Sabtu, 15 Juni 2019

FIKSI


Jangan Ucapkan Cinta
Cerpen Karkono Supadi Putra

Hasil gambar untuk ilustrasi cerpen

Bagi Dina, melupakan Satria adalah hal yang teramat sulit untuk dia lakukan.
Sepuluh tahun lebih menjalin hubungan, tentu banyak sudah yang terjadi. Suka duka sudah dilalui dan Dina sudah sampai pada sebuah kesimpulan: dia tidak bisa hidup tanpa Satria. Dina tidak bisa membayangkan jika dia tidak menikah dengan Satria, betapa hidupnya serasa hampa. Dina sudah jatuh bangun menerima semua yang ada pada diri Satria. Jamak terjadi pada seseorang yang tengah jatuh cinta, terkadang hanya dapat melihat sesuatu yang baik dari orang yang dicintai. Namun, tidak bagi Dina. Dia sudah hafal di luar kepala apa dan bagaimana diri Satria. Baik dan buruk Satria sudah Dina sadari. Dan, Dina siap menerima semua-muanya.
Dalam rentang waktu sepuluh tahun itu, Dina sering merasai dua rasa yang berbeda. Kadang, Dina merasa teramat bahagia saat bersama Satria. Ibarat, dia tidak pernah begitu bahagia, selain saat bersama Satria. Hanya Satria yang mampu membuat Dina benar-benar bahagia. Namun, Dina juga sering merasai sakit yang teramat sangat karena Satria. Dina merasa tidak pernah merasakan sesakit yang begitu purna, kecuali sebab Satria yang melukainya. Ringkasnya, Dina sudah melakukan apa saja demi seseorang yang sangat dicintainya.
Namun, sesuatu telah terjadi.
Dina mendapat kabar jika Satria hendak menikah, dan bukan dengan dirinya. Dina tak mampu lagi berkata-kata. Langit seakan runtuh. Hanya bulir-bulir bening yang membelah pipinya. Tak perlu ditanya lagi bagaimana sakit dalam hati Dina. Lalu, apa arti selmua ini? Apa maksud hubungan ini? Kalau aku hanya untuk permainan, kenapa harus bertahan hingga sepuluh tahun? Berarti selama ini, kau tidak pernah benar-benar mencintaiku? Pertanyaan-pertanyaan itu berbelesatan dalam benak Dina.
Mendadak, rasa cinta Dina kepada Satria berubah menjadi benci.
Dina tidak menyangka jika Satria setega itu pada dirinya. Bayangan semua masa yang pernah dilalui bersama Satria mendadak menari-nari. Dina begitu mencintai Satria. Namun, Satria ternyata begitu jahat pada Dina. Di tengah kegalauan itu, sejatinya Dina masih berharap agar berita itu bohong belaka. Dina ingin mendengar jika Satria tidak akan menikah dengan perempuan lain. Sebab, Dina memang begitu mendamba Satria untuk menjadi suaminya.
***
Tidak berpaut lama dari saat Dina kali pertama mendengar tentang rencana pernikahan Satria, Satria ternyata pada akhirnya benar-benar menikah dengan perempuan lain. Serasa ribuan sembilu menggores hati Dina, mencipta sakit yang teramat. Perih tiada terperi. Dan, Dina tidak bisa berbuat apa-apa. Saat mengingat Satria, yang ada hanyalah dadanya yang berdetak tak beraturan. Ada kebencian yang membuncah. Ada dendam yang ingin menggelegak tumpah.
Namun, Dina sadar, hidup harus terus berjalan.
Perlahan Dina mulai berdamai dengan kondisinya. Kadang, untuk menghibur luka hatinya, Dina menganggap tidak pernah ada hubungan antara dia dan Satria. Selama ini Dina saja yang salah mengartikan hubungan dengan Satria. Satria tidak pernah mencintainya. Perasaan seperti itu Dina anggap lebih menyehatkan dirinya dan memudahkan Dina untuk bangkit.
Sebab apa guna juga selalu meratapi keadaan.
Pernah juga terbersit rencana dalam benak Dina untuk melakukan kejahatan demi melampiaskan dendam pada Satria. Namun, itu urung Dina lakukan. Untuk menepis kesepian dalam kesendirian, sering Dina menghabiskan waktu pergi bersama sahabat-sahabatnya. Saat dalam kegalauan, sahabat setidaknya mampu menghiburnya.
Hingga, suatu ketika, setelah berpuluh purnama terlewat, hadir Ray dalam kehidupan Dina.
Ternyata, melupakan seseorang akan terasa lebih mudah jika kita menemukan penggantinya. Begitu yang kini ada di benak Dina. Ray mampu menggeser bayang-bayang Satria. Dulu, Dina memang pernah ingin melupakan Satria saat sering Satria menyakiti Dina. Namun, Dina tidak pernah benar-benar bisa. Dina berulang kali memaklumi kesalahan Satria dan memafkan kesalahan kecil Satria. Hingga, yang terakhir adalah saat Satria menggores luka yang teramat dalam saat dia menikah dengan perempuan lain. Dan, Dina hingga kini tidak pernah bisa memafkan Satria. Pun, sepertinya Satria tidak pernah merasa bersalah. Dina terkadang menyesali apa yang sudah terjadi, mengapa dulu dia bisa mencintai Satria sedemikian kuat.
Namun, kehadiran Ray seolah memudahkan Dina untuk benar-benar melupakan Satria. Dina serasa menemukan malaikat penolong hidupnya. Dari banyak sisi, Ray memang lebih baik dari Satria. Dari segi fisik, pendidikan, kedewasaan, bahkan soal agama. Dina bak menemukan cahaya di tengah gulita.
“Yang pasti, Ray benar-benar mencintaiku. Bagiku itu sudah lebih dari cukup,” kata-kata Dina meluncur ringan saat ditanya Renata, salah satu sahabat Dina. Siang itu, Dina dan Renata keluar kantor untuk makan siang. Seperti biasa, mereka sering terlibat dalam pembicaraan yang bersifat pribadi, termasuk soal asmara. Mereka memang tidak bekerja satu kantor, tetapi terkadang mereka janjian untuk makan bersama saat jam istirahat. Kebetulan kantor mereka tidak terlalu jauh.
“Gimana ceritanya sih, kamu akhirnya bisa kenal dengan Ray?” tanya Renata penuh rasa ingin tahu.
“Kenalnya sudah lama sih, sekadar kenal. Namun, kami sepertinya selama ini hanya sama-sama mengagumi dalam diam, hingga suatu ketika, dia yang lebih dulu mendapatkan nomorku. Awalnya untuk urusan pekerjaan, nara sumber artikel di majalah di kantorku. Ya, lama-lama akrab gitu deh...”
Begitulah...
Dina kini merasa nyaman menjalin hubungan dengan Ray. Hari-harinya penuh dengan bunga. Jika dulu, saat menjalin hubungan dengan Satria, Dina merasa hanya Dina yang selalu menjaga agar hubungan itu tidak koyak. Dina yang lebih banyak mengorbankan perasaan atas apa yang dilakukan Satria, demi Satria tetap dekat dengannya. Namun, tidak dengan Ray. Ray adalah lelaki dewasa yang tanpa sungkan mengekspresikan perasaan cintanya kepada Dina. Bahkan, seingat Dina belum pernah sekalipun Satria mengucapkan cinta pada Dina. Beda dengan Ray yang bahkan sejak awal sudah menyampaikan niat baiknya saat dekat dengan Dina, sebelum keduanya bersepakat untuk menyeriusi hubungan tersebut. “Aku ingin mencari istri, bukan pacar. Maka, aku tak perlu mengucapkan cinta untukmu. Aku dekat kamu ini bukan untuk main-main, Dina.”
Kata-kata Ray itu yang akhirnya membuat Dina luluh. Dekat dengan Ray memang tidak seperti saat bersama Satria. Dulu, sudah tak terhitung berapa kali Satria dan Dina menghabiskan waktu untuk bersama: makan, nonton, piknik, dan banyak aktivitas hura-hura yang sejatinya membuat hati Dina resah. Namun, Ray tidak demikian. Dari Ray, Dina belajar banyak untuk bisa melewati hari lebih sehat dan indah. Kata-kata Ray serasa nasihat dari ustadz yang kerap Dina dengar di televisi. Bahkan, seingat Dina, belum pernah sekalipun Ray menyentuh tangan Dina. Ah, lelaki misterius itu benar-benar menempatkan Dina pada sebuah negeri yang hanya ada bahagia bertahta di sana.
“Na, kamu sangat beruntung bisa mendapatkan Ray. Dia itu lelaki idaman banyak perempuan lho. Aku sempat ragu sih, masak sih kamu jadian sama dia. Bukan apa-apa, soalnya aku lihat Ray itu kan kayaknya tidak dekat dengan perempuan, maksudnya sangat menajga pergaulan dengan perempuan,” kata-kata Renata sejatinya melambungkan angan Dina, menjadikan Dina serasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Namun, Dina hanya menyungging senyum termanisnya demi merespon kata-kata Renata.
“Nah, itu dia Ren... Aku juga heran. Jujur nih ya, sejak pertama berjumpa, aku memang tertarik dengan fisiknya. Tahu kan ya... perempuan mana sih yang tidak tergoda dengan ketampanannya. Namun, karena aku tahu dia kayaknya takut dengan perempuan, maka aku ya biasa saja, malah cenderung nyuekin dia saat beberapa kali berjumpa untuk urusan pekerjaan.”
“Terus?” muka Rena berbinar dan penuh keingintahuan.
“Terus tahu tidak apa alasannya dia mau dekat denganku?”
“Apa?” sahut Renata gegas.
“Katanya sebab aku ini wanita yang paling dingin saat dekat denagn dia. Kalau perempuan lain yang selama ini dekat denganya, entah itu teman kuliah atau teman urusan kerja, katanya cenderung reaktif dan cenderung agresif menggodanya. Dia justru tidak suka yang begitu...”
