Dari Laksmana ke Ekalaya:
Menyulam Jiwa di Panggung Graha Cakrawala
Alhamdulillah, syukur kepada Dzat pemilik keagungan di atas segala.
Selama menjadi bagian dari Universitas Negeri Malang(UM) sejak tahun 2005, saya telah beberapa kali terlibat dalam produksi pagelaran kesenian, baik di tingkat Fakultas Sastra maupun di Departemen Sastra Indonesia. Dunia panggung bukan hal yang asing bagi saya—ia selalu menjadi ruang tempat saya belajar memahami manusia dan kehidupan melalui gerak dan kisah. Namun, ketika Universitas Negeri Malang mempercayakan saya untuk menyutradarai Sendratari Ramayana pada tahun 2024 di Graha Cakrawala dalam rangkaian Puncak Lustrum XIV sekaligus Dies Natalis UM ke-70, tantangannya terasa jauh lebih besar. Panggung universitas tidak hanya menuntut kreativitas, tetapi juga tanggung jawab dan komitmen kolektif. Apalagi, dalam pagelaran itu, saya tidak hanya menjadi sutradara, tetapi juga turut berperan menjadi salah satu pemain, yaitu memerankan tokoh Laksmana. Tentu, situasi ini tidaklah mudah sebab menuntut keseimbangan antara kendali keseluruhan pagelaran dan juga keterlibatan emosional saya pribadi sebagai salah satu aktor. Puji syukur, pementasan tersebut berjalan sukses. Penonton memenuhi Graha Cakrawala, dan energi yang mengalir dari panggung ke kursi penonton terasa begitu hidup.
Tahun 2025 ini, tanggung
jawab serupa kembali datang—kali ini dalam bentuk Sendratari Mahabharata. Saya pribadi patut bersyukur sebab lembaga tempat saya bernaung ini memberi ruang yang leluasa kepada warganya untuk berkreasi dan berkolaborasi bersama. Sejak
awal, saya tahu tantangan yang akan dihadapi berbeda. Saya memutuskan untuk mengajak
Prof. Aji Prasetya Wibawa dari Fakultas Teknik untuk menulis naskah. Saya
percaya kekuatan cerita akan menjadi jiwa dari keseluruhan pementasan. Menurut
saya, Prof. Aji yang seorang dalang dan memahami cerita Mahabharata, tentu akan
sangat pas untuk menggarap naskah. Kolaborasi itu berjalan hangat dan penuh
diskusi, hingga akhirnya terbentuk kisah Mahabharata versi kami—sebuah tafsir
tentang kebijaksanaan, perjuangan, dan keikhlasan. Dalam produksi ini, saya
kembali tidak hanya menyutradarai, tetapi juga berperan sebagai Ekalaya, sosok
yang teguh dalam kesetiaan dan pengorbanan—karakter yang secara tak terduga
mencerminkan perjalanan batin saya sendiri di tengah proses kreatif yang
panjang ini. Tokoh Ekalaya di mata saya adalah
salah satu karakter yang penuh makna. Ekalaya mengajarkan saya tentang
ketulusan belajar, dedikasi, dan kesetiaan pada nilai yang diyakini. Dalam
proses mendalami peran, saya seperti berdialog dengan diri sendiri tentang arti
pengorbanan dalam berkarya. Sosok Ekalaya menjadi cermin yang membantu saya
memahami peran seorang pelaku seni sekaligus pendidik.
Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Di tengah proses produksi, kami kehilangan sosok penting—Bapak Hartono, penata iringan yang juga menjadi bagian berharga dari kesuksesan Ramayana tahun sebelumnya. Kepergian beliau meninggalkan duka yang mendalam bagi kami semua. Di saat yang sama, proses harus terus berjalan. Posisi penata iringan akhirnya diganti oleh Mas M. Ilham Isniawan, yang dengan kepekaan dan dedikasinya berhasil menjaga semangat musikal pagelaran. Meski secara pribadi saya baru kenal Mas Ilham, tetapi alhamdulillah, kami tidak butuh waktu lama untuk saling beradaptasi dalam berkarya. Kepergian Pak Har mengajarkan kami bahwa seni bukan hanya soal karya, melainkan juga tentang kebersamaan dan keberlanjutan jiwa dari mereka yang telah lebih dulu berkontribusi.
