Selasa, 21 Oktober 2025

 

Dari Laksmana ke Ekalaya: 

Menyulam Jiwa di Panggung Graha Cakrawala

 



Alhamdulillah, syukur kepada Dzat pemilik keagungan di atas segala.

Selama menjadi bagian dari Universitas Negeri Malang(UM) sejak tahun 2005, saya telah beberapa kali terlibat dalam produksi pagelaran kesenian, baik di tingkat Fakultas Sastra maupun di Departemen Sastra Indonesia. Dunia panggung bukan hal yang asing bagi saya—ia selalu menjadi ruang tempat saya belajar memahami manusia dan kehidupan melalui gerak dan kisah. Namun, ketika Universitas Negeri Malang mempercayakan saya untuk menyutradarai Sendratari Ramayana pada tahun 2024 di Graha Cakrawala dalam rangkaian Puncak Lustrum XIV sekaligus Dies Natalis UM ke-70, tantangannya terasa jauh lebih besar. Panggung universitas tidak hanya menuntut kreativitas, tetapi juga tanggung jawab dan komitmen kolektif. Apalagi, dalam pagelaran itu, saya tidak hanya menjadi sutradara, tetapi juga turut berperan menjadi salah satu pemain, yaitu memerankan tokoh Laksmana. Tentu, situasi ini tidaklah mudah sebab menuntut keseimbangan antara kendali keseluruhan pagelaran dan juga keterlibatan emosional saya pribadi sebagai salah satu aktor. Puji syukur, pementasan tersebut berjalan sukses. Penonton memenuhi Graha Cakrawala, dan energi yang mengalir dari panggung ke kursi penonton terasa begitu hidup.

Tahun 2025 ini, tanggung jawab serupa kembali datang—kali ini dalam bentuk Sendratari Mahabharata. Saya pribadi patut bersyukur sebab lembaga tempat saya bernaung ini memberi ruang yang leluasa kepada warganya untuk berkreasi dan berkolaborasi bersama. Sejak awal, saya tahu tantangan yang akan dihadapi berbeda. Saya memutuskan untuk mengajak Prof. Aji Prasetya Wibawa dari Fakultas Teknik untuk menulis naskah. Saya percaya kekuatan cerita akan menjadi jiwa dari keseluruhan pementasan. Menurut saya, Prof. Aji yang seorang dalang dan memahami cerita Mahabharata, tentu akan sangat pas untuk menggarap naskah. Kolaborasi itu berjalan hangat dan penuh diskusi, hingga akhirnya terbentuk kisah Mahabharata versi kami—sebuah tafsir tentang kebijaksanaan, perjuangan, dan keikhlasan. Dalam produksi ini, saya kembali tidak hanya menyutradarai, tetapi juga berperan sebagai Ekalaya, sosok yang teguh dalam kesetiaan dan pengorbanan—karakter yang secara tak terduga mencerminkan perjalanan batin saya sendiri di tengah proses kreatif yang panjang ini. Tokoh Ekalaya  di mata saya adalah salah satu karakter yang penuh makna. Ekalaya mengajarkan saya tentang ketulusan belajar, dedikasi, dan kesetiaan pada nilai yang diyakini. Dalam proses mendalami peran, saya seperti berdialog dengan diri sendiri tentang arti pengorbanan dalam berkarya. Sosok Ekalaya menjadi cermin yang membantu saya memahami peran seorang pelaku seni sekaligus pendidik.




Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Di tengah proses produksi, kami kehilangan sosok penting—Bapak Hartono, penata iringan yang juga menjadi bagian berharga dari kesuksesan Ramayana tahun sebelumnya. Kepergian beliau meninggalkan duka yang mendalam bagi kami semua. Di saat yang sama, proses harus terus berjalan. Posisi penata iringan akhirnya diganti oleh Mas M. Ilham Isniawan, yang dengan kepekaan dan dedikasinya berhasil menjaga semangat musikal pagelaran. Meski secara pribadi saya baru kenal Mas Ilham, tetapi alhamdulillah, kami tidak butuh waktu lama untuk saling beradaptasi dalam berkarya. Kepergian Pak Har mengajarkan  kami bahwa seni bukan hanya soal karya, melainkan juga tentang kebersamaan dan keberlanjutan jiwa dari mereka yang telah lebih dulu berkontribusi.

Tantangan lain yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan tahun 2024 adalah fakta bahwa sebagian besar dari kami bukanlah penari profesional. Kami adalah dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan juga para pimpinan universitas yang memiliki kesibukan masing-masing. Menyatukan semua jadwal, menjaga semangat latihan, dan memastikan kualitas keseluruhan tetap terjaga bukan perkara mudah. Namun, justru di sanalah letak keindahannya. Setiap latihan menjadi ruang perjumpaan—antara lelah dan tawa, antara koreksi dan apresiasi. Kami belajar bahwa seni adalah proses membangun keselarasan, bukan hanya di atas panggung, melainkan juga dalam hati masing-masing kami yang terlibat. Kadang, keharuan menyeruak di hati saya. Sejatinya, banyak sekali potensi di kampus UM ini yang jika disinergikan menjadi satu, akan lahir sebuah karya besar yang berkualitas. Beliau-beliau dengan antusias merelakan waktu dan tenaga untuk terlibat secara langsung. Para pimpinan pun senantiasa memebri arahan dan dukungan penuh.

Sabtu malam, 18 Oktober 2025, di Graha Cakrawala menjadi puncak dari segala usaha itu. Ketika para penonton mulai masuk gedung dan mengisi ribuan kursi di Graha Cakarawala, semua ketegangan seolah berubah lega. Saat lampu-lampu panggung menyala dan musik gamelan Jawa mengalun, seluruh kelelahan seperti luruh seketika. Pementasan berlangsung mengalir, dialog mengikat emosi penonton, dan kisah Mahabharata Widya Kalpika hidup dengan kuat di mata mereka. Setelah adegan akhir selesai, tepuk tangan menggema—bukan hanya untuk para pemain maupun pengiring, melainkan untuk semangat kolektif yang tak pernah padam. Banyak yang mengatakan bahwa tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, terutama karena narasi dan dialog membuat kisah lebih mudah diikuti secara emosional. Bagi saya, itu adalah bukti bahwa seni tak pernah statis—ia tumbuh bersama jiwa orang-orang yang mencintainya.

Kini, ketika semua telah usai, saya memandang kembali perjalanan itu dengan rasa haru dan syukur. Banyak respon positif yang kami terima, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Banyak konten di medsos yang menyatakan kebanggaan mereka terhadap UM.  Cerdas, langkah UM menggelar pagelaran ini tentulah langkah strategis yang sudah seyogianya diapresiasi. Menggelar konser musik misalnya, bisa jadi banyak lembaga yang bisa melakukannya, termasuk kampus. Namun, pagelaran sendratari, di era modernitas saat ini, apalagi dimainkan oleh berbagai elemen di kampus sendiri, tentu tidak semua bisa atau mau melakukannya. Dari sudut pandang kehumasan, ini tentu memberi dampak positif dan promotif dalam jangka panjang kepada masyarakat luas.






Dari Ramayana hingga Mahabharata, dari Laksmana hingga Ekalaya, saya belajar bahwa menjadi sutradara bukan sekadar mengatur adegan, melainkan merawat ruh kebersamaan dan makna di balik setiap langkah di panggung. Sendratari Mahabharata Widya Kalpika bukan hanya karya, melainkan cermin kehidupan—tentang kehilangan, harapan, dan keyakinan bahwa setiap gerak, sekecil apa pun, memiliki arti dalam perjalanan menuju kebijaksanaan.

