Cinta
Berlumur Noda
Cerpen
Karkono Supadi Putra
Apa yang kini dialami
Arini sungguh di luar yang dia kira sebelumnya. Kali ini dia merasa tengah
dilanda kesedihan yang teramat sangat. Sakit yang tak terperi. Seingat Arini,
baru kali ini dia merasai sakit yang sedemikian. Mencintai lelaki yang ternyata
juga dicintai oleh perempuan lain, terlebih perempuan itu adalah sahabat
karibnya sendiri adalah sakit yang sulit dilukiskan. Ada perasaan kecewa,
kasihan, marah, dan sedih bercampur jadi satu. Rumit. Barangkali satu kata itu
yang paling pas menggambarkan apa yang kini dialami Arini.
“Apa kamu tidak bahagia
dengan pernikahanmu?”
Pertanyaan Haris itu
menohok Arini.
Namun, Haris cukup
beralasan mengajukan pertanyaan itu. Maka, Arini tidak lantas menyalahkan Haris
atas pertanyaan berat itu. Arini begitu percaya kepada Haris. Kalaupun Arini
menceritakan semuanya pada Haris, itu semata agar ada orang lain yang membantu
mengurai masalahnya. Haris memang bukan orang baru di kehidupan Arini. Arini
tahu betul seperti apa Haris. Arini percaya, Haris akan merahasiakan apa yang
kini dia alami.
“Barangkali
demikian...” jawab Arini di sela helaan berat napasnya. Arini tidak merasa
menyesal atas jawaban itu, tetapi justru lega. Hanya kepada Haris dia merasa
seterbuka ini. Haris hanya tersenyum tipis sembari mengemudikan mobil menyusuri
jalanan sepi. Gerimis sisa hujan sesekali masih menusuki bumi.
“Aku tidak akan
terkejut dengan jawabanmu, Rin. Namun, pertanyaan itu adalah kunci untuk
mengurai masalahmu. Sebab, jika kamu sudah merasa bahagia dengan pernikahanmu kini,
aku rasa semua ini tidak akan terjadi.”
“Aku salah ya Ris?”
“Rin... aku tidak akan
menghakimimu bahwa yang kamu lakukan ini salah atau benar. Percayalah, aku
sudah kenyang dengan cerita kehidupan. Aku bisa menerima apa pun yang terjadi.
Namun, jika aku bisa memaklumi, bukan berarti aku membenarkan lho.”
Lalu, mengalirlah
cerita tentang apa yang sejatinya dialami Arini. Sambut bergayung. Haris begitu
bijak mendengar semua yang meluncur dari bibir Arini. Setidaknya, hal ini
membuat Arini lega. Entah, apa pun reaksi Haris, setidaknya Arini merasa tidak
menanggung beban hidupnya seorang diri. Ada satu kalimat yang disampaikan Haris
yang membuat Arini tertegun sejenak, “Rin, saat kita memutuskan untuk melabuhkan
hati kita pada seseorang, saat itu juga kita sudah siap jika suatu saat nanti
kita akan meranggas kecewa.”
“Jadi maksudmu, apa
yang aku alami ini, tidak perlu aku ratapi ya? Sebab sudah selayaknya terjadi?
Begitukah maksudnya?” Haris tidak lantas menjawab pertanyaan Arini. Matanya
tertuju pada keadaaan di kanan dan kirinya. “Kurang lebih begitu,” sahut Haris
ringan. Arini diam begitu mendengar jawaban Haris.
“Eh Rin, kita mampir
resto depan itu dulu Yuk, biar nyaman ceritanya. Lagi pula, aku sudah lumayan
lapar nih...” Tawaran Haris itu pun diiyakan Arini. Di depan sebuah restoran
bergaya klasik, Haris memarkirkan mobilnya. Mereka berdua turun. Haris mengedarkan
pandang, dan menjatuhkan pilihannya di sebuah sudut resto, ada dua kursi kosong
yang dekat dengan taman dan kolam jernih dengan air mancur menghiasi.
