Behind The
Scene Jalan Sunyi
Siang
itu, 30 Agustus 2016, pertama kali kami dipertemukan dalam sebuah majelis
khusus. Majelis yang dibuat sebagai wadah pembinaan keagamaan. Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Pemahaman keislaman
memang hal yang penting, dan kegiatan ini sebagai bentuk tanggung jawab
‘perusahaan/organiasi’ terhadap
kesejahteraan karyawan dari sisi ruhiyah. Unsur yang vital dalam sebuah
organisasi adalah SDM.
Kelompok
kami ada 7 orang, dengan satu orang sebagai pembina. Kalau sekadar kenal, saya
sudah kenal semuanya, keenam teman di kelompok ini. Namun, tidak semuanya saya
kenal secara akrab, paling sekadar tahu nama dan pernah bertemu di beberapa
kesempatan. Saya pribadi, awalnya merasa senang karena di kelompok ini dibina
oleh pak Wahyu Setiawan yang sudah cukup saya kenal, bahkan jauh waktu saya usai lulus kuliah S1. Salah satu nama yang sebenarnya membuat saya
‘bertanya-tanya’ adalah Ustad Amin Rois. Bertanya-tanya sebab menurut saya
idealnya beliau sudah masuk sebagai Pembina, bukan anggota. Ya, selain memang
menjadi Mudir pesantren, beliau kan ustadz, alumni Al Azhar pula.
Pertemuan pertama dilakukan di sebuah masjid
kawasan Manahan. Kami bertemu dan berkenalan satu sama lain. Standar sih,
laiknya majelis khusus yang ‘sudah biasa’ saya ikuti. Dibuat susunan pengurus
juga, dan seperti sudah saya duga, ustad Amin Rois kami daulat menjadi ketua
kelompok, aklamasi. Kesan pertama saya, masih biasa. Namun, saya menangkap ada
nuansa berbeda. Majelis ini sepertinya ‘diciptakan’ lebih pada produktivitas,
bukan sebatas aktivitas kerohanian semata.
Seiring
berjalannya waktu, saya merasa ‘klik’ dengan kelompok ini. Meskipun sejatinya
kami berbeda karakter, tetapi uniknya kami mencoba tidak bertahan dengan
dominasi karakter kami masing-masing. Hal ini membuat kami bisa nyaman satu
sama lain. Kami pun membuat komitmen-komitmen tentang bagaimana mengelola
majelis ini. Ide-ide bertebaran, dan oleh Pembina, bisa diakomodasi dan
mendukungnya. Lalu, muncul sebauh nama yang kami sepakati sebagai identitas
kelompok kami yaitu The Dream Team.
Maknanya yang terkandung sebenarnya tidak jauh berbeda dengan makna kata-kata
itu sendiri, yaitu menjadi tim yang diimpikan, tim yang tentu membanggakan.
Namun, bagi kami bukan sesederhana itu. Kami meniatkan tim ini menjadi tim yang
membuat kami nyaman di dalamnya dan akan merindukannya senantiasa. Hingga, jika
tidak datang di tiap pekannya, kami merasa ‘rugi’ dan merasa kurang langkap.
Semangat
itu ternyata tidak sekadar menjadi isapan jempol belaka. Masing-masing kami
mencoba mewujudkannya. Ya, menjadi majelis yang dirindukan dan majelis impian.
Majelis yang kami rindukan adalah slogan dan motivasi kami agar kami senantiasa
berusaha datang, kecuali jika benar-benar urgent.
Sejauh ini, Alhamdulillah, masih bisa kami wujudkan, dari segi kehadiran bisa
dikatakan bagus. Majelis impian yang kami maksud adalah majelis yang bisa
memberi kontribusi nyata bagi masing-masing kami pribadi dan juga untuk umat.
Maka, program-program pun kami gulirkan.
Singkat
cerita, kami ingin membuat karya film.