 


  Kini, setiap kali saya mengingat Sendratari Ramayana dan Mahabharata versi UM, saya tidak hanya teringat pada panggung megah atau gemerlap cahaya, melainkan pada wajah-wajah penuh semangat yang berlatih hingga malam, pada kebersamaan yang tumbuh di antara perbedaan, dan pada semangat seorang sahabat yang kini telah tiada namun tetap hidup dalam karya kami. Pementasan ini menjadi penanda bahwa seni di kampus bukan hanya hiburan, melainkan juga sarana pembentuk karakter, penguat nilai, dan jembatan yang mempertemukan pengetahuan dengan keindahan. 




Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, baik secara langsung maupun tidak, atas kesuksesan pagelaran dua tahun berturut ini. Semoga kita senantiasa mengedepankan kekompakan dan kebersamaan, yang pada akhirnya akan mengharumkan almamater kita, UM tercinta.

Matur nuwun, UM.

💗



 

Sabtu, 19 Oktober 2024

Ada Banyak Cerita di Maluku Utara

 Ternate, Tidore, Maitara, dan Keramahan Tiada Tara


Keputusan untuk mengunjungi Maluku Utara di tahun 2023 ini jujur saja cukup sulit saya ambil. Di waktu yang bersamaan, ada beberapa kegiatan penting yang sedianya bisa saya ikuti, yaitu karantina Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional yang dilanjutkan dengan lombanya di Bandung dan event Borobudur Writers and Culture Festival. Namun, dengan beragam pertimbangan dan konsekuensi, akhirnya saya memiliki ke Maluku Utara.



Perjalanan ke Ternate, bisa dikata cukup makan waktu. Secara durasi penerbangan sejatinya biasa saja, tetapi sebab harus transit, jadi cukup memakan waktu. Penerbangan dari Surabaya ke Makassar, transit Makassar, dilanjut ke Ternate. Beruntung, pulau kecil itu sudah memiliki bandara sendiri.


 



Sebab Cinta yang Menggerakkan, Sebab Cinta yang Membuat Semua Menjadi Mungkin

 Catatan Atas Pagelaran Sendratari Ramayana

dalam Rangkaian Gebyar Lustrum XIV dan Dies Natalis ke-70

Universitas Negeri Malang Tahun 2024



     Pertama kali saya mengetahui tentang rencana Pagelaran Sendratari Ramayana adalah dari Bu Evynurul Laely Zein, Wakil Dekan 1 Fakultas Sastra (FS) Universitas Negeri Malang (UM). Kak Lely, begitu beliau biasa saya sapa, menyampaikan hal tersebut usai menyaksikan pagelaran Sendratari Prasetya Ekalaya yang digelar di Aula AVA FS dalam rangkaian Navastra Sambut Semester Gasal 2024. Sendratari tersebut dimainkan oleh 6 dosen FS dan dibantu beberapa mahasiswa untuk penari bedayan. Kisah Ekalaya, Arjuna, dan Resi Durna yang kami tampilkan, barangkali memikat hati para penonton, termasuk Kak Lely, hingga beliau terinspirasi untuk menggelar hal yang sama (Sendratari) dalam acara Lustrum, yang tahun ini diketuai oleh Kak Lely itu sendiri.

Singkat cerita, saya, Kak Lely, dan Bu Maya (Maria Hidayati) yang juga salah satu panitia Lustrum, mengadakan rapat kecil terkait rencana ini, sebelum nanti disampaikan ke seluruh panitia atau ke Rapim UM. Koordinasi kecil ini, menghasilkan keputusan bahwa cerita yang diangkat adalah Ramayana. Salah satu pertimbangannya sebab cerita ini lebih familiar di kalangan masyarakat luas. Bisa jadi, salah satu sebabnya barangkali lagu Anoman Obong yang sedikit banyak berisi cerita Ramayana. Kami juga mengajak Bu Tri Wahyuningtyas dan Pak Hartono untuk terlibat dalam rencana pagelaran sendratari ini. Beliau berdua adalah dosen Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM) FS UM yang memang sangat kompeten di bidang tari dan karawitan dan juga sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan kesenian di UM.

Saya mendapat kabar jika rencana pagelaran sendratari ini disetujui untuk digelar. Salah satu catatannya adalah pemainnya harus melibatkan anggota Rapim UM. Saya pun mendapat data seluruh anggota Rapim UM. Jajaran pejabat di Rapim UM itu banyak yang belum saya kenal, paling hanya tahu nama. Hingga, saya tidak tahu kapasitas beliau-beliau ini dalam menari. Namun, saya sedikit lega bahwa tetap boleh mengajak para dosen lain, tendik, atau mahasiswa untuk peran-peran lain. Hal ini cukup melegakan sebab para anggota Rapim UM tentu sangat sibuk dan akan sulit mencari waktu untuk berlatih. Jika peran-peran utama diberikan pada anggota Rapim, tentu ini sebuah tantangan tersendiri. Selanjutnya, saya berusaha ngutak atik, pembagian peran yang saya sesuaikan dengan kebutuhan cerita.

Hal pertama yang saya lakukan adalah menyusun skenario. Saya buat konsep skenario adalah pagelaran sendratari tanpa dialog. Jika sudah pernah melihat Sendratari Ramayana di Prambanan, konsepnya sama dengan itu. Semua cerita disampaikan dalam gerakan tari, tanpa dialog dari para pemain. Paling ada dalang atau sindhen di beberapa adegan untuk mempertegas adegan atau suasana melalui iringan gamelan yang ada tembangnya. Konsep ini menguntungkan dari proses latihan sebab pemain tidak perlu menghafalkan dialog dan durasi pementasan bisa lebih ringkas jika tanpa dialog. Namun, tantangannya adalah bagaimana cerita bisa mudah diterima oleh penonton jika hanya dalam rangkaian gerak tari. Dalam proses casting, saya berdikusi dengan Bu Tri dan juga Bu Febrita dari FIK. Pertimbangan pemain tidak sekadar dari satu orang biar terhindar dari subjektivitas. Secara umum, kami cocok dengan komposisi casting pemain ini. Selanjutnya, perlu kepastian langsung kepada para dosen atau tendik yang kami pasang ke peran tertentu.


Waktu yang disedikan untuk proses pagelaran sendratari ini sebenarnya bisa dikatakan cukup, sekitar tiga bulan. Namun, faktanya tidak mudah untuk mengeksekusinya. Bisa dikata, proses dari mulai berlatih gerak hingga iringan dan hari H pementasan, sekitar satu bulan. Seperti yang sudah saya prediksi, aktivitas para pemain yang beragam dan sangat padat adalah tantangan tersendiri. Beberapa kali terjadi bongkar pasang posisi pemain sebab banyak hal yang terjadi. Sekali ini, sebuah proses produksi karya, apa pun itu, masing-masing memiliki tantangan tersendiri. Saya sudah terbiasa merasai hal ini. Jadi, senantiasa berusaha santai dan yakin bahwa nanti akan aman-aman saja. Sebagai seorang yang diamanahi untuk menajdi sutradara, sejatinya ini bukan hal baru. Terlibat di produksi pementasan di kampus sudah beberapa kali. Demikian juga di produksi film. Namun, kali ini berbeda. Sebagian besar pemain adalah dosen dan pejabat. Diperlukan strategi tersendiri agar semua bisa berjalan dengan baik, terutama dalam hal waktu untuk berlatih.



