Jumat, 23 September 2022

Cerita Ganjil

 

Nalar Kami Belum Bisa Menjangkaunya

 


Sejauh ini, kalau saya mengalami kejadian ‘aneh’, seringnya di kamar hotel. Saya pikir, ini wajar. Kamar hotel belum tentu setiap hari ditempati. Yang menempati pun beragam jenis orang dan beragam aktivitas. Ada kejadian ‘aneh’ masih wajar, pikir saya. Namun, kali ini saya mengalami kejadian aneh bukan di kamar hotel. Sekali lagi, kalau saya menceritakan kisah ini, bukan untuk apa-apa atau gimana-gimana, sekadar untuk mengikat pengalaman-pengalaman saya yang barangkali ada hikmah terselip di baliknya.

Suatu ketika, saya dengan dua teman dosen dari UM mendapat tugas ke LN, ke sebuah negara yang film-film horornya dikenal bagus, hehe. Sebut saja teman saya itu Pak Bro dan Bu Sist. Saya sempat kepikiran sih, tapi saya berusaha abaikan dan berdoa agar perjalanan dinas yang cukup lama ini (seingat saya, ini perjalanan dinas paling lama) berjalan lancar dan sukses.

Dua malam pertama kami menginap di hotel. Meski sempat ada suara-suara aneh di kamar, tapi tidak terlalu signifikan dan intinya semua baik-baik saja. Namun, saat kami pindah kota dan menginap di tempat baru, sempat ada peristiwa yang kami alami bertiga dan hingga kini masih menjadi misteri. Kami menginap di sebuah rumah yang bagus dan bersih. Di lantai dua, ada kamar-kamar semacam guest house yang diperuntukan untuk para tamu dan datang di lokasi tersebut, sebutlah pesantren. Kami berencana menginap di tempat tersebut selama tiga malam sebelum nanti pindah di kota lain.

Malam pertama di rumah itu kejadiannya.

Kami disambut oleh tuan rumah yang sangat ramah dan baik, sebuat saja Abah. Beliau sangat mengamalkan ajaran untuk memuliakan tamu. Termasuk menjamu kami dengan makanan yang enak. Saat makam malam, kami berbincang di tempat makan di lantai satu dengan hangat. Kami dapat informasi bahwa di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Kalau di kamar atas, selain kami bertiga yang dibagi dalam dua kamar, ada satu kamar yang dihuni oleh putra Abah. Menantu  Abah (perempuan) yang memasak. Namun, karena punya usaha restoran, dia tidak menginap di rumah ini. Ke rumah ini hanya untuk mengantar makanan. “Anggap seperti rumah sendiri,” kata Abah dengan ramah. Beliau sudah tampak sepuh, tetapi terlihat bugar dan sehat. Beliau juga sangat ramah.

Usai makan malam, kami tidak ke mana-mana, lalu naik ke kamar dilantai dua. Semakin malam, saya dan Pak Bro berada di kamar paling tepi. Kamar tengah ditempati Bu Sist, sendirian. Dan kamar ujung adalah yang ditempati oleh putra Abah, tapi seingat saya, saya belum sempat bertemu. Waktu menunjukkan sekitar pukul 23.30, dan kami berdua masih ngobrol. Sebelum maghrib, saya sempat melihat suasana di luar kamar dari balkon. Luar kamar itu tampak gelap dan rimbun oleh pohon kelapa sawit. Saya merinding dan sempat menyampaikannya ke Pak Bro.

Kejadian diawali dengan lampu di balkon yang nyala sendiri. Seingat kami sih. Entah, sebenarnya gimana, apa rusak atau memang ada mahkluk lain yang menyalakannya, hihi.  Nah, sekitar pukul 23.30 tadi, tiba-tiba, kami sama-sama mendengar engsel pintu kamar kami dibuka secara paksa. Tapi karena kami kunci dari dalam, pintu itu pun tidak terbuka. Kami sempat diam sebentar, seperti slaing bertanya, siapa itu. Kok tidak ketuk pintu dulu dan kira-kira siapa malam-malam begini mau ke kamar kami. Sementara, kami masih sama-sama ingat dengan kata-kata Abah, jika tidak ada siapa-siapa.

Entah, apa sebabnya kok saya yang bergegas menuju pintu dan membukanya, sementara Pak Bro masih diam di atas ranjangnya. Di dalam kamar itu ada dua ranjang. Setelah pintu saya buka, ….saya melihat sosok perempuan lumayan tua, pakai hijab dan bawahan kain (kalau ingat saya tapihan pakai kain gendong yang biasa saya lihat di Indonesia). Perempuan itu berbicara dalam bahasa lokal yang saya sendiri kurang  faham. Perempuan  itu menatap saya sebentar, terlihat kurang ramah, jika tidak bisa disebut marah.  Lalu, dia  berbegas ke kamar sebelah. Saya seperti terpaku dan tidak bisa berbuat  apa-apa. Pintu kamar sebelah terbuka sebab sore tadi saya tahu, kunci pintu kamar itu masih ada di luar dan tidak bisa diambil, praktis pintu itu tidak bisa dikunci dari dalam. Kamar yang ditiduri Bu Sist itu pun dibuka, saya sempat was-was jika terjadi apa-apa dengan Bu Sist. Tetapi, ternyata perempuan itu tidak masuk kamar,  hanya melihat dan berbicara tidak jelas, kemudian pintu ditutup kembali. Tidak lama, perempuan itu, yang saya lihat jelas tampak seperti manusia (entah siapa sebenarnya) seperti ngomel dalam bahasa lokal dan lalu turun ke lantai satu. Saya tidak berusaha mengikuti sebab masih disergap tanda tanya.

Saya lalu masuk kamar, menutup pintu dan menguncinya. Yang saya lakukan pertama adalah menelpon Bu Sist. Maksud saya sekadar konfirmasi, mendengar suara pintu kamarnya dibuka atau tidak, atau bisa jadi juga melihat sosok yang sama. Telp diangkat Bu Sist, dan  ternyata, Bu Sist  meski sudah tidur, masih mendengar jika pintu kamarnya ada yang membuka, tetapi tidak sempat melihat siapa yang membuka. Saya dan Pak Bro sempat berbincang, menduga-duga siapa sebenarnya perempuan itu. Namun, kami sepakat mengakhiri perbincnagan itu dan berencana besok menanyakan ke Pak X, pendamping kami selama di negara tersebut yang malam itu tidur di lantai satu.

Ringkasnya, saat kami konfirmasi sana-sini, belum ketemu siapa sebenarnya sosok tersebut. Menurut Pak X, Mama, istri Abah, tidur di rumah sebelah dan tidak pernah ke rumah yang kami tempati itu, apalagi naik ke lantai dua. Pak X sempat menyampaikan, itu barangkali salah satu santri yang sakit dan mau ke kamar tapi salah masuk. Batin saya, santri kan masih setara siswa SMP dan SMA, itu yang saya lihat sudah setengah tua, usia di atas 60 an. Sampai tlulisan ini saya unggah, saya belum menemukan kepastian, siapa sebenarnya ‘beliau’. Wallahu’alam.

1 komentar:

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...