Senin, 27 November 2017

Perempuan Terindah

Rintik gerimis membuat Solo basah. Syahdu, seirama suasana hati Hendra dan Ardhi yang tengah meretas senja di lantai dua sebuah resto bergaya klasik. Sore itu merupakan hari yang lama mereka rindukan. Sebuah perjumpaan yang sudah lama mereka rancang. Wajar, bagi mereka yang tinggal di berlainan kota dan lama berpisah, bisa mencipta momen untuk bersua tentu sebuah saat yang istimewa. Dulu, saat mereka masih sama-masa tinggal di Solo, bisa dikata kelewat sering mereka menghabiskan waktu. Menyusuri lekuk sudut-dudut Solo, dari tempat satu ke tempat lainnya adalah salah satu kesenangan mereka. Sekadar makan sembari diskusi ringan hingga membicarakan rencana-rencana masa depan adalah aktivitas mereka kala bersama. Isu-isu politik yang memanas pun tak luput hadir bersama suguhan kopi-kopi kental yang mereka kudap.

“Apakah kamu benar-benar bahagia dengan pernikahanmu, Ndra?” tiba-tiba Ardhi mengucap pertanyaan itu. Membuat Hendra sejenak tertegun. Sedikit berpikir untuk menyuguhkan jawab atas tanya yang Ardhi lontarkan.
“Tentu aku sangat bahagia. Aku menikah dengan istri pilihanku sendiri. Kenapa kamu menanyakan itu?” 
Mendengar jawaban Hendra, Ardhi hanya tersenyum masygul. Seolah dia meremehkan apa yang baru saja dilontarkan Hendra. Sejak dulu Ardhi selalu cerdas menilai dan menganalisis tentang diri Hendra hanya dari tanda yang tampak, tanpa harus Hendra katakan.
“Kamu masih piawai meramal rupanya?” goda Hendra sembari menyeruput kopi separuh  hitam yang asapnya masih mengepul.
“Ada yang kamu sembunyikan. Matamu tidak bisa berbohong. Ada celah duka di sana. Ceritakanlah!”
“Sejak dulu tradisimu selalu menilai kondisi seseorang dari mata.”
“Sebab seseorang tak pernah benar-benar berhasil menyembunyikan segala rasa yang berkecamuk di hatinya melalui mata. Lisan bisa berdusta, tetapi mata akan jujur berkata.”
Dan, Ardhi selalu berhasil membuat Hendra bercerita. Itu kelebihan Ardhi sejak dulu. Hendra senantiasa terbuka menceritakan apa pun pada Ardhi, berkat pancingan Ardhi melalui narasi-narasi strategisnya. Bahkan hanya urusan yang remeh temeh semisal pilihan baju yang pas untuk sebuah acara.
Ardhi dan Hendra saling mengenal sebenarnya tiada lama, tidak lebih dari tiga tahun. Kala itu, Ardhi sedang studi lanjut di Solo, dan Hendra bekerja di perusahaan media. Ardhi sering bertandang ke kantor Hendra demi mengambil data penelitian yang tengah dia lakukan. Ah, bagaimana muasalnya, Ardhi memutuskan untuk bekerja di perusahaan di mana Hendra bekerja. Di sela-sela dia mengerjakan penelitiannya. Ardhi merasa menemukan sahabat baru. Membuatnya terasa mudah menjalani hari sebab yang jamak terjadi, menjalani studi jauh dari keluarga tentulah sangat menyiksa. Anak dan istri Ardhi ada di Bandung. Singkat cerita, Hendra pun merasa menemukan ‘lawan tanding’ akan pergulatan pemikirannya selama ini, merasa satu frekuensi. Tidak jarang, Hendra harus bertekuk lutut di hadapan Ardhi saat argumen-argumen cerdasnya bisa dipatahkan Ardhi. Begitu juga Ardhi, Hendra bagi Ardhi adalah lelaki cerdas yang bisa menerima ‘keanehan-keanehannya’ selama ini. Saat orang lain menganggap pemikirannya nyleneh, tidak demikian bagi Hendra. Justru Hendra bisa merasai fenomena yang tampak dan yang tersembunyi ketika orang lain tak lagi peka merasainya. Itulah yang pada akhirnya membuat mereka jadi bersahabat karib. Tidak heran, sore itu adalah sore yang mereka nantikan. Saat Ardhi mengatakan bahwa dia ada kegiatan seminar di Solo, tentu salah satu agenda yang tidak boleh dilewatkan adalah kopdar bersama Hendra.
“Mungkin memang aku sedang gelisah, tetapi bukan soal pernikahanku.”
 “Barangkali benar, kamu tidak ada masalah dengan pernikahanmu sebab kamu bisa mengelola kekecewaanmu sejauh ini.”
“Kamu ini ya, bener-bener paranormal kurang pelanggan…”
Lalu dari mulut Ardhi pun mengalir beragam cerita. Cerita tentang Hendra yang sebenarnya sejak dulu sudah Ardhi pendam. Bahwa sejatinya Hendra tidak bahagia dengan pernikahannya. Ardhi melihat, Hendra harusnya bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih istimewa dari istrinya kini. Di mata Ardhi, Hendra adalah lelaki dengan standar tinggi dalam banyak hal. Itu bisa dilihat dari kapasitas keilmuan yang tidak sembarang. Hingga, perdebatan di senja itu pun berakhir ketika Ardhi menutupnya dengan kalimat… “Kalau ada pilihan wanita salihah yang cantik, jago masak, lulusan universitas ternama, punya pekerjaan mapan, dan cerdas bisa mengimbangi pemikiran liarmu, kamu tentu akan memilih yang seperti itu kan?”