        Kembali pada pergantian pemain yang hingga hari H pun masih terjadi, hehe. Misalnya, pemeran Anoman di tengah perjalanan mengundurkan diri sebab alasan kesehatan yang sangat bisa dimaklumi. Saya memutar otak, mencari pengganti. Syukur alhamdulillah, Pak Robby Hidayat, bersedia menjadi Anoman setelah sedikit saya rayu-rayu. Saya salut dan kagum dengan kesungguhan dan kerendahhatian beliau. Beliau dosen senior, usia di atas 60 tahun, dan baru saja meraih Guru Besar. Saya jujur juga sangsi saat meminta beliau untuk menjadi Anoman. Bukan soal kompetensi, melainkan terkait usia sebab Anoman tentu banyak gerak lincah yang tidak mudah dilakukan. Namun sekali lagi, saya banyak belajar pada beliau. Beliau tidak banyak bicara, tetapi memberi pelajaran bagi saya tentang kedisiplinan dan profesionalitas. Gerakan lincah beliau dan ide-ide gerakan akrobatik membuat pagelaran semakin indah. Pergantian pemain juga terjadi pada tokoh lelaki tua jelmaan Rahwana. Peran ini awalnya diperankan oleh Prof. Munjin, WR III. Namun, saat latihan, beliau tidak hadir sebab ada acara lain. Lalu, peran tersebut diganti ke Prof. Markus Diantoro. Prof. Munjin bergeser ke peran Raja Peserta Sayembara. Ringkasnya, pergantian-pergantian terjadi bahkan menjelang hari H. Peran penting yang juga mengalami pergantian adalah Rahwana. Alhamdulillah, Prof. Aji dengan ringan menyatakan jika sanggup menjadi Rahwana, tukar dengan Prof. Dasna yang akhirnya memerankan Kumbakarna. Prof. Aji sangat bersemangat berlatih dan dengan bekal beliau sebagai dalang, tentu sangat membantu beliau dalam memerankan Rahwana.

Saya belajar untuk tetap tenang dan yakin. Meski jujur, kalau menggunakan standar proses sebuah produksi pageleran sebelum-sebelumnya, ini jauh dari standar tersebut. Beberapa orang menyarakan saya untuk mengambil sikap, misalnya jika ada pemeran yang saat gladi kotor tidak datang, apa langsung diganti saja. Namun, saya tidak melakukannya. Saya memiliki keyakinan bahwa masing-masing pemain pasti memiliki tanggung jawab dan profesionalisme dalam kadar masing-masing. Jika memang tidak bisa datang latihan dengan maksimal, mereka pasti akan berusaha berlatih mandiri, entah dari video rekaman saat latihan sebelumnya atau dari pranala youtube yang kami bagi di grup. Maka, Keputusan akhir untuk ikut terlibat atau tidak, saya serahkan pada para pemain sendiri. Ada yang memutuskan tidak ikut sebab ada kendala anak sakit, ada yang beliau sendiri sakit, dan lainnya. Semua keputusan kembali pada para pemain sendiri.


Bagi saya, tugas utama sutradara bukan sekadar memastikan karya akan selesai dan bagus. Tugas sutradara yang sangat penting juga adalah bagaimana memastikan keseluruhan proses berjalan nyaman, semua merasa bahagia dan suasana tetap menyenangkan. Kekurangan di sana sini bagaimana harus disikapi dengan kepala dingin dan sembari cerdas memikirkan berbagai solusi. Kadang, tidak semua anggota proses produksi pagelaran bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini sengaja diciptakan untuk menjaga stabilitas agar semua tetap berlangsung nyaman, tetapi semua bisa selesai. Proses kali ini sangat mengajari saya untuk lebih-lebih lembah manah dan untuk selalu belajar dewasa dengan kejutan-kejutan yang terjadi. Biasanya, saya lebih banyak berproses dengan mahasiswa. Relasi dosen-mahasiswa barangkali bisa menbuat mahasiswa untuk lebih serius sebab mungkin sungkan dengan dosen. Sementara kali ini, tentu bukan soal sungkan, tetapi aktivitas lain yang sama-sama penting adalah salah satu kendala yang perlu disiasati.

Jika beberapa hal ini saya ceritakan, bukan untuk validasi atas yang sudah saya lakukan. Namun, lebih kepada mengambil hikmah kebaikan, agar untuk proses-proses selanjutnya bisa lebih keren lagi. Atau untuk para mahasiswa yang akan memulai sebuah proses produksi, agar tidak kaget dan bahwa lika-liku sebuah proses itu ya begini. Dan tentu, masing-masing proses punya dinamika tersendiri. Kadang, kita memang harus melakukan hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawab kita. Hal-hal seperti itu sangat lumrah untuk dilakukan agar hal-hal yang harus dilakukan dan diantisipasi tidak lepas dan akhirnya semua terakomodasi. Bahwa pagelaran ini ada panitia, tentu saja. Namun, panitia di saat yang sama masih mengurusi rangkaian kegiatan lain. Wajar jika kadang ada hal-hal yang belum terkeksekusi dengan maksimal. Namun, panitia Lustrum XIV ini keren, sangat mendukung, dan koordinatif. Jika ada kurang, itu hal biasa. Yang utama adalah komunikasi.

Menjelang hari H, saya sempat ketar ketir. Pak Hartono menyampaikan, kapasitas Graha Cakrawala sekitar 6000 an, kalau hanya 1000 an penontonya, tidak akan terlihat kalau ada penonton. Hal tersebut disampaikan saat melihat angka calon pendaftar yang mengisi G form pendaftaran. Ketar ketir saya berubah saat semakin dekat hari H. Pendaftar yang mengisi form 4000 an. Ketar ketir saya bukan soal jumlah penonton, tetapi kalau ada ribuan penonton, tetapi sajian karya belum maksimal bagaimana. Bahkan, saat gladi bersih pun, ada beberapa pemain yang tidak hadir. Ada juga adegan yang belum pernah dicoba dengan iringan. Gladi bersih kan harusnya sekali tampil, apa pun yang terjadi, ya sudah ya. Ini tidak, hihi, gladi bersih belum berjalan maksimal sebab perlu mengulang beberapa adegan agar lebih maksimal. Saya, Bu Tri, dan Pak Hartono, memastikan beberapa adegan yang belum fiks. Ya alhamdulillah, kami memiliki beberapa antisipasi, salah satunya, musik yang mengikuti aktivitas di panggung, hehe. Jika kondisi panggung salah, ya musik menyesuaikan. Pilihan bijak dari Pak Hartono saat beliau menyepakati hal tersebut. Saya salut dengan profesionalitas dan kesungguhan beliau. Meski durasi latihan tidak panjang, beliau tetap menyiapkan sajian musik yang tertata dan begitu keren. Sekadar info, yang paling malam pulang selesai latihan adalah Pak Hartono. Matur nuwun sanget Pak Har.

Saat pementasan, kejutan terjadi. Graha Cakrawala penuh penonton. Di Google Form, saya lihat ada 4800 an yang mengisi. Bisa jadi, sebab hanya bisa mengisi satu kali, ada beebrapa teman atau anggota keluarga yang datang tetapi belum mengisi form. Maka, kapasitas Graha Cakrawala yang sekitar 6000 an itu bisa tersisi penuh. Semua urutan proses acara berjalan lancar. Secara umum, tampilan pertunjukkan lancer dan keren. Banyak adegan yang justru jauh lebih bagus jika dibanding latihan. Ini semakin menguatkan saya, bahwa yakin dan selalu berpikir positif akan menghasilkan hal yang positif juga. Saya yakin, para pemain yang sebelumnya bisa jadi belum bisa berlatih maksimal sebab kesibukan, pada hari H akan bertanggung jawab dengan maksimal menampilkan potensi yang dimiliki. Alhamdulillah, pagelaran lancer, teknis secara umum lancer. Baik pemain, pengirin, maupun penontong merasa lega.