Ide
ini menurut kami realistis sebab kami mempunyai kecenderungan dan bekal ke arah
sana. Kalaupun ada yang ‘awam’, ibaratnya masih bisa satu selera hingga tak ada
yang perlu merasa dipaksakan. Persiapan pun kami lakukan, dari mulai ide
cerita, pemain, dana, dan teknis lain. Kami tidak ingin sesuatu itu terkendala
dana. Dana memang penting, tetapi bukan berarti segala sesuatu harus terkendala
dana, jika usaha dilakukan, insya Allah akan ada jalan. Tidak ada sesuatu yang
tidak mungkin.
Cerita
sudah disusun, naskah sudah ada, pemain sudah ada gambaran, dan siap dilakukan
pengambilan gambar. Catatannya, semua kami wajib ikut main film. Ahay… ini
tantangan baru bagi saya. Selama ini, saya paling ‘alergi’ main film, lebih
memilih di balik layar. Kalau main teater sudah sering dan akan senang-senang
saja menjalankannya. Woke, saya konsekuen. Saya akan ikut main film ini.
Jalan
Sunyi, adalah judul naskah yang akan kami produksi.
Naskah
ini merupakan karya bersama. Ide utama dari Ustad Wahyu Setiawan, dibumbui oleh
Ustad Amin Rois dalam sinopsis, dan saya yang menuliskannya menjadi scenario utuh. Salah satu lokasi yang
ingin kami pakai untuk pengambilan gambar adalah kawasan Gunung Bromo, Jawa
Timur. Dari ketujuh anggota The Dream Team, baru saya dan Pak Sony Raharjo yang
sudah pernah ke sana. Ini berarti juga sebagai bentuk mewujudkan mimpi
teman-teman lain yang selama ini ingin pergi ke Bromo. Biar tidak sekadar
berhenti sebagai mimpi belaka, jiaaa.
Malam
itu, Sabtu 10 Desember 2016, kami meluncur menuju Bromo.
Persiapan
menuju tanggal 10 Desember 2016 ini sudah sedemikian kami lakukan. Mulai dari
pendanaan kami pribadi dengan iuran tiap pekan, ngurus bekal, alat,
transportasi, dan lain-lainnya. Bismillah…
Kami
bertujuh menggunakan mobil AVP milik Hadila
Corporation dengan skema menyewa. Ustadz Amin Rois yang menjadi driver, dan
saya sebagai navigator karena sudah faham route
di sana dan sudah tiga kali ke Bromo dengan berbagai rute, duilee. Ahad pagi, kami singgah di rumah
mertua saya di kawasan Bangil , Kabupaten Pasuruan. Alhamdulillah, dapat jamuan
sarapan pagi, hingga bisa mengurangi anggaran pengeluaran, hehe, segitunya ya.
Itu sih bukan utama, tapi sebab memang sejalur, sekalian untuk transit MCK dan
silaturrahim. Apalagi, kedua adik istri saya adalah alumni Gontor, sama seperti
Ustadz Amin Rois. Kami meneruskan perjalanan menuju Bromo melalui jalur utara,
Probolinggo. Perjalanan relatif lancar meskipun bisa dikatakan cukup ramai
sebab memang long week end.
Menjelang
dzuhur, kami tiba di kawasan Cemoro lawang, Bromo. Gerimis dan kabut menyambut
kami. Ada yang unik, ustadz Amin Rois begitu turun dari mobil langsung
menggelar jaket dan sujud di depan mobil. Menurut beliau, ini prestasi
tersendiri sebab bisa lancar melalui jalur ke Bromo yang curam dan aduhai. Kami
lalu mendekat ke radius titik terdekat Gunung Bromo, tepatnya di samping hotel
Cemoro Indah. Kami mengenakan jaket ‘seragam’ kami yang memang kami beli untuk
identitas kelompok, uhuks. Pak Luthfi Hidayat yang ngurus semuanya. Beliau
memang ahli dalam hal keuangan dan ngurus penik-pernik begitu.
