Rabu, 21 September 2022

Catatan Perjalanan

 

Eksotika Thailand  Selatan dan Tradisi Memuliakan Tamu yang Inspiratif


Ini adalah catatan perjalanan saya ketika mengunjungi Thailand beberapa waktu lalu. Ada banyak cerita yang layak untuk dituliskan, pun untuk mengikat inspirasi-inspirasi yang saya dapat agar tidak sekadar berserak dan menguar begitu saja. Ada banyak cerita dan yang pasti cerita horornya tetap ada, hihi. Penasaran kan?😎

 

Perjalanan kali ini lumayan lama, sekitar delapan hari. Barangkali sebelumnya saya pernah melakukan perjalanan yang cukup lama juga saat ke Tanah Suci. Namun, kali ini berbeda. Ada tanggung jawab yang sebelumnya agak berat saat dibayangkan, yaitu mendampingi mahasiswa berjumlah 19 orang. Kerepotan saat check in di bandara, transportasi lokal, dan aktivitas lain yang lumayan membuat berdebar sebab ini soal tanggung jawab mengawasi dan memastikan semua mahasiswa aman dan selamat, duilee. Syukur alhamdulillah, perjalanan ini usai dan semua lancar selamat. Tidak ada kendala yang berarti. Keruwetan yang sempat membayangi, bisa terlewati dengan banyak kemudahan.

Baru pertama ini saya ke Thailand. Tentu, perjalanan ini harus saya syukuri sebab menambah daftar negara yang saya kunjungi. Meski, salah satu tempat yang ingin saya kunjungi, Maldives, sampai kini belum terwujud, hihi. Kota pertama yang saya kunjungi saat ke Thailand ini adalah Hat Yai. Seperti lazim saya lakukan saat akan mengunjungi sebuah kota atau negara, saya sudah mencari banyak informasi tentang destinasi yang akan saya kunjungi melalui internet. Berselancar ke sana ke mari dan akhirnya mendapat banyak informasi, seperti objek wisata apa yang laik dikunjungi, tradisi setempat yang perlu saya ketahui agar berhati-hati, alternatif kuliner, tips belanaja oleh-oleh, dan hal-hal lain yang sekiranya perlu. Ini sangat membantu agar perjalanan menjadi lebih aman dan efektif. Efektif yang saya maksud adalah dapat memanfaatkan waktu agar antara tugas dan jalan-jalan, bisa selaras dan nyaman, hihi.

Kota Hat Yai tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu luas. Satu hal yang menarik bagi saya adalah kotanya lumayan tenang dan teratur. Meski tidak terlalu indah, tetapi tidak semrawut dan secara umum Hat Yai adalah kota yang ramah untuk dikunjungi. Jalanan yang lumayan bersih, lengang, dan tenang adalah ciri utama yang bisa saya catat. Hat Yai berdekatan dengan Kota Songkhla. Keduanya cukup nyaman meski tidak bisa dipungkiri cuacanya lumayan panas. Dua malam saya dengan dua teman saya dari UM mengingap di Hat Yai. Sempat berkunjung ke Patung Budha, Floating Market, Pantai Samila, Masjid Raya, dan tentu yang tidak tertinggal adalah pusat oleh-oleh.

Sore hari saat berkunjung ke Klonghae Floating Market, ada hal menarik perhatian saya, yaitu tempat minuman tradisional di sana. Kalau di Indonesia kita biasa menyebut es kelapa muda kali ya. Tempat minuman/gelas tersebut berasal dari bambu dan ada bunga anggrek aslinya. Duh, sayang banget saat harus membuangnya, hehe. Harga makanan di tempat ini terbilang murah, setara di Indonesia dan bahkan lebih murah. Suasana cukup ramai dan didominasi oleh pengunjung dari Malaysia sehingga sekilas ya seperti saat kita di tempat wisata di Indonesia saja. Yang terlihat berbeda ya bahasanya.




Nglesot di Klonghae Floating Market dan menyeruput es kelapa muda dengan gelas dari bambu yang eco-friendly banget kan...