Satu hal, penonton sebanyak itu bisa tenang menyimak keseluruhan pagelaran. Di beberapa adegan, penonton menujukkan ekspresi suara mengikuti jalan cerita. Misal saat Rama memenangkan sayembara, ikut bersorak, saat Jatayu dibunuh Rahwana, penonton ikut terkejut dan teriak. Atau tawa membahana saat adegan Emban. Meski saya yakin, tidak semua bisa leluasa jelas menyimak jalan cerita, tetapi sajian ini masih bisa dinikmati dari keindahan koreografi dan komposisi iringannya. Tata lampu, riaa busana, tata artistik, dan videotron pun turut mendukung keindahan pagelaran ini.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak yang sudah memberi kesempatan merasai pengalaman berharga ini. Seluruh Jajaran Rapim UM yang menyetujui dan mendukung ide pagelaran ini, Kak Lely dan jajaran panitia Lustrum yang sangat mendukung dan melayani. Semua pemain dan pengiring yang sudah memberikan kemampuan yang dimiliki sepenuh cinta. Penghargaan setingginya untuk semua pendukung. Dalam beberapa kesempatan, haru saya menyeruak saat melihat para pejabat itu berusaha menyempatkan waktu di sela-sela aktivitas yang sangat padat. Ada yang meminta ke saya berlatih privat atau direkam. Ini bukti bahwa beliau-beliau ini berusaha maksimal dan profesional. Saya juga memohon maaf yang sebesarnya apabila banyak hal yang kurang berkenan selama proses berlangsung.



Alhamdulillah, kolaborasi dan sinergi ini membuktikan kepada kita bahwa UM memiliki talenta-talenta yang jika disatukan dalam sebuah karya, akan menghasilkan karya yang istimewa. Masing-masing potensi bukanlah ancaman bagi satu dan yang lainnya, tetapi justru sebuah entitas yang potensial untuk dikolaborasikan. Semu aini terasa indah, sebab cintalah yang menggerakkan kita. Sebab cinta kita pada almamater yang membuat kita rela melawan rasa ‘malu’ kita untuk mau pentas, dan sebagainya. Semua pengorbanan semoga mendapat balasan yang indah. Semoga proses ini bukan yang pertama dan yang terakhir. Kepada Allah kita berserah diri dan kembali.





Jumat, 23 September 2022

Cerita Ganjil

 

Nalar Kami Belum Bisa Menjangkaunya

 


Sejauh ini, kalau saya mengalami kejadian ‘aneh’, seringnya di kamar hotel. Saya pikir, ini wajar. Kamar hotel belum tentu setiap hari ditempati. Yang menempati pun beragam jenis orang dan beragam aktivitas. Ada kejadian ‘aneh’ masih wajar, pikir saya. Namun, kali ini saya mengalami kejadian aneh bukan di kamar hotel. Sekali lagi, kalau saya menceritakan kisah ini, bukan untuk apa-apa atau gimana-gimana, sekadar untuk mengikat pengalaman-pengalaman saya yang barangkali ada hikmah terselip di baliknya.

Suatu ketika, saya dengan dua teman dosen dari UM mendapat tugas ke LN, ke sebuah negara yang film-film horornya dikenal bagus, hehe. Sebut saja teman saya itu Pak Bro dan Bu Sist. Saya sempat kepikiran sih, tapi saya berusaha abaikan dan berdoa agar perjalanan dinas yang cukup lama ini (seingat saya, ini perjalanan dinas paling lama) berjalan lancar dan sukses.

Dua malam pertama kami menginap di hotel. Meski sempat ada suara-suara aneh di kamar, tapi tidak terlalu signifikan dan intinya semua baik-baik saja. Namun, saat kami pindah kota dan menginap di tempat baru, sempat ada peristiwa yang kami alami bertiga dan hingga kini masih menjadi misteri. Kami menginap di sebuah rumah yang bagus dan bersih. Di lantai dua, ada kamar-kamar semacam guest house yang diperuntukan untuk para tamu dan datang di lokasi tersebut, sebutlah pesantren. Kami berencana menginap di tempat tersebut selama tiga malam sebelum nanti pindah di kota lain.

Malam pertama di rumah itu kejadiannya.

Kami disambut oleh tuan rumah yang sangat ramah dan baik, sebuat saja Abah. Beliau sangat mengamalkan ajaran untuk memuliakan tamu. Termasuk menjamu kami dengan makanan yang enak. Saat makam malam, kami berbincang di tempat makan di lantai satu dengan hangat. Kami dapat informasi bahwa di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Kalau di kamar atas, selain kami bertiga yang dibagi dalam dua kamar, ada satu kamar yang dihuni oleh putra Abah. Menantu  Abah (perempuan) yang memasak. Namun, karena punya usaha restoran, dia tidak menginap di rumah ini. Ke rumah ini hanya untuk mengantar makanan. “Anggap seperti rumah sendiri,” kata Abah dengan ramah. Beliau sudah tampak sepuh, tetapi terlihat bugar dan sehat. Beliau juga sangat ramah.

Usai makan malam, kami tidak ke mana-mana, lalu naik ke kamar dilantai dua. Semakin malam, saya dan Pak Bro berada di kamar paling tepi. Kamar tengah ditempati Bu Sist, sendirian. Dan kamar ujung adalah yang ditempati oleh putra Abah, tapi seingat saya, saya belum sempat bertemu. Waktu menunjukkan sekitar pukul 23.30, dan kami berdua masih ngobrol. Sebelum maghrib, saya sempat melihat suasana di luar kamar dari balkon. Luar kamar itu tampak gelap dan rimbun oleh pohon kelapa sawit. Saya merinding dan sempat menyampaikannya ke Pak Bro.

Kejadian diawali dengan lampu di balkon yang nyala sendiri. Seingat kami sih. Entah, sebenarnya gimana, apa rusak atau memang ada mahkluk lain yang menyalakannya, hihi.  Nah, sekitar pukul 23.30 tadi, tiba-tiba, kami sama-sama mendengar engsel pintu kamar kami dibuka secara paksa. Tapi karena kami kunci dari dalam, pintu itu pun tidak terbuka. Kami sempat diam sebentar, seperti slaing bertanya, siapa itu. Kok tidak ketuk pintu dulu dan kira-kira siapa malam-malam begini mau ke kamar kami. Sementara, kami masih sama-sama ingat dengan kata-kata Abah, jika tidak ada siapa-siapa.

Entah, apa sebabnya kok saya yang bergegas menuju pintu dan membukanya, sementara Pak Bro masih diam di atas ranjangnya. Di dalam kamar itu ada dua ranjang. Setelah pintu saya buka, ….saya melihat sosok perempuan lumayan tua, pakai hijab dan bawahan kain (kalau ingat saya tapihan pakai kain gendong yang biasa saya lihat di Indonesia). Perempuan itu berbicara dalam bahasa lokal yang saya sendiri kurang  faham. Perempuan  itu menatap saya sebentar, terlihat kurang ramah, jika tidak bisa disebut marah.  Lalu, dia  berbegas ke kamar sebelah. Saya seperti terpaku dan tidak bisa berbuat  apa-apa. Pintu kamar sebelah terbuka sebab sore tadi saya tahu, kunci pintu kamar itu masih ada di luar dan tidak bisa diambil, praktis pintu itu tidak bisa dikunci dari dalam. Kamar yang ditiduri Bu Sist itu pun dibuka, saya sempat was-was jika terjadi apa-apa dengan Bu Sist. Tetapi, ternyata perempuan itu tidak masuk kamar,  hanya melihat dan berbicara tidak jelas, kemudian pintu ditutup kembali. Tidak lama, perempuan itu, yang saya lihat jelas tampak seperti manusia (entah siapa sebenarnya) seperti ngomel dalam bahasa lokal dan lalu turun ke lantai satu. Saya tidak berusaha mengikuti sebab masih disergap tanda tanya.

Saya lalu masuk kamar, menutup pintu dan menguncinya. Yang saya lakukan pertama adalah menelpon Bu Sist. Maksud saya sekadar konfirmasi, mendengar suara pintu kamarnya dibuka atau tidak, atau bisa jadi juga melihat sosok yang sama. Telp diangkat Bu Sist, dan  ternyata, Bu Sist  meski sudah tidur, masih mendengar jika pintu kamarnya ada yang membuka, tetapi tidak sempat melihat siapa yang membuka. Saya dan Pak Bro sempat berbincang, menduga-duga siapa sebenarnya perempuan itu. Namun, kami sepakat mengakhiri perbincnagan itu dan berencana besok menanyakan ke Pak X, pendamping kami selama di negara tersebut yang malam itu tidur di lantai satu.

