Rintik gerimis membuat Solo basah.
Syahdu, seirama suasana hati Hendra dan Ardhi yang tengah meretas senja di
lantai dua sebuah resto bergaya klasik. Sore itu merupakan hari yang lama
mereka rindukan. Sebuah perjumpaan yang sudah lama mereka rancang. Wajar, bagi
mereka yang tinggal di berlainan kota dan lama berpisah, bisa mencipta momen
untuk bersua tentu sebuah saat yang istimewa. Dulu, saat mereka masih sama-masa
tinggal di Solo, bisa dikata kelewat sering mereka menghabiskan waktu.
Menyusuri lekuk sudut-dudut Solo, dari tempat satu ke tempat lainnya adalah
salah satu kesenangan mereka. Sekadar makan sembari diskusi ringan hingga
membicarakan rencana-rencana masa depan adalah aktivitas mereka kala bersama.
Isu-isu politik yang memanas pun tak luput hadir bersama suguhan kopi-kopi
kental yang mereka kudap.
“Apakah kamu benar-benar bahagia
dengan pernikahanmu, Ndra?” tiba-tiba Ardhi mengucap pertanyaan itu. Membuat
Hendra sejenak tertegun. Sedikit berpikir untuk menyuguhkan jawab atas tanya
yang Ardhi lontarkan.
“Tentu aku sangat bahagia. Aku
menikah dengan istri pilihanku sendiri. Kenapa kamu menanyakan itu?”
Mendengar jawaban Hendra, Ardhi
hanya tersenyum masygul. Seolah dia meremehkan apa yang baru saja dilontarkan
Hendra. Sejak dulu Ardhi selalu cerdas menilai dan menganalisis tentang diri
Hendra hanya dari tanda yang tampak, tanpa harus Hendra katakan.
“Kamu masih piawai meramal rupanya?”
goda Hendra sembari menyeruput kopi separuh
hitam yang asapnya masih mengepul.
“Ada yang kamu sembunyikan. Matamu
tidak bisa berbohong. Ada celah duka di sana. Ceritakanlah!”
“Sejak dulu tradisimu selalu
menilai kondisi seseorang dari mata.”
“Sebab seseorang tak pernah
benar-benar berhasil menyembunyikan segala rasa yang berkecamuk di hatinya
melalui mata. Lisan bisa berdusta, tetapi mata akan jujur berkata.”
Dan, Ardhi selalu berhasil membuat
Hendra bercerita. Itu kelebihan Ardhi sejak dulu. Hendra senantiasa terbuka
menceritakan apa pun pada Ardhi, berkat pancingan Ardhi melalui narasi-narasi
strategisnya. Bahkan hanya urusan yang remeh temeh semisal pilihan baju yang
pas untuk sebuah acara.
Ardhi dan Hendra saling mengenal
sebenarnya tiada lama, tidak lebih dari tiga tahun. Kala itu, Ardhi sedang
studi lanjut di Solo, dan Hendra bekerja di perusahaan media. Ardhi sering
bertandang ke kantor Hendra demi mengambil data penelitian yang tengah dia
lakukan. Ah, bagaimana muasalnya, Ardhi memutuskan untuk bekerja di perusahaan
di mana Hendra bekerja. Di sela-sela dia mengerjakan penelitiannya. Ardhi
merasa menemukan sahabat baru. Membuatnya terasa mudah menjalani hari sebab
yang jamak terjadi, menjalani studi jauh dari keluarga tentulah sangat
menyiksa. Anak dan istri Ardhi ada di Bandung. Singkat cerita, Hendra pun
merasa menemukan ‘lawan tanding’ akan pergulatan pemikirannya selama ini,
merasa satu frekuensi. Tidak jarang, Hendra harus bertekuk lutut di hadapan
Ardhi saat argumen-argumen cerdasnya bisa dipatahkan Ardhi. Begitu juga Ardhi,
Hendra bagi Ardhi adalah lelaki cerdas yang bisa menerima
‘keanehan-keanehannya’ selama ini. Saat orang lain menganggap pemikirannya
nyleneh, tidak demikian bagi Hendra. Justru Hendra bisa merasai fenomena yang
tampak dan yang tersembunyi ketika orang lain tak lagi peka merasainya. Itulah
yang pada akhirnya membuat mereka jadi bersahabat karib. Tidak heran, sore itu
adalah sore yang mereka nantikan. Saat Ardhi mengatakan bahwa dia ada kegiatan
seminar di Solo, tentu salah satu agenda yang tidak boleh dilewatkan adalah
kopdar bersama Hendra.
“Mungkin memang aku sedang
gelisah, tetapi bukan soal pernikahanku.”
“Barangkali benar, kamu tidak ada masalah
dengan pernikahanmu sebab kamu bisa mengelola kekecewaanmu sejauh ini.”
“Kamu ini ya, bener-bener
paranormal kurang pelanggan…”
Lalu dari mulut Ardhi pun mengalir
beragam cerita. Cerita tentang Hendra yang sebenarnya sejak dulu sudah Ardhi
pendam. Bahwa sejatinya Hendra tidak bahagia dengan pernikahannya. Ardhi
melihat, Hendra harusnya bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih istimewa
dari istrinya kini. Di mata Ardhi, Hendra adalah lelaki dengan standar tinggi
dalam banyak hal. Itu bisa dilihat dari kapasitas keilmuan yang tidak
sembarang. Hingga, perdebatan di senja itu pun berakhir ketika Ardhi menutupnya
dengan kalimat… “Kalau ada pilihan wanita salihah yang cantik, jago masak,
lulusan universitas ternama, punya pekerjaan mapan, dan cerdas bisa mengimbangi
pemikiran liarmu, kamu tentu akan memilih yang seperti itu kan?”