Rencana
awal, kami ingin mendirikan tenda. Kami pun sudah membawa dua tenda yang kami
pinjam dari teman, berikut peralatan masaknya. Namun, melihat kondisi alam
Bromo yang gerimis dan diselimuti kabut tebal, kami jadi berpikir ulang. Kami
membawa peralatan elektronik yang tentu riskan jika terkena air. Maka kami pun
survei penginapan di sekitar kami. Alhamdulillah, kami ketemu dengan penginapan
yang menurut kami nyaman dan pas sesuai budget kami. Satu vila dengan tiga
kamar tidur yang cukup nyaman dan murah. Tanpa pikir panjang, kami pun langsung
deal menyewa vila itu. Kami segera menurunkan barang-barang dari mobil, dan
menghangatkan badan di vila. Maksudnya berteduh, hihi. Maklum, kondisi saat itu
memang super dingin. Bahkan saat kami berbicara pun selalu keluar asap dari
mulut kami laiknya orang merokok. Kami sholat di vila, sekadar catatan, di sini
mayoritas Hindu hingga cukup sulit mencari mushola atau masjid.
Pak
Luthfi, bendahara kami yang terampil, sudah dengan cekatan memesan nasi bungkus
di warung depan vila kami. Kami juga menghidupkan kompor untuk membuat minuman
hangat, lalu makan bersama di ruang tamu villa.
Perjalanan
yang jauh dan melelahkan, ditambah dengan suasana yang hujan dan berkabut,
membuat kami lebih memilih mendekam di kamar berselimut tebal. Lagi pula, kalau
mau langsung take gambar juga sulit
sebab yang terlihat hanya kabut. Keakraban begitu terasa, kami serasa satu
kost.
Malam
merambat. Gerimis belum juga reda. Kami harus segera melakukan take/pengambilan gambar agar waktu yang
ada bisa termanfaatkan dengan optimal. Minimal ada scene mana dulu yang bisa diambil. Yang dapat jatah utama pegang
kamera adalah Pak Wahyu Wahnuri dan Pak Sony Raharjo. Namun, ketika beliau
berdua ada scene, maka kamera bisa dipegang oleh yang lain. Prinsipnya, kami
siap main juga siap jadi kameraman, hihihi. Ok, kami akhirnya mengambil gambar
di samping restaurant Hotel Cemoro Lawang, untuk adegan outdoor. Kami semua kompak ke sana, mengatur segala sesuatunya,
termasuk pesan minuman hangat di resto. Kendala gerimis lumayan teratasi,
tetapi muncul kendala lain:pencahayaan. Suasana malam di Bromo begitu gelap.
Ah, akhirnya tetap diambil seadanya, jika nanti hasilnya jelek bisa take ulang besok, pokir kami begitu. Malam kian
berpendar kehitaman, dan kami menghabiskan malam dalam dingin yang hangat sebab
bersama dalam kehangatan.
Keesokan
harinya, kami bersemangat untuk melakukan take.
Prinsip kami, ini jalan-jalan yang
efektif, jalan-jalan yang sekaligus syuting dan syuting yang sekaligus
jalan-jalan. Adegan pertama yang kami ambil adalah suasana di depan vila dengan
kabut dan kuda-kuda yang berseliweran, sungguh memesona. Pak Tri Waluyo yang
sangat bersemangat. Alhamdulillah, satu scene selesai dengan lancar. Meski
kadang masih ada rinai gerimis, namun secara umum pencahayaan aman untuk
syuting, hingga kami memanfaatkan banyak spot di sekitar Bromo untuk
menuntaskan adegan-adegan yang sudah ada di scenario. Kami bersemangat sebab
setelah itu ingin turun ke lautan pasir dan mendaki puncak. Kami ambil gambar
di lereng bukit, perkebunan, dan persawahanyang hijau. Ada juga scene di mana
kami harus menyewa kuda. Alhamdulillah… lancar.