Ringkasnya, saat kami konfirmasi sana-sini, belum ketemu siapa sebenarnya sosok tersebut. Menurut Pak X, Mama, istri Abah, tidur di rumah sebelah dan tidak pernah ke rumah yang kami tempati itu, apalagi naik ke lantai dua. Pak X sempat menyampaikan, itu barangkali salah satu santri yang sakit dan mau ke kamar tapi salah masuk. Batin saya, santri kan masih setara siswa SMP dan SMA, itu yang saya lihat sudah setengah tua, usia di atas 60 an. Sampai tlulisan ini saya unggah, saya belum menemukan kepastian, siapa sebenarnya ‘beliau’. Wallahu’alam.

Rabu, 21 September 2022

Catatan Perjalanan

 

Eksotika Thailand  Selatan dan Tradisi Memuliakan Tamu yang Inspiratif


Ini adalah catatan perjalanan saya ketika mengunjungi Thailand beberapa waktu lalu. Ada banyak cerita yang layak untuk dituliskan, pun untuk mengikat inspirasi-inspirasi yang saya dapat agar tidak sekadar berserak dan menguar begitu saja. Ada banyak cerita dan yang pasti cerita horornya tetap ada, hihi. Penasaran kan?😎

 

Perjalanan kali ini lumayan lama, sekitar delapan hari. Barangkali sebelumnya saya pernah melakukan perjalanan yang cukup lama juga saat ke Tanah Suci. Namun, kali ini berbeda. Ada tanggung jawab yang sebelumnya agak berat saat dibayangkan, yaitu mendampingi mahasiswa berjumlah 19 orang. Kerepotan saat check in di bandara, transportasi lokal, dan aktivitas lain yang lumayan membuat berdebar sebab ini soal tanggung jawab mengawasi dan memastikan semua mahasiswa aman dan selamat, duilee. Syukur alhamdulillah, perjalanan ini usai dan semua lancar selamat. Tidak ada kendala yang berarti. Keruwetan yang sempat membayangi, bisa terlewati dengan banyak kemudahan.

Baru pertama ini saya ke Thailand. Tentu, perjalanan ini harus saya syukuri sebab menambah daftar negara yang saya kunjungi. Meski, salah satu tempat yang ingin saya kunjungi, Maldives, sampai kini belum terwujud, hihi. Kota pertama yang saya kunjungi saat ke Thailand ini adalah Hat Yai. Seperti lazim saya lakukan saat akan mengunjungi sebuah kota atau negara, saya sudah mencari banyak informasi tentang destinasi yang akan saya kunjungi melalui internet. Berselancar ke sana ke mari dan akhirnya mendapat banyak informasi, seperti objek wisata apa yang laik dikunjungi, tradisi setempat yang perlu saya ketahui agar berhati-hati, alternatif kuliner, tips belanaja oleh-oleh, dan hal-hal lain yang sekiranya perlu. Ini sangat membantu agar perjalanan menjadi lebih aman dan efektif. Efektif yang saya maksud adalah dapat memanfaatkan waktu agar antara tugas dan jalan-jalan, bisa selaras dan nyaman, hihi.

Kota Hat Yai tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu luas. Satu hal yang menarik bagi saya adalah kotanya lumayan tenang dan teratur. Meski tidak terlalu indah, tetapi tidak semrawut dan secara umum Hat Yai adalah kota yang ramah untuk dikunjungi. Jalanan yang lumayan bersih, lengang, dan tenang adalah ciri utama yang bisa saya catat. Hat Yai berdekatan dengan Kota Songkhla. Keduanya cukup nyaman meski tidak bisa dipungkiri cuacanya lumayan panas. Dua malam saya dengan dua teman saya dari UM mengingap di Hat Yai. Sempat berkunjung ke Patung Budha, Floating Market, Pantai Samila, Masjid Raya, dan tentu yang tidak tertinggal adalah pusat oleh-oleh.

Sore hari saat berkunjung ke Klonghae Floating Market, ada hal menarik perhatian saya, yaitu tempat minuman tradisional di sana. Kalau di Indonesia kita biasa menyebut es kelapa muda kali ya. Tempat minuman/gelas tersebut berasal dari bambu dan ada bunga anggrek aslinya. Duh, sayang banget saat harus membuangnya, hehe. Harga makanan di tempat ini terbilang murah, setara di Indonesia dan bahkan lebih murah. Suasana cukup ramai dan didominasi oleh pengunjung dari Malaysia sehingga sekilas ya seperti saat kita di tempat wisata di Indonesia saja. Yang terlihat berbeda ya bahasanya.




Nglesot di Klonghae Floating Market dan menyeruput es kelapa muda dengan gelas dari bambu yang eco-friendly banget kan...

Ketika akan mengunjungi Pantai Samila, saya juga sempat mampir ke Konsulat RI di Songkhla. Karena waktu itu hari Sabtu, kantornya tutup dan kami hanya foto-foto sebentar.  Pantai Samila cukup bagus dan bersih. Pasir putihnya terlihat semakin putih sebab tersiram terik matahari  yang memanggang kepala. Sayangnya, waktu itu pas siang hari jadi kurang nyaman ke pantai di bawah terik matahari. Praktis, kami hanya duduk-duduk saja menikmati suasana, tanpa merasai kecipak air lautnya yang biru.


Suasana Pantai Samila

Salah satu pengalaman berharga yang saya dapat adalah ketika saya bisa ‘menakhlukkan anjing’. Hihi.. Ini serius… saya sebenarnya sangat takut pada anjing, antara khawatir kena najis dan juga takut dikejar dan digigit. Namun, ketika jalan-jalan malam keluar hotel, kami sempat disambut banyak anjing di jalanan Kota Hat Yai. “Pak Kar biasa saja, tidak usah takut, tidak usah mencoba lari. Anjing itu bisa merasakan kondisi kita. Kalau kita tenang, para anjing itu juga tidak akan mengganggu kita,” kurang lebih begitu kata salah satu teman saya. Itu lantas saya praktikkan. Awalnya benar-benar takut sebab saat anjing itu mendekat dan saya tidak lari, sempat khawatir kalau benar-benar mendekat dan akan menggigit saya. Bisa membayangkan to? Selama ini, kalau ada anjing, saya memilih ngibrit lebih dulu. Alhasil, ternyata benar. Saat saya mencoba tenang, anjing itu pun perlahan menjauh dan tidak menghiraukan kita. Esoknya, saat jalan-jalan pagi di sekitar hotel, hal itu kembali saya buktikan dan memang terbukti. Saat kita tenang, anjing itu tidak akan mengganggu kita. Cieee....

        Secara umum, perjalanan di Hat Yai cukup puas sebab tidak banyak waktu terbuang dan banyak tempat yang saya singgahi. Termasuk salah satunya adalah resto sea food halal laiknya All You Can Eat di Indonesia seperti yang kita tahu.

