Nalar Kami Belum Bisa Menjangkaunya
Sejauh ini, kalau saya mengalami kejadian ‘aneh’, seringnya di kamar hotel. Saya pikir, ini wajar. Kamar hotel belum tentu setiap hari ditempati. Yang menempati pun beragam jenis orang dan beragam aktivitas. Ada kejadian ‘aneh’ masih wajar, pikir saya. Namun, kali ini saya mengalami kejadian aneh bukan di kamar hotel. Sekali lagi, kalau saya menceritakan kisah ini, bukan untuk apa-apa atau gimana-gimana, sekadar untuk mengikat pengalaman-pengalaman saya yang barangkali ada hikmah terselip di baliknya.
Suatu ketika, saya dengan dua teman dosen dari UM mendapat
tugas ke LN, ke sebuah negara yang film-film horornya dikenal bagus, hehe.
Sebut saja teman saya itu Pak Bro dan Bu Sist. Saya sempat kepikiran sih, tapi
saya berusaha abaikan dan berdoa agar perjalanan dinas yang cukup lama ini
(seingat saya, ini perjalanan dinas paling lama) berjalan lancar dan sukses.
Dua malam pertama kami menginap di hotel. Meski sempat ada
suara-suara aneh di kamar, tapi tidak terlalu signifikan dan intinya semua
baik-baik saja. Namun, saat kami pindah kota dan menginap di tempat baru,
sempat ada peristiwa yang kami alami bertiga dan hingga kini masih menjadi
misteri. Kami menginap di sebuah rumah yang bagus dan bersih. Di lantai dua,
ada kamar-kamar semacam guest house yang diperuntukan untuk para tamu dan
datang di lokasi tersebut, sebutlah pesantren. Kami berencana menginap di
tempat tersebut selama tiga malam sebelum nanti pindah di kota lain.
Malam pertama di rumah itu kejadiannya.
Kami disambut oleh tuan rumah yang sangat ramah dan baik,
sebuat saja Abah. Beliau sangat mengamalkan ajaran untuk memuliakan tamu.
Termasuk menjamu kami dengan makanan yang enak. Saat makam malam, kami
berbincang di tempat makan di lantai satu dengan hangat. Kami dapat informasi
bahwa di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Kalau di kamar atas, selain kami
bertiga yang dibagi dalam dua kamar, ada satu kamar yang dihuni oleh putra
Abah. Menantu Abah (perempuan) yang
memasak. Namun, karena punya usaha restoran, dia tidak menginap di rumah ini.
Ke rumah ini hanya untuk mengantar makanan. “Anggap seperti rumah sendiri,”
kata Abah dengan ramah. Beliau sudah tampak sepuh, tetapi terlihat bugar dan
sehat. Beliau juga sangat ramah.
Usai makan malam, kami tidak ke mana-mana, lalu naik ke
kamar dilantai dua. Semakin malam, saya dan Pak Bro berada di kamar paling
tepi. Kamar tengah ditempati Bu Sist, sendirian. Dan kamar ujung adalah yang
ditempati oleh putra Abah, tapi seingat saya, saya belum sempat bertemu. Waktu
menunjukkan sekitar pukul 23.30, dan kami berdua masih ngobrol. Sebelum
maghrib, saya sempat melihat suasana di luar kamar dari balkon. Luar kamar itu
tampak gelap dan rimbun oleh pohon kelapa sawit. Saya merinding dan sempat
menyampaikannya ke Pak Bro.
Kejadian diawali dengan lampu di balkon yang nyala sendiri.
Seingat kami sih. Entah, sebenarnya gimana, apa rusak atau memang ada mahkluk
lain yang menyalakannya, hihi. Nah,
sekitar pukul 23.30 tadi, tiba-tiba, kami sama-sama mendengar engsel pintu
kamar kami dibuka secara paksa. Tapi karena kami kunci dari dalam, pintu itu
pun tidak terbuka. Kami sempat diam sebentar, seperti slaing bertanya, siapa
itu. Kok tidak ketuk pintu dulu dan kira-kira siapa malam-malam begini mau ke
kamar kami. Sementara, kami masih sama-sama ingat dengan kata-kata Abah, jika
tidak ada siapa-siapa.
Entah, apa sebabnya kok saya yang bergegas menuju pintu dan
membukanya, sementara Pak Bro masih diam di atas ranjangnya. Di dalam kamar itu
ada dua ranjang. Setelah pintu saya buka, ….saya melihat sosok perempuan
lumayan tua, pakai hijab dan bawahan kain (kalau ingat saya tapihan pakai kain
gendong yang biasa saya lihat di Indonesia). Perempuan itu berbicara dalam
bahasa lokal yang saya sendiri kurang
faham. Perempuan itu menatap saya
sebentar, terlihat kurang ramah, jika tidak bisa disebut marah. Lalu, dia
berbegas ke kamar sebelah. Saya seperti terpaku dan tidak bisa berbuat apa-apa. Pintu kamar sebelah terbuka sebab
sore tadi saya tahu, kunci pintu kamar itu masih ada di luar dan tidak bisa
diambil, praktis pintu itu tidak bisa dikunci dari dalam. Kamar yang ditiduri
Bu Sist itu pun dibuka, saya sempat was-was jika terjadi apa-apa dengan Bu
Sist. Tetapi, ternyata perempuan itu tidak masuk kamar, hanya melihat dan berbicara tidak jelas,
kemudian pintu ditutup kembali. Tidak lama, perempuan itu, yang saya lihat
jelas tampak seperti manusia (entah siapa sebenarnya) seperti ngomel dalam
bahasa lokal dan lalu turun ke lantai satu. Saya tidak berusaha mengikuti sebab
masih disergap tanda tanya.
Saya lalu masuk kamar, menutup pintu dan menguncinya. Yang
saya lakukan pertama adalah menelpon Bu Sist. Maksud saya sekadar konfirmasi,
mendengar suara pintu kamarnya dibuka atau tidak, atau bisa jadi juga melihat
sosok yang sama. Telp diangkat Bu Sist, dan
ternyata, Bu Sist meski sudah
tidur, masih mendengar jika pintu kamarnya ada yang membuka, tetapi tidak
sempat melihat siapa yang membuka. Saya dan Pak Bro sempat berbincang,
menduga-duga siapa sebenarnya perempuan itu. Namun, kami sepakat mengakhiri
perbincnagan itu dan berencana besok menanyakan ke Pak X, pendamping kami
selama di negara tersebut yang malam itu tidur di lantai satu.
Ringkasnya, saat kami konfirmasi sana-sini, belum ketemu
siapa sebenarnya sosok tersebut. Menurut Pak X, Mama, istri Abah, tidur di
rumah sebelah dan tidak pernah ke rumah yang kami tempati itu, apalagi naik ke
lantai dua. Pak X sempat menyampaikan, itu barangkali salah satu santri yang
sakit dan mau ke kamar tapi salah masuk. Batin saya, santri kan masih setara
siswa SMP dan SMA, itu yang saya lihat sudah setengah tua, usia di atas 60 an. Sampai
tlulisan ini saya unggah, saya belum menemukan kepastian, siapa sebenarnya ‘beliau’.
Wallahu’alam.
Wahhh... siapa ituh...
BalasHapus