Siang
hari, kami kembali ke vila dulu untuk ishoma.
Setelah
itu, kami berencana menuju ke lautan pasir. Senangnya, pagi hingga siang sudah
banyak scene yang kami ambil. Ya, meskipun saya pribadi kurang begitu puas
dengan hasilnya sebab kadang ‘tergesa-gesa’, tetapi tetap disyukuri. Namanya
juga tidak semua sudah pengalaman dari segi acting maupun pegang kamera kan?
Sebenarnya,
ide awal membuat film ini didasari ide untuk jalan-jalan lho. Ya, awalnya
sempat terlontar ingin jalan-jalan ke Gunung Andong, pembicaraan berkembang,
sekalian saja ke Bromo. Impossible is nothing, tidak ada sesuatu yang tidak
mungkin. Meski Bromo jauh dari Solo, kenapa tidak? Akhirnya dipilihlah Bromo
untuk lokasi jalan-jalan. Nah, sayang kan ke Bromo jika sekadar jalan-jalan.
Akhirnya muncul ide film. Bromo kan dikenal dengan pamandangan alamnya yang
indah. Maka, skcenario pun menyesuaikan dengan lokasi Bromo. Bagaimana membuat
cerita yang ada setting Bromonya. Tentu, film ini tidak sekadar bersetting
tunggal, Bromo saja, ada setting lain dan juga pemain lain di luar kami
bertujuh. Biar di Bromo tidak sekadar foto-fotoan saja, tetapi ada karya yang
tercipta, yaitu film. Bismillah, semoga terwujud.
Lanjut
dengan cerita kami di Bromo ya.
Singkat
cerita, kami keluar vila, menuju gerbang lokasi Bromo yang ke arah lautan
pasir. Siang itu lumayan banyak pengunjung. Dan… kami memutuskan menggunakan
jasa transportasi yang sangat tenar di kawasan Bromo. Tahu kan apa itu? Yup,
mobil jeep atau Hard Top. Kalau saya dulu, pernah jalan kaki, pernah juga naik
motor saat masuk dari arah Malang. Namun, ini kan kami ngejar waktu, rencana
juga ingin ke padang rumput dan spot-spot lain, bakalan tidak efektif jika
jalan kaki.
Alhamdulillah
dapat harga ‘miring’. Memang sudah siang hari, kalau pas pagi hari konon lebih
mahal. Mobil pun turun. Menyeberangi lautan pasir, kea rah padang rumput. Kalau
saya sudah tidak terlalu ‘nggumun’ sebab ini bukan kali pertama. Kalau
teman-teman lain, barangkali ya takjub, seperti saat pertama saya menginjakkan
kaki di kawasan Bromo ini.
Sampai
lokasi pertama. Segera ambil gambar, dan lumayan cepat sebab tidak banyak
dialog, hanya untuk scene opening dan lebih banyak ke tokoh utama yang
diperankan Ustad Amin Rois. Usai ambil gambar, kami puaskan untuk foto-foto.
Begitulah…
Usai
dari spot pertama, lanjut ke spot-spot berikutnya. Secara umum lancar. Lancar
di sini saya maknai lebih pada kondisi alam. Harus sangat di syukuri, hari ini
secara umum kondisi Bromo sangat cerah. Padahal, sehari sebelumnya hujan dan
kalau hujan reda, kabut tebal menutupi hingga sulit untuk ambil gambar. Hari
itu suasana cerah. Sore, kami tiba di kaki gunung Bromo. Semua scene secara
umum sudah usai. Tinggal ‘bersenang-senang’ ibaratnya.
https://www.youtube.com/watch?v=LZ58lm6jzpc
https://www.youtube.com/watch?v=LZ58lm6jzpc
Berlanjut...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar