Kamis, 13 Juni 2019

FIKSI


Cinta  Berlumur Noda
Cerpen Karkono Supadi Putra



Apa yang kini dialami Arini sungguh di luar yang dia kira sebelumnya. Kali ini dia merasa tengah dilanda kesedihan yang teramat sangat. Sakit yang tak terperi. Seingat Arini, baru kali ini dia merasai sakit yang sedemikian. Mencintai lelaki yang ternyata juga dicintai oleh perempuan lain, terlebih perempuan itu adalah sahabat karibnya sendiri adalah sakit yang sulit dilukiskan. Ada perasaan kecewa, kasihan, marah, dan sedih bercampur jadi satu. Rumit. Barangkali satu kata itu yang paling pas menggambarkan apa yang kini dialami Arini.
“Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu?”
Pertanyaan Haris itu menohok Arini.
Namun, Haris cukup beralasan mengajukan pertanyaan itu. Maka, Arini tidak lantas menyalahkan Haris atas pertanyaan berat itu. Arini begitu percaya kepada Haris. Kalaupun Arini menceritakan semuanya pada Haris, itu semata agar ada orang lain yang membantu mengurai masalahnya. Haris memang bukan orang baru di kehidupan Arini. Arini tahu betul seperti apa Haris. Arini percaya, Haris akan merahasiakan apa yang kini dia alami.
“Barangkali demikian...” jawab Arini di sela helaan berat napasnya. Arini tidak merasa menyesal atas jawaban itu, tetapi justru lega. Hanya kepada Haris dia merasa seterbuka ini. Haris hanya tersenyum tipis sembari mengemudikan mobil menyusuri jalanan sepi. Gerimis sisa hujan sesekali masih menusuki bumi.
“Aku tidak akan terkejut dengan jawabanmu, Rin. Namun, pertanyaan itu adalah kunci untuk mengurai masalahmu. Sebab, jika kamu sudah merasa bahagia dengan pernikahanmu kini, aku rasa semua ini tidak akan terjadi.”
“Aku salah ya Ris?”
“Rin... aku tidak akan menghakimimu bahwa yang kamu lakukan ini salah atau benar. Percayalah, aku sudah kenyang dengan cerita kehidupan. Aku bisa menerima apa pun yang terjadi. Namun, jika aku bisa memaklumi, bukan berarti aku membenarkan lho.”
Lalu, mengalirlah cerita tentang apa yang sejatinya dialami Arini. Sambut bergayung. Haris begitu bijak mendengar semua yang meluncur dari bibir Arini. Setidaknya, hal ini membuat Arini lega. Entah, apa pun reaksi Haris, setidaknya Arini merasa tidak menanggung beban hidupnya seorang diri. Ada satu kalimat yang disampaikan Haris yang membuat Arini tertegun sejenak, “Rin, saat kita memutuskan untuk melabuhkan hati kita pada seseorang, saat itu juga kita sudah siap jika suatu saat nanti kita akan meranggas kecewa.”
“Jadi maksudmu, apa yang aku alami ini, tidak perlu aku ratapi ya? Sebab sudah selayaknya terjadi? Begitukah maksudnya?” Haris tidak lantas menjawab pertanyaan Arini. Matanya tertuju pada keadaaan di kanan dan kirinya. “Kurang lebih begitu,” sahut Haris ringan. Arini diam begitu mendengar jawaban Haris.
“Eh Rin, kita mampir resto depan itu dulu Yuk, biar nyaman ceritanya. Lagi pula, aku sudah lumayan lapar nih...” Tawaran Haris itu pun diiyakan Arini. Di depan sebuah restoran bergaya klasik, Haris memarkirkan mobilnya. Mereka berdua turun. Haris mengedarkan pandang, dan menjatuhkan pilihannya di sebuah sudut resto, ada dua kursi kosong yang dekat dengan taman dan kolam jernih dengan air mancur menghiasi.