Tantangan lain yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan tahun 2024 adalah fakta bahwa sebagian besar dari kami bukanlah penari profesional. Kami adalah dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan juga para pimpinan universitas yang memiliki kesibukan masing-masing. Menyatukan semua jadwal, menjaga semangat latihan, dan memastikan kualitas keseluruhan tetap terjaga bukan perkara mudah. Namun, justru di sanalah letak keindahannya. Setiap latihan menjadi ruang perjumpaan—antara lelah dan tawa, antara koreksi dan apresiasi. Kami belajar bahwa seni adalah proses membangun keselarasan, bukan hanya di atas panggung, melainkan juga dalam hati masing-masing kami yang terlibat. Kadang, keharuan menyeruak di hati saya. Sejatinya, banyak sekali potensi di kampus UM ini yang jika disinergikan menjadi satu, akan lahir sebuah karya besar yang berkualitas. Beliau-beliau dengan antusias merelakan waktu dan tenaga untuk terlibat secara langsung. Para pimpinan pun senantiasa memebri arahan dan dukungan penuh.
Sabtu malam, 18 Oktober 2025, di Graha Cakrawala menjadi puncak dari segala usaha itu. Ketika para penonton mulai masuk gedung dan mengisi ribuan kursi di Graha Cakarawala, semua ketegangan seolah berubah lega. Saat lampu-lampu panggung menyala dan musik gamelan Jawa mengalun, seluruh kelelahan seperti
luruh seketika. Pementasan berlangsung mengalir, dialog mengikat emosi
penonton, dan kisah Mahabharata Widya Kalpika hidup dengan kuat di mata
mereka. Setelah adegan akhir selesai, tepuk tangan menggema—bukan hanya untuk
para pemain maupun pengiring, melainkan untuk semangat kolektif yang tak pernah padam. Banyak yang
mengatakan bahwa tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, terutama karena
narasi dan dialog membuat kisah lebih mudah diikuti secara emosional. Bagi
saya, itu adalah bukti bahwa seni tak pernah statis—ia tumbuh bersama jiwa
orang-orang yang mencintainya.
Kini, ketika semua telah usai, saya memandang kembali perjalanan itu dengan rasa haru dan syukur. Banyak respon positif yang kami terima, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Banyak konten di medsos yang menyatakan kebanggaan mereka terhadap UM. Cerdas, langkah UM menggelar pagelaran ini tentulah langkah strategis yang sudah seyogianya diapresiasi. Menggelar konser musik misalnya, bisa jadi banyak lembaga yang bisa melakukannya, termasuk kampus. Namun, pagelaran sendratari, di era modernitas saat ini, apalagi dimainkan oleh berbagai elemen di kampus sendiri, tentu tidak semua bisa atau mau melakukannya. Dari sudut pandang kehumasan, ini tentu memberi dampak positif dan promotif dalam jangka panjang kepada masyarakat luas.
Dari Ramayana hingga Mahabharata, dari Laksmana hingga Ekalaya,
saya belajar bahwa menjadi sutradara bukan sekadar mengatur adegan, melainkan merawat ruh kebersamaan dan makna di balik setiap langkah di panggung.
Sendratari Mahabharata Widya Kalpika bukan hanya karya, melainkan cermin
kehidupan—tentang kehilangan, harapan, dan keyakinan bahwa setiap gerak,
sekecil apa pun, memiliki arti dalam perjalanan menuju kebijaksanaan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, baik secara langsung maupun tidak, atas kesuksesan pagelaran dua tahun berturut ini. Semoga kita senantiasa mengedepankan kekompakan dan kebersamaan, yang pada akhirnya akan mengharumkan almamater kita, UM tercinta.
Matur nuwun, UM.
💗