Usai dari Hat Yat dan Songkhla, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Kota Krabi dengan menggunakan mobil. Perjalanan yang cukup jauh sebenarnya, tetapi sebab sepnjang jalan seperti tol (padahal bukan) jadi perjalanan itu terasa tidak begitu lama. Saya kagum dengan fasilitas publik di Thailand, dalam hal ini jalan raya. Akses jalan yang bagus dan luas laiknya tol, padahal bukan dan tentu saja gratis. Kalau di Indonesia, fasilitas seperti itu bisa kita temukan saat kita masuk tol dan harus membayar tentu saja kan. Thailand ini mayoritas penduduknya beragama agama Budha. Ini berimplikasi pada sajian kuliner yang harus saya perhatikan. Nah, salah satu pengalaman menarik adalah saat saya dan rombongan mampir di resto ketika menuju Kota Krabi, sebut saja rest area. Selain memesan minuman, saya membeli kue. Namun, petugas resto memberi tahu kalau itu isinya daging babi. Lalu saya ditunjukkan ke makanan lain yang halal, kue yang isinya dari ikan. Nah… alhamdulillah ya, sesuatuh…

Oiya, selama perjalanan di Thailand ini, kami didampingi Pak Amran. Beliau orang Thailand, tetapi pernah kuliah di Indonesia sehingga kemampuan bahasa Indonesai beliau sangat lancar dan membuat saya lupa kalau beliau adalah orang Thailand. Kami sering bergurau dan akrab. Beliau yang jadi ‘guide’ kami selama di Thailand dan orangnya sangat ‘helpfull’. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk bisa akrab dengan beliau. Ah, persaudaraan yang indah, padahal itu juga kali pertama saya kenal dan berjumpa beliau.  Saat masuk ke Kota Krabi, kami diajak mampir ke sebuah resto yang artistik.  Banyak kerajinan dari kayu dalam ukuran besar yang memperindah taman-taman di area resto. Namun, karena tadi sebelumnya kami sudah mampir di dua resto, di resto ini kami hanya berfoto-foto ria saja tanpa makan atau minum. Pak Amran langsung bisa faham kalau kami, terutama saya ding, sangat doyan foto, maka beliau ajak kami mampir untuk sekadar foto. Diasaarr ya…

Sampai Krabi, lokasi yang kami tuju adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren sebut saja begitu. Lokasinya dikelilingi kebun kelapa sawit dan agak sedikit masuk dari jalan raya. Di tempat ini kami menginap selama tiga hari. Kegiatan-kegiatan utama dan penting dilakukan di Kota Krabi ini, termasuk pengabdian kepada masyarakat berupa pelatihan kepada guru-guru di Thailand ini. Kami menempati sebuah rumah, sebut saja Guest House berlantai dua yang cukup rapi dan bersih. Di dekat rumah ini, ada pesantren dan sekolah setara SMP-SMA. Ada tiga mahasiswa kami yang mengikuti kegiatan Asistensi Mengajar di tempat ini. 16 mahasiswa lainnya tersebar di berbagai wilayah, termasuk di Phuket. Kami disambut oleh Pak Kyai yang biasa kami panggil Baboo, seperti orang-orang di sini memanggil beliau. Baboo cukup ramah dan benar-benar mengamalkan bagaimana memuliakan tamu. Kami diperlakukan sangat baik. Selama tiga hari kami dilayani dengan baik, termasuk diajak makan ke resto dan diajak wisata, salah satunya ke Krabi Hot Spring yang terkenal itu. Kejadian horor juga terjadi di rumah ini. Tetapi disimpan saja dulu ya, nanti insya Allah akan saya tulis di lain waktu, judul tersendiri, duile.

Selama tiga hari, selain melaksanakan pelatihan untuk guru-guru, kami juga mengunjungi dua sekolah yang menjadi lokasi kegiatan mahasiswa kami dari Malang selama di Thailand ini. Salah satu lokasi yang kami kunjungi cukup menantang sebab kami harus naik perahu mesin dulu dan lalu naik semacam bentor kalau di Indonesia untuk mencapai sekolah tersebut. Sangat seru. Apalagi, sebelum sampai ke sekolah, kami diajak makan siang di sebuah resto yang eksotik, tidak besar tapi lumayan indah dan sajian menu yang beragam. Kami juga sempat mengunjungi Pantai Ao Nang yang super famous itu, yang sangat banyak dikunjungi turis dari berbagai negara. Pernah juga di suatu sore mampir makan di resto sea food tepi pantai. Alhamdulillah bisa merasai  banyak pengalaman.

Baboo, Pak Amran, dan para guru di sana sangat ramah dan sudah seperti saudara. Sekadar informasi, kalau di Krabi, mayoritas penduduknya muslim, jadi tidak sulit mencari resto halal atau untuk menemukan masjid. Selama tiga hari di Krabi, saya pribadi merasa kenyamanan sebab rasa persaudaraan yang kuat ini. Kalau wisata atau jalan-jalan, barangkali bisa saja kita lakukan lain waktu dengan biaya kita. Namun, rasa persaudaraan dan sambutan dari orang-orang di Krabi ini yang jauh lebih bermakna. Meski ini di negeri orang, tetapi tidak ada rasa was-was atau gimana sebab semua menyambut dengan nyaman. Tentu ini resonansi, sebatas kita bersikap baik dan menyesuaikan kondisi, insya Allah orang pun akan berbuat baik pada kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, begitulah kira-kira. Ah, perjalanan indah yang akan kami simpan dalam ingatan kami dan akan kami catat inspirasi-inspirasi berserak yang kami dapat.

Usai dari Krabi, masih ada dua malam lagi yang juga seru yang akan saya tulis nanti. Rangkaian perjalanan yang seru, mungkin, hihi. Tunggu ya…

























Minggu, 15 September 2019

Perjumpaan yang Dirindukan

Perjumpaan yang Dirindukan

"Jika kamu memiliki sahabat yang baik, pegang erat sebab mudah untuk melepaskan tetapi sulit untuk mendapatkan". Kata-kata itu sangat saya yakini kebenarannya. Maka, ketika saya merasa sudah memiliki sahabat yang saya yakini dia baik, saya akan berusaha untuk mempertahankan. Sebab saya tahu, kita kan tidak pernah bisa hidup sendiri, kita makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Maka, sahabat baik, bagi saya adalah keluarga saya.

Sahabat bisa datang dari mana saja. termasuk teman-teman SMP. Bagi saya, menjadikan orang lain menjadi sahabat, bukan sebab kondisi sosial mereka, misalnya karena mereka kaya atau apa. Namun, seiring berjalannya waktu, kita pasti akan tahu sifat mereka seperti apa. Kita memang tidak boleh memilih-memilih orang dalam berteman. Kita harus berteman dengan siapa saja. Namun, untuk level menjadi sahabat, adalah ketika kita sama-sama tahu seperti apa kita. Salaing memahami satu sama lain.

Singkat cerita, saya merasa bersyukur sebab saya merasa memiliki sahabat-sahabat baik yang memandang saya bukan sebab stutus sosial atau apa, tetapi sebab kami merasa cocok dalam banyak hal dan bisa saling menghargai. Intinya itu. Sebab dalam pergulatan pertemanan saya, ada juga yang baik saat sedang dekat kita atau di deapn kita saja, tetapi di belakang ngomongin kejelekan kita. Gaes, tidak ada manusia yang sempurna, selalu ada kekurangan-kekurangan, yang bisa kita lakukan adalah menerima semuanya, baik kekurangan maupun kelebihan. Tutupilah kekurangan-kekurangan dengan kebaikannya, hingga yang bisa selalu kita ingat adalah kelebihan-kelebihannya, kebaikannya.
Ini adalah cerita tentang kebersamaan yang indah santara saya dengan sahabat-sahabat saya.
Tanpa banyak huru-hara, kami bisa dipertemuan di Taman Safari Bogor pada Medio September 2019 ini. Masya Allah. Ini di luar ekspetasi saya. meski singkat, tetapi saya sangat merasakan kehangatan di antara kami dan keluarga. Kami datang dengan keluarga. Ngobrol bersama, masak bersama, makan bersama. Tanpa ada prasangka-prasangka. Ini moment yang saya rindukan. Kami bisa semakin dekat dan serasa mencairkan hal yang selama ini barangkali beku. Barangkali, dalam benak, sebelum ini masih ada sekat-sekat prasangka. Namun, ketika kami bisa datang berkumpul bersama keluarga, kami serasa melebur, bahwa ternyata kami sama sekali tidak mempunyai ganjalan. Suami atau istri sahabat-sahabat saya itu menjadi tahu, bahwa persahabatan kami itu murni karena persaudaraan, bukan karena niatan-niatan lain.