Ketika akan mengunjungi Pantai Samila, saya juga sempat mampir ke Konsulat RI di Songkhla. Karena waktu itu hari Sabtu, kantornya tutup dan kami hanya foto-foto sebentar.  Pantai Samila cukup bagus dan bersih. Pasir putihnya terlihat semakin putih sebab tersiram terik matahari  yang memanggang kepala. Sayangnya, waktu itu pas siang hari jadi kurang nyaman ke pantai di bawah terik matahari. Praktis, kami hanya duduk-duduk saja menikmati suasana, tanpa merasai kecipak air lautnya yang biru.


Suasana Pantai Samila

Salah satu pengalaman berharga yang saya dapat adalah ketika saya bisa ‘menakhlukkan anjing’. Hihi.. Ini serius… saya sebenarnya sangat takut pada anjing, antara khawatir kena najis dan juga takut dikejar dan digigit. Namun, ketika jalan-jalan malam keluar hotel, kami sempat disambut banyak anjing di jalanan Kota Hat Yai. “Pak Kar biasa saja, tidak usah takut, tidak usah mencoba lari. Anjing itu bisa merasakan kondisi kita. Kalau kita tenang, para anjing itu juga tidak akan mengganggu kita,” kurang lebih begitu kata salah satu teman saya. Itu lantas saya praktikkan. Awalnya benar-benar takut sebab saat anjing itu mendekat dan saya tidak lari, sempat khawatir kalau benar-benar mendekat dan akan menggigit saya. Bisa membayangkan to? Selama ini, kalau ada anjing, saya memilih ngibrit lebih dulu. Alhasil, ternyata benar. Saat saya mencoba tenang, anjing itu pun perlahan menjauh dan tidak menghiraukan kita. Esoknya, saat jalan-jalan pagi di sekitar hotel, hal itu kembali saya buktikan dan memang terbukti. Saat kita tenang, anjing itu tidak akan mengganggu kita. Cieee....

        Secara umum, perjalanan di Hat Yai cukup puas sebab tidak banyak waktu terbuang dan banyak tempat yang saya singgahi. Termasuk salah satunya adalah resto sea food halal laiknya All You Can Eat di Indonesia seperti yang kita tahu.

Usai dari Hat Yat dan Songkhla, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Kota Krabi dengan menggunakan mobil. Perjalanan yang cukup jauh sebenarnya, tetapi sebab sepnjang jalan seperti tol (padahal bukan) jadi perjalanan itu terasa tidak begitu lama. Saya kagum dengan fasilitas publik di Thailand, dalam hal ini jalan raya. Akses jalan yang bagus dan luas laiknya tol, padahal bukan dan tentu saja gratis. Kalau di Indonesia, fasilitas seperti itu bisa kita temukan saat kita masuk tol dan harus membayar tentu saja kan. Thailand ini mayoritas penduduknya beragama agama Budha. Ini berimplikasi pada sajian kuliner yang harus saya perhatikan. Nah, salah satu pengalaman menarik adalah saat saya dan rombongan mampir di resto ketika menuju Kota Krabi, sebut saja rest area. Selain memesan minuman, saya membeli kue. Namun, petugas resto memberi tahu kalau itu isinya daging babi. Lalu saya ditunjukkan ke makanan lain yang halal, kue yang isinya dari ikan. Nah… alhamdulillah ya, sesuatuh…

Oiya, selama perjalanan di Thailand ini, kami didampingi Pak Amran. Beliau orang Thailand, tetapi pernah kuliah di Indonesia sehingga kemampuan bahasa Indonesai beliau sangat lancar dan membuat saya lupa kalau beliau adalah orang Thailand. Kami sering bergurau dan akrab. Beliau yang jadi ‘guide’ kami selama di Thailand dan orangnya sangat ‘helpfull’. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk bisa akrab dengan beliau. Ah, persaudaraan yang indah, padahal itu juga kali pertama saya kenal dan berjumpa beliau.  Saat masuk ke Kota Krabi, kami diajak mampir ke sebuah resto yang artistik.  Banyak kerajinan dari kayu dalam ukuran besar yang memperindah taman-taman di area resto. Namun, karena tadi sebelumnya kami sudah mampir di dua resto, di resto ini kami hanya berfoto-foto ria saja tanpa makan atau minum. Pak Amran langsung bisa faham kalau kami, terutama saya ding, sangat doyan foto, maka beliau ajak kami mampir untuk sekadar foto. Diasaarr ya…