Dan senja pun berpendar kehitaman. Gulita menggantikannya.
***
Tengah malah, Hendra belum bisa memejamkan mata. Dia masih merenungkan kata-kata Ardhi.  Satu sisi, dia bisa membantah apa yang ada di benak Ardhi, bahwa dia memang bahagia dengan istrinya kini, dia mencintai sepenuh hati. Jujur, di sisi lain, apa yang dipikirkan Ardhi itu juga pernah menggalaukan pikirannya. Namun, dia sudah membunuh semua pemikiran itu. Dia sudah mensyukuri kondisinya kini. Apa yang dikatakan Ardhi itu hanya fase ideal. Baginya, sosok istrinya kini adalah karunia terindah.
“Kamu pernah bercerita tentang petualangan cintamu sebelumnya-sebelumnya, tentang sosok-sosok wanita yang urung kau sunting. Melihat profil mereka yang pernah kau ceritakan, aku bisa menerka arah pemikiranmu soal istri.” Terngiang lagi kata-kata Ardhi. Hendra tersenyum sendiri mengingatnya. “Aku besok ke Bandung flight sore. Pagi aku free, boleh kalau hendak ketemu. Masih kepikiran soal kata-kataku ya?”  Hendra menyungging senyum saat mendapat balasan pesan di HP-nya.
***
Hendra mengemudikan mobilnya di pagi berhias gerimis. Musim hujan menjadikan Solo senantiasa basah. Pagi itu Hendra ingin menemui Ardhi. Hendra ingin memberi Ardhi kejutan. Hendra sudah menyiapkan sebuah buku berjudul Perempuan Terindah yang sangat mengesankannya. Hendra tidak ingin membantah kata-kata Ardhi soal istri ideal atau segala perkiraan-perkiraan Ardhi tentang dirinya. Buku itu bisa menjawab semuanya.
“Tidak perlu terburu-buru, nanti ketemu di resto hotel ya, usai aku seminar,” pesan singkat dari Ardhi masuk di ponsel Hendra. Hendra membaca sekilas. Mendadak, ada sepeda motor dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Hendra kaget dan tidak bisa mengendalikan stir mobil sebab tangan satunya membuka HP.  Untuk menghindari motor itu, Hendra membanting stir ke arah kiri, dan naas…”Braakk!!! Mobil Hendra menghantam sebuah pohon besar di tepi jalan.
***
Sudah sebulan Hendra terbaring lemah di kamarnya. Pandangan matanya sering kosong dan tidak jarang meneteskan bulir bening yang membelah pipi. Kecelakaan itu membuat kaki kanan Hendra diamputasi hingga lutut. Sofia, istri Hendra, begitu setia merawat Hendra yang sudah dua minggu ini keluar dari rumah sakit. Meski repot merawat anak, Sofia dengan sabar merawat Hendra. Bahkan, tidak jarang emosi Hendra meledak. Maklum, dalam kondisi semacam itu memang bisa membuat emosi Hendra tidak stabil. Salah pelayanan sedikit, Hendra bisa marah. Sofia dengan senyuman menerima semuanya. Bagi Sofia, momen ini justru membuat dia semakin bisa menunjukkan rasa cinta pada Hendra. Sofia mencintai Hendra sepenuhnya, bukan pada fisik semata.
 “Aku kini hanya lelaki cacat yang tidak berguna lagi kan?” tanya Hendra pada Sofia suatu ketika. Ada bulir bening menetes dari mata Hendra.
“Siapa bilang Mas? Mas Hendra adalah lelaki hebat, dari dulu hingga detik ini. Aku senantiasa mencintai Mas Hendra, dengan bagaimanapun keadaan Mas Hendra.”
“Mengapa engkau tetap setia kepadaku? Aku kini sudah tidak seperti dulu lagi. Aku kini pincang, hanya punya satu kaki.”
“Mas Hendra, untuk berlabuh ke surga, kita tak membutuhkan dua kaki…” suara Sofia bergetar. Tangisnya tumpah, setelahnya Sofia memeluk Hendra. Di saat yang sama, ada yang bergemuruh di dalam dada Hendra. Detik ini, Hendra benar-benar merasai jika Sofia adalah perempuan terindah yang dicptakan Tuhan khusus untuknya.

Selesai.

1 komentar:

  1. Sebagai pembaca perempuan, sepertinya saya harus merekomendasikan ini pada teman-teman lelaki saya. Saya sering dapat curhatan dari mereka tentang betapa menyebalkannya pacar mereka dan berharap setelah hubungan mereka selesai bisa mendapatkan perempuan yang lebih cantik dan lebih asik. Ya walaupun berbeda jauh sih... statusnya di cerpen ini tentang suami-istri sementara teman saya itu hanya sekedar pacaran. Tapi ini bisa jadi bahan refleksi, kalau sebenarnya apa yang kita miliki adalah suatu hal yang memang terbaik untuk kita.

    BalasHapus

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...