Kami merasa menemukan sahabat yang bisa saling mengingatkan satu sama lain. Kami merancang banyak hal ke depan untuk berbuat banyak kebaikan. Kami memang tidak merasa lebih kaya dari yang lain, tetapi kami selalu merasa bersyukur dan ingin senantiasa berbagi. Sebab, berbagi adalah cara termudah bagi kita untuk membersihkan harta dan bersyukur atas nikmat Allah. Berbagi tidak harus dalam kondisi berlebih, dalam situasi apa pun bisa. Ini bukan dalam rangka apa-apa, tetapi bahwa niatan kami bersahabat adalah untuk banyak melakukan hal-hal yang positif. Bukan hura-hura atau foya-foya. Kami juga merencanakan perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Alhamdulillah.
Saya bersyukur dipertemukan dengan mereka.

Sabtu, 15 Juni 2019

FIKSI


Jangan Ucapkan Cinta
Cerpen Karkono Supadi Putra

Hasil gambar untuk ilustrasi cerpen

Bagi Dina, melupakan Satria adalah hal yang teramat sulit untuk dia lakukan.
Sepuluh tahun lebih menjalin hubungan, tentu banyak sudah yang terjadi. Suka duka sudah dilalui dan Dina sudah sampai pada sebuah kesimpulan: dia tidak bisa hidup tanpa Satria. Dina tidak bisa membayangkan jika dia tidak menikah dengan Satria, betapa hidupnya serasa hampa. Dina sudah jatuh bangun menerima semua yang ada pada diri Satria. Jamak terjadi pada seseorang yang tengah jatuh cinta, terkadang hanya dapat melihat sesuatu yang baik dari orang yang dicintai. Namun, tidak bagi Dina. Dia sudah hafal di luar kepala apa dan bagaimana diri Satria. Baik dan buruk Satria sudah Dina sadari. Dan, Dina siap menerima semua-muanya.
Dalam rentang waktu sepuluh tahun itu, Dina sering merasai dua rasa yang berbeda. Kadang, Dina merasa teramat bahagia saat bersama Satria. Ibarat, dia tidak pernah begitu bahagia, selain saat bersama Satria. Hanya Satria yang mampu membuat Dina benar-benar bahagia. Namun, Dina juga sering merasai sakit yang teramat sangat karena Satria. Dina merasa tidak pernah merasakan sesakit yang begitu purna, kecuali sebab Satria yang melukainya. Ringkasnya, Dina sudah melakukan apa saja demi seseorang yang sangat dicintainya.
Namun, sesuatu telah terjadi.
Dina mendapat kabar jika Satria hendak menikah, dan bukan dengan dirinya. Dina tak mampu lagi berkata-kata. Langit seakan runtuh. Hanya bulir-bulir bening yang membelah pipinya. Tak perlu ditanya lagi bagaimana sakit dalam hati Dina. Lalu, apa arti selmua ini? Apa maksud hubungan ini? Kalau aku hanya untuk permainan, kenapa harus bertahan hingga sepuluh tahun? Berarti selama ini, kau tidak pernah benar-benar mencintaiku? Pertanyaan-pertanyaan itu berbelesatan dalam benak Dina.
Mendadak, rasa cinta Dina kepada Satria berubah menjadi benci.
Dina tidak menyangka jika Satria setega itu pada dirinya. Bayangan semua masa yang pernah dilalui bersama Satria mendadak menari-nari. Dina begitu mencintai Satria. Namun, Satria ternyata begitu jahat pada Dina. Di tengah kegalauan itu, sejatinya Dina masih berharap agar berita itu bohong belaka. Dina ingin mendengar jika Satria tidak akan menikah dengan perempuan lain. Sebab, Dina memang begitu mendamba Satria untuk menjadi suaminya.
***
Tidak berpaut lama dari saat Dina kali pertama mendengar tentang rencana pernikahan Satria, Satria ternyata pada akhirnya benar-benar menikah dengan perempuan lain. Serasa ribuan sembilu menggores hati Dina, mencipta sakit yang teramat. Perih tiada terperi. Dan, Dina tidak bisa berbuat apa-apa. Saat mengingat Satria, yang ada hanyalah dadanya yang berdetak tak beraturan. Ada kebencian yang membuncah. Ada dendam yang ingin menggelegak tumpah.
Namun, Dina sadar, hidup harus terus berjalan.
Perlahan Dina mulai berdamai dengan kondisinya. Kadang, untuk menghibur luka hatinya, Dina menganggap tidak pernah ada hubungan antara dia dan Satria. Selama ini Dina saja yang salah mengartikan hubungan dengan Satria. Satria tidak pernah mencintainya. Perasaan seperti itu Dina anggap lebih menyehatkan dirinya dan memudahkan Dina untuk bangkit.
Sebab apa guna juga selalu meratapi keadaan.
Pernah juga terbersit rencana dalam benak Dina untuk melakukan kejahatan demi melampiaskan dendam pada Satria. Namun, itu urung Dina lakukan. Untuk menepis kesepian dalam kesendirian, sering Dina menghabiskan waktu pergi bersama sahabat-sahabatnya. Saat dalam kegalauan, sahabat setidaknya mampu menghiburnya.
Hingga, suatu ketika, setelah berpuluh purnama terlewat, hadir Ray dalam kehidupan Dina.
Ternyata, melupakan seseorang akan terasa lebih mudah jika kita menemukan penggantinya. Begitu yang kini ada di benak Dina. Ray mampu menggeser bayang-bayang Satria. Dulu, Dina memang pernah ingin melupakan Satria saat sering Satria menyakiti Dina. Namun, Dina tidak pernah benar-benar bisa. Dina berulang kali memaklumi kesalahan Satria dan memafkan kesalahan kecil Satria. Hingga, yang terakhir adalah saat Satria menggores luka yang teramat dalam saat dia menikah dengan perempuan lain. Dan, Dina hingga kini tidak pernah bisa memafkan Satria. Pun, sepertinya Satria tidak pernah merasa bersalah. Dina terkadang menyesali apa yang sudah terjadi, mengapa dulu dia bisa mencintai Satria sedemikian kuat.
Namun, kehadiran Ray seolah memudahkan Dina untuk benar-benar melupakan Satria. Dina serasa menemukan malaikat penolong hidupnya. Dari banyak sisi, Ray memang lebih baik dari Satria. Dari segi fisik, pendidikan, kedewasaan, bahkan soal agama. Dina bak menemukan cahaya di tengah gulita.
“Yang pasti, Ray benar-benar mencintaiku. Bagiku itu sudah lebih dari cukup,” kata-kata Dina meluncur ringan saat ditanya Renata, salah satu sahabat Dina. Siang itu, Dina dan Renata keluar kantor untuk makan siang. Seperti biasa, mereka sering terlibat dalam pembicaraan yang bersifat pribadi, termasuk soal asmara. Mereka memang tidak bekerja satu kantor, tetapi terkadang mereka janjian untuk makan bersama saat jam istirahat. Kebetulan kantor mereka tidak terlalu jauh.
“Gimana ceritanya sih, kamu akhirnya bisa kenal dengan Ray?” tanya Renata penuh rasa ingin tahu.
“Kenalnya sudah lama sih, sekadar kenal. Namun, kami sepertinya selama ini hanya sama-sama mengagumi dalam diam, hingga suatu ketika, dia yang lebih dulu mendapatkan nomorku. Awalnya untuk urusan pekerjaan, nara sumber artikel di majalah di kantorku. Ya, lama-lama akrab gitu deh...”
Begitulah...