***
Arini memandang
secangkir coklat panas di depannya. Pandangannya terasa kosong. Sesekali tangannya
memilin-milin HP yang ada di sebelah cangkir. Paras mukanya tampak kusut, ada
galau bersandar di sana. Haris yang mengetahui kondisi Arini, sesekali
tersenyum. Tangan Haris gesit mengaduk kopi yang sudah beberapa kali dia teguk.
Ini adalah perjumpaan
pertama mereka setelah dua puluh lima tahun berpisah. Meski, dalam kurun waktu
itu, mereka masih stay keep in touch via HP. Saling berkirim kabar, telponan,
bercanda, curhat juga. Arini dan Haris
dulu teman SMP. Cukup lama mereka hilang
kontak, hingga sekitar setahun lalu mereka kembali terhubung. Namun, baru
moment Lebaran tahun ini kesampaian untuk saling bertemu. Maka, rasanya waktu
menjadi begitu berharga untuk sekadar dilewati tanpa menghabiskan waktu
bersama. Arini merasa ingin menuntaskan kerinduan pada Haris, tetapi bukan
kerinduan semacam Romy kepada Yuli, lebih kepada kerinduan sebagai sahabat yang
dijadikan teman curhat di kala penat. Bagi Arini, Haris akan memberikan masukan
yang objektif untuk masalah yang kini dia hadapi.
“Sejatinya, jika kamu
tanya pada kedalaman hatimu, kamu akan menemukan jawabannya...” suara Haris
memecah kebekuan. Arini seperti tergagap dari lamunan. Wajahnya terlihat lelah.
Rangkaian reuni perak yang baru saja digelar, rupanya cukup menguras energi dan
pikirannya. Arini serasa menajdi yang paling sibuk sebab dia menjadi panitia
ini, begitu juga Haris.
“Aku ceritakan pada
kamu, agar kamu memberi masukan padaku, Ris. Bukan malah main teka-teki
begitu...”
“Sekarang gini, apa
goal yang ingin kamu raih dari hubungan itu nanti?”
“Ya, kamu jangan
berpikir yang tidak-tidak bahwa aku akan menghancurkan rumah tanggaku, Ris. Aku
hanya...”
“ Kamu terlalu berani
bermain api?” potong Haris cepat. Dan Arini diam seketika.
“Kamu memperturutkan
perasaanmu. Dan itu kuncinya...” lanjut Haris.
“Maksudmu?”
“Kamu tadi kan tanya
padaku, bagaimana mengurainya? Kalau kamu mau bertahan dengan kondisi ini, kamu
menikmati apa yang terjadi, bahwa kamu mendapatkan kepuasan dengan menjalin
hubungan dengan Hendra, di belakang suamimu, ya lanjutkan saja. Apa yang perlu
dibicarakan lagi?”
“Kok kamu ngomongnya
gitu sih Ris? Jawabanmu itu serasa menempatkanku pada sosok yang hina... rendah
sekali...”
“Eh, bukan, kamu jangan
baper. Aku bicara rasional, Rin. Pilihannya ada dua: kamu mau melanjutkan atau
mengakhiri. Melanjutkan, kamu akan berada pada bayang-bayang perasaan bersalah
pada suamimu, itu pasti. Meski kamu pernah cerita bahwa dia juga bisa saja
melakukan hal yang sama, tetapi secara tidak sadar, kamu pasti akan merasa
bersalah. Belum lagi, perasaan kesal atau salah pada Mia, sahabat kita yang
juga mencintai Hendra, iya kan? Tetapi jika kamu akhiri, satu sisi itu aman,
tetapi kamu yang lemah mengelola perasaanmu. Kamu tidak mudah bangkit dari
perasaan yang sudah terlanjur membelenggumu. Aku tahu, ini tidak mudah bagimu
Rin. Namun, bukan berarti tidak bisa.”
“Ris, kamu jangan
berpikir hubunganku dan Hendra sudah sejauh apa. Bahkan kami tidak pernah
bertemu berdua.” Arini seolah membela diri.
