Sabtu, 19 Oktober 2024

Sebab Cinta yang Menggerakkan, Sebab Cinta yang Membuat Semua Menjadi Mungkin

 Catatan Atas Pagelaran Sendratari Ramayana

dalam Rangkaian Gebyar Lustrum XIV dan Dies Natalis ke-70

Universitas Negeri Malang Tahun 2024



     Pertama kali saya mengetahui tentang rencana Pagelaran Sendratari Ramayana adalah dari Bu Evynurul Laely Zein, Wakil Dekan 1 Fakultas Sastra (FS) Universitas Negeri Malang (UM). Kak Lely, begitu beliau biasa saya sapa, menyampaikan hal tersebut usai menyaksikan pagelaran Sendratari Prasetya Ekalaya yang digelar di Aula AVA FS dalam rangkaian Navastra Sambut Semester Gasal 2024. Sendratari tersebut dimainkan oleh 6 dosen FS dan dibantu beberapa mahasiswa untuk penari bedayan. Kisah Ekalaya, Arjuna, dan Resi Durna yang kami tampilkan, barangkali memikat hati para penonton, termasuk Kak Lely, hingga beliau terinspirasi untuk menggelar hal yang sama (Sendratari) dalam acara Lustrum, yang tahun ini diketuai oleh Kak Lely itu sendiri.

Singkat cerita, saya, Kak Lely, dan Bu Maya (Maria Hidayati) yang juga salah satu panitia Lustrum, mengadakan rapat kecil terkait rencana ini, sebelum nanti disampaikan ke seluruh panitia atau ke Rapim UM. Koordinasi kecil ini, menghasilkan keputusan bahwa cerita yang diangkat adalah Ramayana. Salah satu pertimbangannya sebab cerita ini lebih familiar di kalangan masyarakat luas. Bisa jadi, salah satu sebabnya barangkali lagu Anoman Obong yang sedikit banyak berisi cerita Ramayana. Kami juga mengajak Bu Tri Wahyuningtyas dan Pak Hartono untuk terlibat dalam rencana pagelaran sendratari ini. Beliau berdua adalah dosen Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM) FS UM yang memang sangat kompeten di bidang tari dan karawitan dan juga sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan kesenian di UM.

Saya mendapat kabar jika rencana pagelaran sendratari ini disetujui untuk digelar. Salah satu catatannya adalah pemainnya harus melibatkan anggota Rapim UM. Saya pun mendapat data seluruh anggota Rapim UM. Jajaran pejabat di Rapim UM itu banyak yang belum saya kenal, paling hanya tahu nama. Hingga, saya tidak tahu kapasitas beliau-beliau ini dalam menari. Namun, saya sedikit lega bahwa tetap boleh mengajak para dosen lain, tendik, atau mahasiswa untuk peran-peran lain. Hal ini cukup melegakan sebab para anggota Rapim UM tentu sangat sibuk dan akan sulit mencari waktu untuk berlatih. Jika peran-peran utama diberikan pada anggota Rapim, tentu ini sebuah tantangan tersendiri. Selanjutnya, saya berusaha ngutak atik, pembagian peran yang saya sesuaikan dengan kebutuhan cerita.

Hal pertama yang saya lakukan adalah menyusun skenario. Saya buat konsep skenario adalah pagelaran sendratari tanpa dialog. Jika sudah pernah melihat Sendratari Ramayana di Prambanan, konsepnya sama dengan itu. Semua cerita disampaikan dalam gerakan tari, tanpa dialog dari para pemain. Paling ada dalang atau sindhen di beberapa adegan untuk mempertegas adegan atau suasana melalui iringan gamelan yang ada tembangnya. Konsep ini menguntungkan dari proses latihan sebab pemain tidak perlu menghafalkan dialog dan durasi pementasan bisa lebih ringkas jika tanpa dialog. Namun, tantangannya adalah bagaimana cerita bisa mudah diterima oleh penonton jika hanya dalam rangkaian gerak tari. Dalam proses casting, saya berdikusi dengan Bu Tri dan juga Bu Febrita dari FIK. Pertimbangan pemain tidak sekadar dari satu orang biar terhindar dari subjektivitas. Secara umum, kami cocok dengan komposisi casting pemain ini. Selanjutnya, perlu kepastian langsung kepada para dosen atau tendik yang kami pasang ke peran tertentu.