Dina kini merasa nyaman menjalin hubungan dengan Ray. Hari-harinya penuh dengan bunga. Jika dulu, saat menjalin hubungan dengan Satria, Dina merasa hanya Dina yang selalu menjaga agar hubungan itu tidak koyak. Dina yang lebih banyak mengorbankan perasaan atas apa yang dilakukan Satria, demi Satria tetap dekat dengannya. Namun, tidak dengan Ray. Ray adalah lelaki dewasa yang tanpa sungkan mengekspresikan perasaan cintanya kepada Dina. Bahkan, seingat Dina belum pernah sekalipun Satria mengucapkan cinta pada Dina. Beda dengan Ray yang bahkan sejak awal sudah menyampaikan niat baiknya saat dekat dengan Dina, sebelum keduanya bersepakat untuk menyeriusi hubungan tersebut. “Aku ingin mencari istri, bukan pacar. Maka, aku tak perlu mengucapkan cinta untukmu. Aku dekat kamu ini bukan untuk main-main, Dina.”
Kata-kata Ray itu yang akhirnya membuat Dina luluh. Dekat dengan Ray memang tidak seperti saat bersama Satria. Dulu, sudah tak terhitung berapa kali Satria dan Dina menghabiskan waktu untuk bersama: makan, nonton, piknik, dan banyak aktivitas hura-hura yang sejatinya membuat hati Dina resah. Namun, Ray tidak demikian. Dari Ray, Dina belajar banyak untuk bisa melewati hari lebih sehat dan indah. Kata-kata Ray serasa nasihat dari ustadz yang kerap Dina dengar di televisi. Bahkan, seingat Dina, belum pernah sekalipun Ray menyentuh tangan Dina. Ah, lelaki misterius itu benar-benar menempatkan Dina pada sebuah negeri yang hanya ada bahagia bertahta di sana.
“Na, kamu sangat beruntung bisa mendapatkan Ray. Dia itu lelaki idaman banyak perempuan lho. Aku sempat ragu sih, masak sih kamu jadian sama dia. Bukan apa-apa, soalnya aku lihat Ray itu kan kayaknya tidak dekat dengan perempuan, maksudnya sangat menajga pergaulan dengan perempuan,” kata-kata Renata sejatinya melambungkan angan Dina, menjadikan Dina serasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Namun, Dina hanya menyungging senyum termanisnya demi merespon kata-kata Renata.
“Nah, itu dia Ren... Aku juga heran. Jujur nih ya, sejak pertama berjumpa, aku memang tertarik dengan fisiknya. Tahu kan ya... perempuan mana sih yang tidak tergoda dengan ketampanannya. Namun, karena aku tahu dia kayaknya takut dengan perempuan, maka aku ya biasa saja, malah cenderung nyuekin dia saat beberapa kali berjumpa untuk urusan pekerjaan.”
“Terus?” muka Rena berbinar dan penuh keingintahuan.
“Terus tahu tidak apa alasannya dia mau dekat denganku?”
“Apa?” sahut Renata gegas.
“Katanya sebab aku ini wanita yang paling dingin saat dekat denagn dia. Kalau perempuan lain yang selama ini dekat denganya, entah itu teman kuliah atau teman urusan kerja, katanya cenderung reaktif dan cenderung agresif menggodanya. Dia justru tidak suka yang begitu...”
“Memang itu strategimu ya Na?” tanya Renata polos.
“Ih, apaan sih. Bukan lah. Mungkin, saat awal-awal kenal dengan Ray, saat aku masih sakit sebab ditinggal nikah Satria. Jadi kesannya memang dingin sama semua lelaki. Hihiiii. Semoga kelak berakhir bahagia, ya Ren...”
***
Pagi hari saat langit begitu cerah membiru.
Dina buru-buru pergi ke toko buku. Dia ingin membeli sebuah buku dan menghadiahkannya untuk Ray yang hari ini berulang tahun. Entah, Ray berkenan atau tidak, setidaknya Dina ingin memberi tanda sayangnya pada lelaki yang hari-hari ini bayangnya menyesaki ruang-ruang kosong khayalnya.
Suasana toko buku belum begitu ramai. Dina asyik memilih-milih buku. Berbagai jenis buku sudah dia buka-buka dan lihat. Namun, Dina masih bingung mau memilih buku mana yang akan dia beli untuk diberikan pada Ray. Dina bolak balik ke sana ke mari di seluruh sudut toko. Hingga dadanya mendadak berdetak saat dari kejauhan dia melihat Ray baru saja masuk toko. Kali ini bukan senyum manis yang tersungging di bibir Dina saat melihat Ray, tetapi justru hati yang berdegub sebab Ray datang bersama seorang perempuan. Dina buru-buru menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah rak agar Ray tidak melihatnya. Dari kejauhan Dina mengamati Ray. Dan, Dina tahu persis siapa perempuan yang tengah bercanda riang di sebelah Ray itu.
Dia adalah Ryana. Dina tahu persis bahwa perempuan itu adalah Ryana, meski sudah cukup lama Dina tidak berjumpa dengannya, tetapi Dina tidak lupa pada sosok Ryana. Dada Dina seketika sesak. Mengapa Ray bisa bersama Ryana? Apa hubungan di antara keduanya? Mungkinkah keduanya ada hubungan istimewa? Apakah Ray tak ubahnya dengan Satria yang akan mencipta luka di hati Dina? Pertanyaan-pertanyaan itu menyesaki dada Dina. Melihat Ryana, gemuruh di dada Dina kian terasa. Ryana adalah sahabat lama Dina yang pernah mencipta cerita tak indah untuk dikenang. Dulu, mereka berdua adalah sahabat begitu dekat sejak SMP, hingga saat mereka mengetahui bahwa mereka sama-sama mencintai Staria, persahabatan itu kandas, tanpa penyelesaian yang tuntas.
Saat Ray dan Ryana beranjak ke salah satu sudut buku yang jauh dari jangkauan Dina, Dina gegas beranjak meninggalkan toko buku, tanpa membeli buku seperti yang dia rencanakan sebelumnya. Langkah kakinya terlihat tergesa, ada mendung di kedua matanya. Mendung itu sebentar lagi akan berubah menjadi hujan.
***
Malam hari yang berhias gerimis, Dina masih terjaga di dalam kamarnya. Dia masih memilin-milin HP. Masih ragu untuk mengirim pesan WA pada Ray. Memang, sejauh ini antara Dina dan Ray bisa dikatakan sangat jarang komunikasi via WA. Tidak seperti mereka yang tengah dimabuk asmara, bisa berbusa-busa .
Dina masih berpikir, ada hubungan apa antara Ray dan Ryana.
Tiba-tiba, ada pesan masuk di HP-nya, dari Ray. Hati Dina bergetar saat membaca pesan itu.
“Apakah besok siang saat istirahat bisa berjumpa? Adikku, Ryana, katanya sangat ingin bertemu denganmu Dina. Ryana sudah cerita semuanya tentang kalian. Percayalah, tidak ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan. Aku peribadi ingin hubungan persahabatan kalian kembali seperti semula. Mau kan?”
Mendadak, Dina merasa ada air sejuk yang menyiram kalbunya, bak oase di gersang sahara. Sudah lama Dina juga ingin bertemu Ryana, meminta maaf dan menjelaskan semua yang dulu pernah terjadi. Namun, kadang ego yang lebih mendominasi hingga rencana untuk bertemu Ryana hanyalah wacana.
“Insya Allah, bisa. Mau ketemu di mana?” balas Dina.
“Di rumah makan dekat kantormu bisa. Nanti sekalian membicarakan rencana keluargaku yang akan bertandang ke rumahmu membicarakan pernikahan kita. Alhamdulillah, mereka setuju jika....”
Dina merasa tidak begitu jelas mendengar kata-kata Ray selanjutnya. Tubuhnya seketika seperti kapas, ringan. Kali ini dia merasa benar-benar bahagia yang sesungguhnya.


Selesai...

Pasuruan, 15062019

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...