Rabu, 01 November 2017

Film Pengabdi Setan di Mata Saya

Gambar terkait

     Tidak ada tempat untuk belajar bagaimana membuat film laris, jika membuat film bagus, barangkali banyak. Kurang lebih begitu yang bisa saya simpulkan dari beberapa obrolan dengan teman atau di grup-grup komunitas film. Suksesnya sebuah film di pasaran, benar-benar sulit diprediksi. Ada film yang secara kualitas bagus dan dikerjakan dengan biaya tinggi, tetapi tenyata jeblok dalam hal pencapaian penonton di bioskop. Begitu juga sebaliknya, ada film yang secara kualitas biasa atau bahkan kurang, malah bisa melesat jauh.  Namun, untuk film Pengabdi Setan, bisa saya katakan ini salah satu film yang ‘langka’. Film Pengabdi Setan adalah film yang secara kualitas bagus dan dikerjakan dengan serius, dengan biaya yang tidak mahal, dan bisa laris di pasaran.

Beberapa film yang laris di paaran, bisa jadi salah satu faktornya sebab promosi yang besar-besaran. Film Warkop DKI Reborn (baik 1 maupun 2), sangat terlihat bagaimana promo besar-besaran yang dilakukan. Hasilnya juga bisa sebanding dengan biaya promo yang dikeluarkan. Bisa tembus di atas empat juta penonton. Iklan di televisi, masuk di program-program acara tv, baliho dan poster di banyak tempat, dan promo-promo di radio, semua diambil. Film Insya Allah Sah, Mars Meet Venus, dan Surga yang Tak Dirindukan, bisa kita lihat promonya di televisi, dan hasilnya meski tidak terlalu bombastis, bisa dikatakan cukup memuaskan. Insya Allah Sah bisa tembus  di atas 800 ribu dan Surga yang Tak Dirindukan di atas 1,6 juta. Hanya Mars Meet Venus yang kurang menggembirakan, bahkan tidak sampai 500 ribu.
Untuk film Pengabdi Setan, bisa dikatakan tidak ada ‘usaha promosi’ yang berarti. Tidak ada iklan di tv atau baliho di berbagai tempat. Promo film ini justru banyak dilakukan oleh para penonton sendiri yang merasa puas usai menyaksikan film besutan sutradara Joko Anwar ini. Sampai tulisan ini saya tulis, sudah di angka 3,8 juta orang yang menyaksikan Pengabdi Setan di bioskop dan angka ini kemungkinan akan bertambah sebab hingga kini masih tayang. Ada banyak meme plesetan dari poster Pengabdi Setan dan itu ternyata efektif membuat orang lain untuk ikut serta datang ke bioskop. Promo yang gratis tetapi efektif, dan itu bukan bagian dari perencanaan tim produksi film, menurut pengakuan mereka di youtube.
Kalau saya pribadi, jujur tertarik menyaksikan film ini bisa dikatakan memang dari review yang ditulis penonton sebelumnya. Alasan bahwa ini film hasil remake atau reboot dari film yang pernah ada menurut saya pribadi bukan daya tariknya. Saya menyaksikan film Pengabdi Setan yang pertama (lama), bukan di bioskop sehingga nuansa kengerian tidak saya dapatkan. Saya justru penasaran dengan testimoni-testimoni yang mudah saya dapatkan di berbagai media. Testimoni penonton inilah sejatinya promosi yang efektif.
Ini film horror yang elegan dan cerdas.
Kiranya itu kalimat yang pas untuk mendeskripsikan penilaian saya pada film Pengabdi Setan. Atmosfer suasana horror dibangun sejak awal film. Berbagai aspek dalam film dikerjakan dengan cermat hingga mencapai totalitas karya yang keren. Mulai dari penggarapan cerita, pemilihan lokasi, rias busana, artistik, iringan musik, dan pemain, semua seolah menjadi satu kesatuan yang saling mendukung. Penempatan-penempatan ‘kehororan’ juga pas sesuai urutan cerita dan ‘timing’. Satu hal lagi, menurut cerita Joko Anwar, suasana saat syuting memang sudah didesain benar-benar mencekam, tidak banyak yang melihat, hingga kengerian yang dialami pemain bisa natural, dan itu akhirnya tampak pada ekspresi para pemainnya.