Sampai Krabi, lokasi yang kami tuju adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren sebut saja begitu. Lokasinya dikelilingi kebun kelapa sawit dan agak sedikit masuk dari jalan raya. Di tempat ini kami menginap selama tiga hari. Kegiatan-kegiatan utama dan penting dilakukan di Kota Krabi ini, termasuk pengabdian kepada masyarakat berupa pelatihan kepada guru-guru di Thailand ini. Kami menempati sebuah rumah, sebut saja Guest House berlantai dua yang cukup rapi dan bersih. Di dekat rumah ini, ada pesantren dan sekolah setara SMP-SMA. Ada tiga mahasiswa kami yang mengikuti kegiatan Asistensi Mengajar di tempat ini. 16 mahasiswa lainnya tersebar di berbagai wilayah, termasuk di Phuket. Kami disambut oleh Pak Kyai yang biasa kami panggil Baboo, seperti orang-orang di sini memanggil beliau. Baboo cukup ramah dan benar-benar mengamalkan bagaimana memuliakan tamu. Kami diperlakukan sangat baik. Selama tiga hari kami dilayani dengan baik, termasuk diajak makan ke resto dan diajak wisata, salah satunya ke Krabi Hot Spring yang terkenal itu. Kejadian horor juga terjadi di rumah ini. Tetapi disimpan saja dulu ya, nanti insya Allah akan saya tulis di lain waktu, judul tersendiri, duile.

Selama tiga hari, selain melaksanakan pelatihan untuk guru-guru, kami juga mengunjungi dua sekolah yang menjadi lokasi kegiatan mahasiswa kami dari Malang selama di Thailand ini. Salah satu lokasi yang kami kunjungi cukup menantang sebab kami harus naik perahu mesin dulu dan lalu naik semacam bentor kalau di Indonesia untuk mencapai sekolah tersebut. Sangat seru. Apalagi, sebelum sampai ke sekolah, kami diajak makan siang di sebuah resto yang eksotik, tidak besar tapi lumayan indah dan sajian menu yang beragam. Kami juga sempat mengunjungi Pantai Ao Nang yang super famous itu, yang sangat banyak dikunjungi turis dari berbagai negara. Pernah juga di suatu sore mampir makan di resto sea food tepi pantai. Alhamdulillah bisa merasai  banyak pengalaman.

Baboo, Pak Amran, dan para guru di sana sangat ramah dan sudah seperti saudara. Sekadar informasi, kalau di Krabi, mayoritas penduduknya muslim, jadi tidak sulit mencari resto halal atau untuk menemukan masjid. Selama tiga hari di Krabi, saya pribadi merasa kenyamanan sebab rasa persaudaraan yang kuat ini. Kalau wisata atau jalan-jalan, barangkali bisa saja kita lakukan lain waktu dengan biaya kita. Namun, rasa persaudaraan dan sambutan dari orang-orang di Krabi ini yang jauh lebih bermakna. Meski ini di negeri orang, tetapi tidak ada rasa was-was atau gimana sebab semua menyambut dengan nyaman. Tentu ini resonansi, sebatas kita bersikap baik dan menyesuaikan kondisi, insya Allah orang pun akan berbuat baik pada kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, begitulah kira-kira. Ah, perjalanan indah yang akan kami simpan dalam ingatan kami dan akan kami catat inspirasi-inspirasi berserak yang kami dapat.

Usai dari Krabi, masih ada dua malam lagi yang juga seru yang akan saya tulis nanti. Rangkaian perjalanan yang seru, mungkin, hihi. Tunggu ya…

























2 komentar:

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...