ide awal membuat film ini didasari ide untuk jalan-jalan lho. Ya, awalnya sempat terlontar ingin jalan-jalan ke Gunung Andong, pembicaraan berkembang, sekalian saja ke Bromo. Impossible is nothing, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Meski Bromo jauh dari Solo, kenapa tidak? Akhirnya dipilihlah Bromo untuk lokasi jalan-jalan. Nah, sayang kan ke Bromo jika sekadar jalan-jalan. Akhirnya muncul ide film. Bromo kan dikenal dengan pamandangan alamnya yang indah. Maka, skcenario pun menyesuaikan dengan lokasi Bromo. Bagaimana membuat cerita yang ada setting Bromonya. Tentu, film ini tidak sekadar bersetting tunggal, Bromo saja, ada setting lain dan juga pemain lain di luar kami bertujuh. Biar di Bromo tidak sekadar foto-fotoan saja, tetapi ada karya yang tercipta, yaitu film. Bismillah, semoga terwujud.
Lanjut dengan cerita kami di Bromo ya.
Singkat cerita, kami keluar vila, menuju gerbang lokasi Bromo yang ke arah lautan pasir. Siang itu lumayan banyak pengunjung. Dan… kami memutuskan menggunakan jasa transportasi yang sangat tenar di kawasan Bromo. Tahu kan apa itu? Yup, mobil jeep atau Hard Top. Kalau saya dulu, pernah jalan kaki, pernah juga naik motor saat masuk dari arah Malang. Namun, ini kan kami ngejar waktu, rencana juga ingin ke padang rumput dan spot-spot lain, bakalan tidak efektif jika jalan kaki.
Alhamdulillah dapat harga ‘miring’. Memang sudah siang hari, kalau pas pagi hari konon lebih mahal. Mobil pun turun. Menyeberangi lautan pasir, kea rah padang rumput. Kalau saya sudah tidak terlalu ‘nggumun’ sebab ini bukan kali pertama. Kalau teman-teman lain, barangkali ya takjub, seperti saat pertama saya menginjakkan kaki di kawasan Bromo ini.
Sampai lokasi pertama. Segera ambil gambar, dan lumayan cepat sebab tidak banyak dialog, hanya untuk scene opening dan lebih banyak ke tokoh utama yang diperankan Ustad Amin Rois. Usai ambil gambar, kami puaskan untuk foto-foto. Begitulah…


Usai dari spot pertama, lanjut ke spot-spot berikutnya. Secara umum lancar. Lancar di sini saya maknai lebih pada kondisi alam. Harus sangat di syukuri, hari ini secara umum kondisi Bromo sangat cerah. Padahal, sehari sebelumnya hujan dan kalau hujan reda, kabut tebal menutupi hingga sulit untuk ambil gambar. Hari itu suasana cerah. Sore, kami tiba di kaki gunung Bromo. Semua scene secara umum sudah usai. Tinggal ‘bersenang-senang’ ibaratnya. 
 https://www.youtube.com/watch?v=LZ58lm6jzpc

Berlanjut...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...