Film Pengabdi Setan tidak terjebak pada kecenderungan film-film horror lain yang biasanya dibumbui dengan adegan mesum atau kostum yang menggoda. Ini horror yang elegan dan ‘aman’. Terlepas dari itu, disadari atau tidak oleh tim produksi, sejatinya film ini sarat makna positif jika kita jeli. “Kalau kita tidak mau menderita selama hidup, jangan pernah melakukan perjanjian apa pun dengan ‘setan’.” Kiranya itu satu kalimat yang bisa meringkas apa pesan yang bisa ditangkap dalam film ini. Sekilas, apa yang dialami keluarga utama dalam film ini adalah efek dari apa yang sudah dilakukan oleh ibu pada masa lalu. Ibu mengikuti sebuah sekte atau aliran tertentu agar bisa mendapatkan anak, sekte kesuburan lah singkatnya. Tentu, ada perjanjian-perjanjian tertentu jika keinginan sudah dituruti. Itu jamak terjadi. Dampak dari hal itu, anak-anak yang tidak tahu menahu pun ikut merasakannya.
Film ini juga cerdas sebab tidak terjebak pada ending yang mainstream terjadi di film-film horror lain. Misalnya, setan senantiasa dikalahkan oleh sosok ulama atau kyai sakti. Bahkan, di film Pengabdi Setan yang pertama, endingnya demikian. Di film ini tetap menghadirkan sosok ulama, tepatnya Pak Ustad, tetapi lantas tidak tanpa cela. Bagaimanapun, figur ustadz adalah manusia yang bisa jadi ada khilaf. Namun, pesan-pesan positif tetap disampaikan oleh sosok Pak Ustadz ini, misal sangat wajar rumah akan banyak setan jika jarang dipakai sholat. Tidak perlu saya sebut detail, nanti malah spoiler. Hehe.
Sedikit kelemahan, atau tepatnya hal yang kurang bsia fahami, adalah perubahan sikap pada salah satu tokoh, saya lupa namanya (hehehe), yang pasti kakaknya Ian, anak nomor tiga. Saya sempat menerka, apa ini dia kena terpengaruh, lalu 'sembuh' lagi, atau apa. Sedikit membingungkan, hehehe. Bang Joko menang suka demikian. Mungkin sebab saya yang kurang jeli atau mungkin perlu menonton lagi sambil fokus ke adegan-adegan itu, hehe.
Singkatnya, film ini perlu ditonton untuk memberi wacana lain bagi kita bagaimana memproduksi sebuah film horror yang tetap asyik dinikmati dan mengesankan, bahkan hemat, hehe. Lokasi film ini 90 persen ada di sebuah rumah, dan tentu secara budget lebih hemat. Tidak banyak pemain dan tidak banyak property yang neko-neko. Saya bukan bagian dari tim promo film ini. Namun, jika melihat karya yang memang bagus, ya tentu harus objektif menilainya.
Wallahu'alam.

2 komentar:

  1. Wah bagus sepertinya pak, yuk kapan nonton bareng?he....3x (warsito.web.id)

    BalasHapus
  2. Ga berani nonton, Pak. Meski tahu ceritanya dari beberapa ulasan dan memang ini menggambarkan eratnya kondisi sosial masyarakat Indonesia dengan lelaku seperti pesugihan, kesaktian, sampai demi mendapat keturunan dsb.

    Saya terlalu visual soalnya XD Daripada ntar kebayang pas malam atau gelap. Saya menghindari yang horor-horor.

    BalasHapus

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...