***
Arini memandang secangkir coklat panas di depannya. Pandangannya terasa kosong. Sesekali tangannya memilin-milin HP yang ada di sebelah cangkir. Paras mukanya tampak kusut, ada galau bersandar di sana. Haris yang mengetahui kondisi Arini, sesekali tersenyum. Tangan Haris gesit mengaduk kopi yang sudah beberapa kali dia teguk.
Ini adalah perjumpaan pertama mereka setelah dua puluh lima tahun berpisah. Meski, dalam kurun waktu itu, mereka masih stay keep in touch  via HP. Saling berkirim kabar, telponan, bercanda, curhat juga.  Arini dan Haris dulu  teman SMP. Cukup lama mereka hilang kontak, hingga sekitar setahun lalu mereka kembali terhubung. Namun, baru moment Lebaran tahun ini kesampaian untuk saling bertemu. Maka, rasanya waktu menjadi begitu berharga untuk sekadar dilewati tanpa menghabiskan waktu bersama. Arini merasa ingin menuntaskan kerinduan pada Haris, tetapi bukan kerinduan semacam Romy kepada Yuli, lebih kepada kerinduan sebagai sahabat yang dijadikan teman curhat di kala penat. Bagi Arini, Haris akan memberikan masukan yang objektif untuk masalah yang kini dia hadapi.
“Sejatinya, jika kamu tanya pada kedalaman hatimu, kamu akan menemukan jawabannya...” suara Haris memecah kebekuan. Arini seperti tergagap dari lamunan. Wajahnya terlihat lelah. Rangkaian reuni perak yang baru saja digelar, rupanya cukup menguras energi dan pikirannya. Arini serasa menajdi yang paling sibuk sebab dia menjadi panitia ini, begitu juga Haris.
“Aku ceritakan pada kamu, agar kamu memberi masukan padaku, Ris. Bukan malah main teka-teki begitu...”
“Sekarang gini, apa goal yang ingin kamu raih dari hubungan itu nanti?”
“Ya, kamu jangan berpikir yang tidak-tidak bahwa aku akan menghancurkan rumah tanggaku, Ris. Aku hanya...”
“ Kamu terlalu berani bermain api?” potong Haris cepat. Dan Arini diam seketika.
“Kamu memperturutkan perasaanmu. Dan itu kuncinya...” lanjut Haris.
“Maksudmu?”
“Kamu tadi kan tanya padaku, bagaimana mengurainya? Kalau kamu mau bertahan dengan kondisi ini, kamu menikmati apa yang terjadi, bahwa kamu mendapatkan kepuasan dengan menjalin hubungan dengan Hendra, di belakang suamimu, ya lanjutkan saja. Apa yang perlu dibicarakan lagi?”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih Ris? Jawabanmu itu serasa menempatkanku pada sosok yang hina... rendah sekali...”
“Eh, bukan, kamu jangan baper. Aku bicara rasional, Rin. Pilihannya ada dua: kamu mau melanjutkan atau mengakhiri. Melanjutkan, kamu akan berada pada bayang-bayang perasaan bersalah pada suamimu, itu pasti. Meski kamu pernah cerita bahwa dia juga bisa saja melakukan hal yang sama, tetapi secara tidak sadar, kamu pasti akan merasa bersalah. Belum lagi, perasaan kesal atau salah pada Mia, sahabat kita yang juga mencintai Hendra, iya kan? Tetapi jika kamu akhiri, satu sisi itu aman, tetapi kamu yang lemah mengelola perasaanmu. Kamu tidak mudah bangkit dari perasaan yang sudah terlanjur membelenggumu. Aku tahu, ini tidak mudah bagimu Rin. Namun, bukan berarti tidak bisa.”
“Ris, kamu jangan berpikir hubunganku dan Hendra sudah sejauh apa. Bahkan kami tidak pernah bertemu berdua.” Arini seolah membela diri.
