Tulisan mahasiswa yang berisi ide cemerlang sudah selayaknya menghiasi media massa. Jangan sampai, media massa banyak memberitakan tentang mahasiswa tetapi dalam wajah lain : mahasiswa pesta narkoba, mahasiswa tawuran, dan hal-hal negatif lain yang kontradiktif dengan predikat yang melekat pada diri mahasiswa.
Menulis itu mencerdaskan. Seseorang yang menulis, apapun jenis
tulisan itu, berarti dia sudah melakukan serangkaian kegiatan
pembelajaran. Melakukan proses pembacaan untuk mendapat materi tulisan
yang akan ditulis. Proses pembacaan itu bisa berarti membaca dalam arti
sebenarnya, yaitu membaca buku-buku referensi, koran, majalah, atau
data-data dari sumber lain. Bisa juga membaca fenomena di masayarakat.
Realita di sekitar dapat menjadi inspirasi tulisan. Menulis adalah
mengasah kecerdasan intelegensia sekaligus kepekaan.
Selain memberi efek mencerdaskan, menulis jadi sarana pelepasan
emosi. Apa yang ada di benak, jika tidak dikeluarkan akan membuat penat.
Mekanisme pengeluaran itu bisa dengan lisan atau tulisan. Rasanya
sayang, kalau ide yang bertebaran di pikiran hanya dipendam, padahal
jika ditulis dan dipublikasikan kepada khalayak akan memberi informasi
dan inspirasi positif.
Pelepasan emosi dengan menulis tentu memberi manfaat ganda : kepada
penulis sendiri dan pembaca. Agar ide-ide cemerlang seorang penulis bisa
dinikmati kalangan luas, membutuhkan sarana memublikasikan tulisan itu.
Salah satu yang efektif adalah media massa. Media massa, apapun
jenisnya, senantiasa berinteraksi langsung dengan masyarakat. Beragam
informasi dari masyarakat akan diinformasikan kembali kepada masyarakat
yang lebih luas.
Sudah selayaknya keberadaan media massa tidak terpisahkan dengan
kehidupan masyarakat di era global sekarang ini. Informasi menjadi
kebutuhan penting bagi masyarakat di zaman penuh kompetisi dan sangat
dinamis. Tidak saja berupa rekaman peristiwa yang hangat terjadi, media
massa berisikan pengayaan pemikiran, sumbang pendapat, ajang
mempromosikan usaha, dan tidak lupa juga berisi anekahiburan. Tulisan di
media massa tidak hanya berasal dari redaksi pengasuh media, tapi bisa
berasal dari kiriman pembacanya.
Salah satu bagian masyarakat yang potensial untuk produktif
menghasilkan tulisan adalah pemuda, khususnya mahasiswa. Mahasiswa
setiap harinya akrab dengan dunia ilmu pengetahuan. Mahasiswa senantiasa
berkutat dengan proses pembelajaran : membaca dan menulis. Cukup
beralasan, tingkat kecerdasan intelegensia dan kepekaan terhadap
fenomena sosial budaya di sekeliling mahasiwa lebih tinggi jika
dibandingkan masyarakat awam.
Gagasan hasil dari interaksi dengan dunia akademik yang intens sangat
sayang bila tidak dibagi untuk kalangan luas. Sebagai bagian dari
masyarakat, mahasiswa punya tingkat kepekaan lebih karena bekal ilmu
yang didapat dari kampus sudah seharusnya diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Ilmu bukan lagi eklusivitas dalam kehidupan kampus.
Sangat logis jika kecerdasan suatu bangsa tergantung dengan tingkat
kecerdasan (baca pendidikan) dari warga negaranya.
Mahasiswa dan media massa adalah dua bagian yang saling membutuhkan.
Mahasiswa perlu beragam informasi yang tersaji di media massa, butuh
ruang bagi publikasi ide-ide yang dimilikinya, atau ruang untuk
mengungkapkan reaksi terhadap informasi yang ada di media massa.
Sebaliknya, informasi yang disajikan media massa akan lebih kaya jika
diramaikan oleh pemikiran-pemikian kaum intelektual calon pemimpin
bangsa ini. Fakta sejarah menunjukkan, mahasiswa selalu tidak bisa
dipisahkan terhadap setiap perubahan di dalam suatu bangsa, termasuk
Indonesia. Dengan kekritisannya, mahasiswa siap bergerak jika melihat
penindasan dan ketidakadilan. Mahasiswa termasuk agent of change.
Kekritisan mahasiswa itu, salah satunya tertuang lewat tulisan di media
massa.
Masalahnya, sekarang ini bisa dikatakan tidak cukup berimbang ruang
yang diberikan media massa, khususnya media cetak, dengan kebutuhan para
mahasiswa untuk mengekspresikan ide-idenya lewat tulisan. Bisa kita
lihat, berapa banyak media massa yang lebih menitikberatkan pada faktor
hiburan yang lebih banyak berisi berita para selebriti jika dibandingkan
dengan jumlah media massa yang berisi informasi yang bersifat akademis.
Memang, tetap ada media massa yang cukup berimbang dalam menyuguhkan
sajian informasi : tetap memberi ruang hiburan, tapi tetap memberi porsi
sumbang pendapat dari pembacanya. Namun, sekali lagi dalam jumlah
kuantitas bisa dikatakan masih kurang. Salah satu media massa yang
memberi ruang bagi aspirasi para mahasiswa adalah Harian Surya dengan
rubrik Warteg. Meski tidak mengkhususkan bagi mahasiswa namun yang
berpartisipasi aktif dalam rubrik ini didominasi para mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang merasa kesulitan untuk menembus media massa.
Wajar, media massa menyeleksi setiap naskah yang masuk, tidak asal
memuat. Selalu gagal mengirim tulisan ke media, tidak sedikit para
mahasiswa yang akhirnya putus asa dan mengikuti arus lain : menjauhkan
diri dari aktivitas menulis. Mahasiswa memilih budaya lihat dan dengar
daripada budaya baca tulis.
Ada dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, sudahkah media massa
memberi ruang bagi para mahasiswa untuk berinteraksi timbal balik. Cukup
beralasan jika mahasiswa mendapat tempat di media massa. Kedua, bagi
mahasiswa, agar lebih menyadari kedudukan sebagai kaum pemikir Jangan
sampai gelar mahasiswa berhenti pada status. Mahasiswa dituntut proaktif
dengan fenomena yang banyak terekam di media massa.
Tulisan mahasiswa yang berisi ide cemerlang sudah selayaknya
menghiasi media massa. Jangan sampai, media massa banyak memberitakan
tentang mahasiswa tetapi dalam wajah lain : mahasiswa pesta narkoba,
mahasiswa tawuran, dan hal-hal negatif lain yang kontradiktif dengan
predikat yang melekat pada diri mahasiswa. (Sumber: Surya, 23 Mei 2009).

Jempol....makasih ilmunya Pak
BalasHapus