Waktu yang disedikan untuk proses pagelaran sendratari ini sebenarnya bisa dikatakan cukup, sekitar tiga bulan. Namun, faktanya tidak mudah untuk mengeksekusinya. Bisa dikata, proses dari mulai berlatih gerak hingga iringan dan hari H pementasan, sekitar satu bulan. Seperti yang sudah saya prediksi, aktivitas para pemain yang beragam dan sangat padat adalah tantangan tersendiri. Beberapa kali terjadi bongkar pasang posisi pemain sebab banyak hal yang terjadi. Sekali ini, sebuah proses produksi karya, apa pun itu, masing-masing memiliki tantangan tersendiri. Saya sudah terbiasa merasai hal ini. Jadi, senantiasa berusaha santai dan yakin bahwa nanti akan aman-aman saja. Sebagai seorang yang diamanahi untuk menajdi sutradara, sejatinya ini bukan hal baru. Terlibat di produksi pementasan di kampus sudah beberapa kali. Demikian juga di produksi film. Namun, kali ini berbeda. Sebagian besar pemain adalah dosen dan pejabat. Diperlukan strategi tersendiri agar semua bisa berjalan dengan baik, terutama dalam hal waktu untuk berlatih.



        Kembali pada pergantian pemain yang hingga hari H pun masih terjadi, hehe. Misalnya, pemeran Anoman di tengah perjalanan mengundurkan diri sebab alasan kesehatan yang sangat bisa dimaklumi. Saya memutar otak, mencari pengganti. Syukur alhamdulillah, Pak Robby Hidayat, bersedia menjadi Anoman setelah sedikit saya rayu-rayu. Saya salut dan kagum dengan kesungguhan dan kerendahhatian beliau. Beliau dosen senior, usia di atas 60 tahun, dan baru saja meraih Guru Besar. Saya jujur juga sangsi saat meminta beliau untuk menjadi Anoman. Bukan soal kompetensi, melainkan terkait usia sebab Anoman tentu banyak gerak lincah yang tidak mudah dilakukan. Namun sekali lagi, saya banyak belajar pada beliau. Beliau tidak banyak bicara, tetapi memberi pelajaran bagi saya tentang kedisiplinan dan profesionalitas. Gerakan lincah beliau dan ide-ide gerakan akrobatik membuat pagelaran semakin indah. Pergantian pemain juga terjadi pada tokoh lelaki tua jelmaan Rahwana. Peran ini awalnya diperankan oleh Prof. Munjin, WR III. Namun, saat latihan, beliau tidak hadir sebab ada acara lain. Lalu, peran tersebut diganti ke Prof. Markus Diantoro. Prof. Munjin bergeser ke peran Raja Peserta Sayembara. Ringkasnya, pergantian-pergantian terjadi bahkan menjelang hari H. Peran penting yang juga mengalami pergantian adalah Rahwana. Alhamdulillah, Prof. Aji dengan ringan menyatakan jika sanggup menjadi Rahwana, tukar dengan Prof. Dasna yang akhirnya memerankan Kumbakarna. Prof. Aji sangat bersemangat berlatih dan dengan bekal beliau sebagai dalang, tentu sangat membantu beliau dalam memerankan Rahwana.