Dan senja pun berpendar kehitaman.
Gulita menggantikannya.
***
Tengah malah, Hendra belum bisa
memejamkan mata. Dia masih merenungkan kata-kata Ardhi. Satu sisi, dia bisa membantah apa yang ada di
benak Ardhi, bahwa dia memang bahagia dengan istrinya kini, dia mencintai
sepenuh hati. Jujur, di sisi lain, apa yang dipikirkan Ardhi itu juga pernah
menggalaukan pikirannya. Namun, dia sudah membunuh semua pemikiran itu. Dia
sudah mensyukuri kondisinya kini. Apa yang dikatakan Ardhi itu hanya fase ideal.
Baginya, sosok istrinya kini adalah karunia terindah.
“Kamu pernah bercerita tentang petualangan
cintamu sebelumnya-sebelumnya, tentang sosok-sosok wanita yang urung kau
sunting. Melihat profil mereka yang pernah kau ceritakan, aku bisa menerka arah
pemikiranmu soal istri.” Terngiang lagi kata-kata Ardhi. Hendra tersenyum
sendiri mengingatnya. “Aku besok ke Bandung flight sore. Pagi aku free, boleh
kalau hendak ketemu. Masih kepikiran soal kata-kataku ya?” Hendra menyungging senyum saat mendapat
balasan pesan di HP-nya.
***
Hendra mengemudikan mobilnya di
pagi berhias gerimis. Musim hujan menjadikan Solo senantiasa basah. Pagi itu
Hendra ingin menemui Ardhi. Hendra ingin memberi Ardhi kejutan. Hendra sudah
menyiapkan sebuah buku berjudul Perempuan
Terindah yang sangat mengesankannya. Hendra tidak ingin membantah kata-kata
Ardhi soal istri ideal atau segala perkiraan-perkiraan Ardhi tentang dirinya. Buku
itu bisa menjawab semuanya.
“Tidak perlu terburu-buru, nanti
ketemu di resto hotel ya, usai aku seminar,” pesan singkat dari Ardhi masuk di
ponsel Hendra. Hendra membaca sekilas. Mendadak, ada sepeda motor dari arah
berlawanan dengan kecepatan tinggi. Hendra kaget dan tidak bisa mengendalikan
stir mobil sebab tangan satunya membuka HP. Untuk menghindari motor itu, Hendra membanting
stir ke arah kiri, dan naas…”Braakk!!! Mobil Hendra menghantam sebuah pohon
besar di tepi jalan.
***
Sudah sebulan Hendra terbaring
lemah di kamarnya. Pandangan matanya sering kosong dan tidak jarang meneteskan
bulir bening yang membelah pipi. Kecelakaan itu membuat kaki kanan Hendra
diamputasi hingga lutut. Sofia, istri Hendra, begitu setia merawat Hendra yang
sudah dua minggu ini keluar dari rumah sakit. Meski repot merawat anak, Sofia
dengan sabar merawat Hendra. Bahkan, tidak jarang emosi Hendra meledak. Maklum,
dalam kondisi semacam itu memang bisa membuat emosi Hendra tidak stabil. Salah
pelayanan sedikit, Hendra bisa marah. Sofia dengan senyuman menerima semuanya.
Bagi Sofia, momen ini justru membuat dia semakin bisa menunjukkan rasa cinta
pada Hendra. Sofia mencintai Hendra sepenuhnya, bukan pada fisik semata.
“Aku kini hanya lelaki cacat yang tidak
berguna lagi kan?” tanya Hendra pada Sofia suatu ketika. Ada bulir bening
menetes dari mata Hendra.
“Siapa bilang Mas? Mas Hendra
adalah lelaki hebat, dari dulu hingga detik ini. Aku senantiasa mencintai Mas
Hendra, dengan bagaimanapun keadaan Mas Hendra.”
“Mengapa engkau tetap setia
kepadaku? Aku kini sudah tidak seperti dulu lagi. Aku kini pincang, hanya punya
satu kaki.”
“Mas Hendra, untuk berlabuh ke surga,
kita tak membutuhkan dua kaki…” suara Sofia bergetar. Tangisnya tumpah,
setelahnya Sofia memeluk Hendra. Di saat yang sama, ada yang bergemuruh di
dalam dada Hendra. Detik ini, Hendra benar-benar merasai jika Sofia adalah
perempuan terindah yang dicptakan Tuhan khusus untuknya.
Selesai.
Sebagai pembaca perempuan, sepertinya saya harus merekomendasikan ini pada teman-teman lelaki saya. Saya sering dapat curhatan dari mereka tentang betapa menyebalkannya pacar mereka dan berharap setelah hubungan mereka selesai bisa mendapatkan perempuan yang lebih cantik dan lebih asik. Ya walaupun berbeda jauh sih... statusnya di cerpen ini tentang suami-istri sementara teman saya itu hanya sekedar pacaran. Tapi ini bisa jadi bahan refleksi, kalau sebenarnya apa yang kita miliki adalah suatu hal yang memang terbaik untuk kita.
BalasHapus