“Di mana letak aku mendeskripsikan sejauh apa hubungan kalian? Menurutku, bagaimanapun bentuk hubungan itu, yang pasti sudah membuatmu gelisah kan? Hanya, gelisahmu saat ini bukan pada perasaan bersalahmu pada suamimu, tetapi lebih kepada mengapa ada perempuan lain yang juga mencintai Hendra kan? Kamu belum berpikir, bahwa sebelum ada Mia yang juga mencintai Hendra, sudah ada istri Hendra yang begitu mencintai Hendra pula.”
Dan, saat mendengar kata-kata Haris yang terakhir, ada bulir bening meleles dari kedu amata Arini. Apa yang dikatakan Haris sejatinya sering timbul dalam benak Arini. Namun, gegas Arini membunuh perasaan itu sebab rasa cintanya yang besar pada Hendra. Sering, Arini berandai-andai, mengapa tidak sejak dulu dipertemukan dengan Hendra saat mereka masing-masing masih dalam keadaan sendiri hingga saat mereka saling mencintai, tidak ada hati yang tersakiti.
“Rin... diminum dulu, keburu dingin...” Arini buru-buru mengusap airmatanya dan meminum coklat panas yang tak lagi panas itu.
Senja semakin merayap, langit berpendar kehitaman. Arini dan Haris masih menghabiskan waktu berdua. Meski terkadang jawaban-jawaban Haris pedas dan menohok, tetapi itu yang sejatinya dia butuhkan. Dengan begitu, dia punya banyak alternatif dan wawasan. Dan, memang sejatinya sahabat itu kadang seperti obat, pahit tetapi menyembuhkan. Bukan seperti racun, pahit mematikan.
“Semua pilihan aku kembalikan ke kamu Rini. Apa pun pilihanmu, tidak akan mengubah pandanganku terhadapmu. Jika kamu memilih untuk melanjutkan berhubungan dengan Hendra, tidak lantas membuatmu rendah di mataku. Percayalah, aku bisa memahami semuanya. Manusia perlu waktu untuk sekadar memutarbalikkan perasaan.”
Arini tersenyum ceria.
“Makasih, Ris. Eh, ini Tya call. Ajak gabung sini saja ya...” kata Arini dengan muka berbinar. Haris mengiyakan. Maka, tidak berselang lama, Tya yang juga teman SMP mereka pun meluncur. Mereka bertiga lantas menikmati malam dalam hangat kebersamaan. Mereka serasa takut waktu begitu cepat berlalu dan akan memisahkan mereka. Mereka membicarakan banyak hal dari A sampai Z. Tak ada yang terluka, tak ada yang tersindir, sebab persahabatn mereka dilandari keikhlasan, memahami satu sama lain, bukan dengan pamrih tertentu.
***
Tengah malam, Arini masih terjaga dari tidurnya.
Kata-kata Haris masih terngiang di benaknya. Setidaknya, pertemuan dengan Haris dan Tya, menguatkan Arini pada jalan mana dia harus memilih. Dia sadar, cinta yang berkalang noda memang penuh curam dan licin untuk dilalui.
“Apa pun pilihanmu, tidak lantas mengubah pandanganku terhadapmu, Rin,” kata-kata Haris terngiang kembali di telinga Arini. Ah, begitulah persahabatan. Arini tahu, Haris sudah bersikap bagaimana seharusnya dia bersikap, tanpa harus membuat Arini direndahkan, Haris sejatinya sudah memberi signal ajlan mana yang harus Arini pilih.
Arini perlahan mengambil HP, jemarinya lincah menulis dan mengirim pesan kepada Hendra. Entah apa yang dia tulis kepada Hendra. Tidak lama, ada panggilan masuk ke HP-nya, dari Hendra. Arini hanya tersenyum dan tidak mengangkat panggilan yang dia silent  itu. Pandangannya bergeser pada Mas Yudi, suaminya yang tertidur pulas di sebelahnya.
Sebelum Arini berbaring di sebelahnya, Arini mengucapkan kata-kata lirih yang tidak disadari Mas Yudi, “Maafkan aku, Mas!”.

Selesai.

Pasuruan14062019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...