Saya belajar untuk tetap tenang dan yakin. Meski jujur, kalau menggunakan standar proses sebuah produksi pageleran sebelum-sebelumnya, ini jauh dari standar tersebut. Beberapa orang menyarakan saya untuk mengambil sikap, misalnya jika ada pemeran yang saat gladi kotor tidak datang, apa langsung diganti saja. Namun, saya tidak melakukannya. Saya memiliki keyakinan bahwa masing-masing pemain pasti memiliki tanggung jawab dan profesionalisme dalam kadar masing-masing. Jika memang tidak bisa datang latihan dengan maksimal, mereka pasti akan berusaha berlatih mandiri, entah dari video rekaman saat latihan sebelumnya atau dari pranala youtube yang kami bagi di grup. Maka, Keputusan akhir untuk ikut terlibat atau tidak, saya serahkan pada para pemain sendiri. Ada yang memutuskan tidak ikut sebab ada kendala anak sakit, ada yang beliau sendiri sakit, dan lainnya. Semua keputusan kembali pada para pemain sendiri.


Bagi saya, tugas utama sutradara bukan sekadar memastikan karya akan selesai dan bagus. Tugas sutradara yang sangat penting juga adalah bagaimana memastikan keseluruhan proses berjalan nyaman, semua merasa bahagia dan suasana tetap menyenangkan. Kekurangan di sana sini bagaimana harus disikapi dengan kepala dingin dan sembari cerdas memikirkan berbagai solusi. Kadang, tidak semua anggota proses produksi pagelaran bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini sengaja diciptakan untuk menjaga stabilitas agar semua tetap berlangsung nyaman, tetapi semua bisa selesai. Proses kali ini sangat mengajari saya untuk lebih-lebih lembah manah dan untuk selalu belajar dewasa dengan kejutan-kejutan yang terjadi. Biasanya, saya lebih banyak berproses dengan mahasiswa. Relasi dosen-mahasiswa barangkali bisa menbuat mahasiswa untuk lebih serius sebab mungkin sungkan dengan dosen. Sementara kali ini, tentu bukan soal sungkan, tetapi aktivitas lain yang sama-sama penting adalah salah satu kendala yang perlu disiasati.

Jika beberapa hal ini saya ceritakan, bukan untuk validasi atas yang sudah saya lakukan. Namun, lebih kepada mengambil hikmah kebaikan, agar untuk proses-proses selanjutnya bisa lebih keren lagi. Atau untuk para mahasiswa yang akan memulai sebuah proses produksi, agar tidak kaget dan bahwa lika-liku sebuah proses itu ya begini. Dan tentu, masing-masing proses punya dinamika tersendiri. Kadang, kita memang harus melakukan hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawab kita. Hal-hal seperti itu sangat lumrah untuk dilakukan agar hal-hal yang harus dilakukan dan diantisipasi tidak lepas dan akhirnya semua terakomodasi. Bahwa pagelaran ini ada panitia, tentu saja. Namun, panitia di saat yang sama masih mengurusi rangkaian kegiatan lain. Wajar jika kadang ada hal-hal yang belum terkeksekusi dengan maksimal. Namun, panitia Lustrum XIV ini keren, sangat mendukung, dan koordinatif. Jika ada kurang, itu hal biasa. Yang utama adalah komunikasi.

Menjelang hari H, saya sempat ketar ketir. Pak Hartono menyampaikan, kapasitas Graha Cakrawala sekitar 6000 an, kalau hanya 1000 an penontonya, tidak akan terlihat kalau ada penonton. Hal tersebut disampaikan saat melihat angka calon pendaftar yang mengisi G form pendaftaran. Ketar ketir saya berubah saat semakin dekat hari H. Pendaftar yang mengisi form 4000 an. Ketar ketir saya bukan soal jumlah penonton, tetapi kalau ada ribuan penonton, tetapi sajian karya belum maksimal bagaimana. Bahkan, saat gladi bersih pun, ada beberapa pemain yang tidak hadir. Ada juga adegan yang belum pernah dicoba dengan iringan. Gladi bersih kan harusnya sekali tampil, apa pun yang terjadi, ya sudah ya. Ini tidak, hihi, gladi bersih belum berjalan maksimal sebab perlu mengulang beberapa adegan agar lebih maksimal. Saya, Bu Tri, dan Pak Hartono, memastikan beberapa adegan yang belum fiks. Ya alhamdulillah, kami memiliki beberapa antisipasi, salah satunya, musik yang mengikuti aktivitas di panggung, hehe. Jika kondisi panggung salah, ya musik menyesuaikan. Pilihan bijak dari Pak Hartono saat beliau menyepakati hal tersebut. Saya salut dengan profesionalitas dan kesungguhan beliau. Meski durasi latihan tidak panjang, beliau tetap menyiapkan sajian musik yang tertata dan begitu keren. Sekadar info, yang paling malam pulang selesai latihan adalah Pak Hartono. Matur nuwun sanget Pak Har.

Saat pementasan, kejutan terjadi. Graha Cakrawala penuh penonton. Di Google Form, saya lihat ada 4800 an yang mengisi. Bisa jadi, sebab hanya bisa mengisi satu kali, ada beebrapa teman atau anggota keluarga yang datang tetapi belum mengisi form. Maka, kapasitas Graha Cakrawala yang sekitar 6000 an itu bisa tersisi penuh. Semua urutan proses acara berjalan lancar. Secara umum, tampilan pertunjukkan lancer dan keren. Banyak adegan yang justru jauh lebih bagus jika dibanding latihan. Ini semakin menguatkan saya, bahwa yakin dan selalu berpikir positif akan menghasilkan hal yang positif juga. Saya yakin, para pemain yang sebelumnya bisa jadi belum bisa berlatih maksimal sebab kesibukan, pada hari H akan bertanggung jawab dengan maksimal menampilkan potensi yang dimiliki. Alhamdulillah, pagelaran lancer, teknis secara umum lancer. Baik pemain, pengirin, maupun penontong merasa lega.


Satu hal, penonton sebanyak itu bisa tenang menyimak keseluruhan pagelaran. Di beberapa adegan, penonton menujukkan ekspresi suara mengikuti jalan cerita. Misal saat Rama memenangkan sayembara, ikut bersorak, saat Jatayu dibunuh Rahwana, penonton ikut terkejut dan teriak. Atau tawa membahana saat adegan Emban. Meski saya yakin, tidak semua bisa leluasa jelas menyimak jalan cerita, tetapi sajian ini masih bisa dinikmati dari keindahan koreografi dan komposisi iringannya. Tata lampu, riaa busana, tata artistik, dan videotron pun turut mendukung keindahan pagelaran ini.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak yang sudah memberi kesempatan merasai pengalaman berharga ini. Seluruh Jajaran Rapim UM yang menyetujui dan mendukung ide pagelaran ini, Kak Lely dan jajaran panitia Lustrum yang sangat mendukung dan melayani. Semua pemain dan pengiring yang sudah memberikan kemampuan yang dimiliki sepenuh cinta. Penghargaan setingginya untuk semua pendukung. Dalam beberapa kesempatan, haru saya menyeruak saat melihat para pejabat itu berusaha menyempatkan waktu di sela-sela aktivitas yang sangat padat. Ada yang meminta ke saya berlatih privat atau direkam. Ini bukti bahwa beliau-beliau ini berusaha maksimal dan profesional. Saya juga memohon maaf yang sebesarnya apabila banyak hal yang kurang berkenan selama proses berlangsung.



Alhamdulillah, kolaborasi dan sinergi ini membuktikan kepada kita bahwa UM memiliki talenta-talenta yang jika disatukan dalam sebuah karya, akan menghasilkan karya yang istimewa. Masing-masing potensi bukanlah ancaman bagi satu dan yang lainnya, tetapi justru sebuah entitas yang potensial untuk dikolaborasikan. Semu aini terasa indah, sebab cintalah yang menggerakkan kita. Sebab cinta kita pada almamater yang membuat kita rela melawan rasa ‘malu’ kita untuk mau pentas, dan sebagainya. Semua pengorbanan semoga mendapat balasan yang indah. Semoga proses ini bukan yang pertama dan yang terakhir. Kepada Allah kita berserah diri dan kembali.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

The Short Story in The 21st Century

TJERITA AND NOVEL LITERARY DISCOURSE IN POST NEW  ORDER INDONESIA By Stefan Danerek Centre for Languages and Literature Lund Unive...