“Memang itu strategimu ya Na?” tanya Renata polos.
“Ih, apaan sih. Bukan lah. Mungkin, saat awal-awal kenal dengan Ray, saat aku masih sakit sebab ditinggal nikah Satria. Jadi kesannya memang dingin sama semua lelaki. Hihiiii. Semoga kelak berakhir bahagia, ya Ren...”
***
Pagi hari saat langit begitu cerah membiru.
Dina buru-buru pergi ke toko buku. Dia ingin membeli sebuah buku dan menghadiahkannya untuk Ray yang hari ini berulang tahun. Entah, Ray berkenan atau tidak, setidaknya Dina ingin memberi tanda sayangnya pada lelaki yang hari-hari ini bayangnya menyesaki ruang-ruang kosong khayalnya.
Suasana toko buku belum begitu ramai. Dina asyik memilih-milih buku. Berbagai jenis buku sudah dia buka-buka dan lihat. Namun, Dina masih bingung mau memilih buku mana yang akan dia beli untuk diberikan pada Ray. Dina bolak balik ke sana ke mari di seluruh sudut toko. Hingga dadanya mendadak berdetak saat dari kejauhan dia melihat Ray baru saja masuk toko. Kali ini bukan senyum manis yang tersungging di bibir Dina saat melihat Ray, tetapi justru hati yang berdegub sebab Ray datang bersama seorang perempuan. Dina buru-buru menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah rak agar Ray tidak melihatnya. Dari kejauhan Dina mengamati Ray. Dan, Dina tahu persis siapa perempuan yang tengah bercanda riang di sebelah Ray itu.
Dia adalah Ryana. Dina tahu persis bahwa perempuan itu adalah Ryana, meski sudah cukup lama Dina tidak berjumpa dengannya, tetapi Dina tidak lupa pada sosok Ryana. Dada Dina seketika sesak. Mengapa Ray bisa bersama Ryana? Apa hubungan di antara keduanya? Mungkinkah keduanya ada hubungan istimewa? Apakah Ray tak ubahnya dengan Satria yang akan mencipta luka di hati Dina? Pertanyaan-pertanyaan itu menyesaki dada Dina. Melihat Ryana, gemuruh di dada Dina kian terasa. Ryana adalah sahabat lama Dina yang pernah mencipta cerita tak indah untuk dikenang. Dulu, mereka berdua adalah sahabat begitu dekat sejak SMP, hingga saat mereka mengetahui bahwa mereka sama-sama mencintai Staria, persahabatan itu kandas, tanpa penyelesaian yang tuntas.
Saat Ray dan Ryana beranjak ke salah satu sudut buku yang jauh dari jangkauan Dina, Dina gegas beranjak meninggalkan toko buku, tanpa membeli buku seperti yang dia rencanakan sebelumnya. Langkah kakinya terlihat tergesa, ada mendung di kedua matanya. Mendung itu sebentar lagi akan berubah menjadi hujan.
***
Malam hari yang berhias gerimis, Dina masih terjaga di dalam kamarnya. Dia masih memilin-milin HP. Masih ragu untuk mengirim pesan WA pada Ray. Memang, sejauh ini antara Dina dan Ray bisa dikatakan sangat jarang komunikasi via WA. Tidak seperti mereka yang tengah dimabuk asmara, bisa berbusa-busa .
Dina masih berpikir, ada hubungan apa antara Ray dan Ryana.
Tiba-tiba, ada pesan masuk di HP-nya, dari Ray. Hati Dina bergetar saat membaca pesan itu.
“Apakah besok siang saat istirahat bisa berjumpa? Adikku, Ryana, katanya sangat ingin bertemu denganmu Dina. Ryana sudah cerita semuanya tentang kalian. Percayalah, tidak ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan. Aku peribadi ingin hubungan persahabatan kalian kembali seperti semula. Mau kan?”
Mendadak, Dina merasa ada air sejuk yang menyiram kalbunya, bak oase di gersang sahara. Sudah lama Dina juga ingin bertemu Ryana, meminta maaf dan menjelaskan semua yang dulu pernah terjadi. Namun, kadang ego yang lebih mendominasi hingga rencana untuk bertemu Ryana hanyalah wacana.
“Insya Allah, bisa. Mau ketemu di mana?” balas Dina.
“Di rumah makan dekat kantormu bisa. Nanti sekalian membicarakan rencana keluargaku yang akan bertandang ke rumahmu membicarakan pernikahan kita. Alhamdulillah, mereka setuju jika....”
Dina merasa tidak begitu jelas mendengar kata-kata Ray selanjutnya. Tubuhnya seketika seperti kapas, ringan. Kali ini dia merasa benar-benar bahagia yang sesungguhnya.


Selesai...

Pasuruan, 15062019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...