“Di mana letak aku
mendeskripsikan sejauh apa hubungan kalian? Menurutku, bagaimanapun bentuk
hubungan itu, yang pasti sudah membuatmu gelisah kan? Hanya, gelisahmu saat ini
bukan pada perasaan bersalahmu pada suamimu, tetapi lebih kepada mengapa ada
perempuan lain yang juga mencintai Hendra kan? Kamu belum berpikir, bahwa
sebelum ada Mia yang juga mencintai Hendra, sudah ada istri Hendra yang begitu
mencintai Hendra pula.”
Dan, saat mendengar
kata-kata Haris yang terakhir, ada bulir bening meleles dari kedu amata Arini.
Apa yang dikatakan Haris sejatinya sering timbul dalam benak Arini. Namun,
gegas Arini membunuh perasaan itu sebab rasa cintanya yang besar pada Hendra.
Sering, Arini berandai-andai, mengapa tidak sejak dulu dipertemukan dengan
Hendra saat mereka masing-masing masih dalam keadaan sendiri hingga saat mereka
saling mencintai, tidak ada hati yang tersakiti.
“Rin... diminum dulu,
keburu dingin...” Arini buru-buru mengusap airmatanya dan meminum coklat panas
yang tak lagi panas itu.
Senja semakin merayap,
langit berpendar kehitaman. Arini dan Haris masih menghabiskan waktu berdua.
Meski terkadang jawaban-jawaban Haris pedas dan menohok, tetapi itu yang
sejatinya dia butuhkan. Dengan begitu, dia punya banyak alternatif dan wawasan.
Dan, memang sejatinya sahabat itu kadang seperti obat, pahit tetapi
menyembuhkan. Bukan seperti racun, pahit mematikan.
“Semua pilihan aku
kembalikan ke kamu Rini. Apa pun pilihanmu, tidak akan mengubah pandanganku
terhadapmu. Jika kamu memilih untuk melanjutkan berhubungan dengan Hendra,
tidak lantas membuatmu rendah di mataku. Percayalah, aku bisa memahami
semuanya. Manusia perlu waktu untuk sekadar memutarbalikkan perasaan.”
Arini tersenyum ceria.
“Makasih, Ris. Eh, ini
Tya call. Ajak gabung sini saja ya...” kata Arini dengan muka berbinar. Haris
mengiyakan. Maka, tidak berselang lama, Tya yang juga teman SMP mereka pun
meluncur. Mereka bertiga lantas menikmati malam dalam hangat kebersamaan.
Mereka serasa takut waktu begitu cepat berlalu dan akan memisahkan mereka.
Mereka membicarakan banyak hal dari A sampai Z. Tak ada yang terluka, tak ada
yang tersindir, sebab persahabatn mereka dilandari keikhlasan, memahami satu
sama lain, bukan dengan pamrih tertentu.
***
Tengah malam, Arini
masih terjaga dari tidurnya.
Kata-kata Haris masih
terngiang di benaknya. Setidaknya, pertemuan dengan Haris dan Tya, menguatkan
Arini pada jalan mana dia harus memilih. Dia sadar, cinta yang berkalang noda
memang penuh curam dan licin untuk dilalui.
“Apa pun pilihanmu,
tidak lantas mengubah pandanganku terhadapmu, Rin,” kata-kata Haris terngiang
kembali di telinga Arini. Ah, begitulah persahabatan. Arini tahu, Haris sudah
bersikap bagaimana seharusnya dia bersikap, tanpa harus membuat Arini direndahkan,
Haris sejatinya sudah memberi signal ajlan mana yang harus Arini pilih.
Arini perlahan
mengambil HP, jemarinya lincah menulis dan mengirim pesan kepada Hendra. Entah
apa yang dia tulis kepada Hendra. Tidak lama, ada panggilan masuk ke HP-nya,
dari Hendra. Arini hanya tersenyum dan tidak mengangkat panggilan yang dia silent
itu. Pandangannya bergeser pada Mas
Yudi, suaminya yang tertidur pulas di sebelahnya.
Sebelum Arini berbaring
di sebelahnya, Arini mengucapkan kata-kata lirih yang tidak disadari Mas Yudi,
“Maafkan aku, Mas!”.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar