Catatan Atas Pagelaran Sendratari Ramayana
dalam Rangkaian
Gebyar Lustrum XIV dan Dies Natalis ke-70
Universitas
Negeri Malang Tahun 2024
Pertama
kali saya mengetahui tentang rencana Pagelaran Sendratari Ramayana adalah dari
Bu Evynurul Laely Zein, Wakil Dekan 1 Fakultas Sastra (FS) Universitas Negeri
Malang (UM). Kak Lely, begitu beliau biasa saya sapa, menyampaikan hal tersebut
usai menyaksikan pagelaran Sendratari Prasetya Ekalaya yang digelar di Aula
AVA FS dalam rangkaian Navastra Sambut Semester Gasal 2024. Sendratari
tersebut dimainkan oleh 6 dosen FS dan dibantu beberapa mahasiswa untuk penari
bedayan. Kisah Ekalaya, Arjuna, dan Resi Durna yang kami tampilkan, barangkali
memikat hati para penonton, termasuk Kak Lely, hingga beliau terinspirasi untuk
menggelar hal yang sama (Sendratari) dalam acara Lustrum, yang tahun ini
diketuai oleh Kak Lely itu sendiri.
Singkat
cerita, saya, Kak Lely, dan Bu Maya (Maria Hidayati) yang juga salah satu
panitia Lustrum, mengadakan rapat kecil terkait rencana ini, sebelum nanti
disampaikan ke seluruh panitia atau ke Rapim UM. Koordinasi kecil ini,
menghasilkan keputusan bahwa cerita yang diangkat adalah Ramayana. Salah satu
pertimbangannya sebab cerita ini lebih familiar di kalangan masyarakat luas. Bisa
jadi, salah satu sebabnya barangkali lagu Anoman Obong yang sedikit
banyak berisi cerita Ramayana. Kami juga mengajak Bu Tri Wahyuningtyas dan Pak
Hartono untuk terlibat dalam rencana pagelaran sendratari ini. Beliau berdua
adalah dosen Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM) FS UM yang memang
sangat kompeten di bidang tari dan karawitan dan juga sering terlibat dalam
kegiatan-kegiatan kesenian di UM.
Saya
mendapat kabar jika rencana pagelaran sendratari ini disetujui untuk digelar.
Salah satu catatannya adalah pemainnya harus melibatkan anggota Rapim UM. Saya
pun mendapat data seluruh anggota Rapim UM. Jajaran pejabat di Rapim UM itu banyak
yang belum saya kenal, paling hanya tahu nama. Hingga, saya tidak tahu
kapasitas beliau-beliau ini dalam menari. Namun, saya sedikit lega bahwa tetap boleh
mengajak para dosen lain, tendik, atau mahasiswa untuk peran-peran lain. Hal
ini cukup melegakan sebab para anggota Rapim UM tentu sangat sibuk dan akan
sulit mencari waktu untuk berlatih. Jika peran-peran utama diberikan pada
anggota Rapim, tentu ini sebuah tantangan tersendiri. Selanjutnya, saya
berusaha ngutak atik, pembagian peran yang saya sesuaikan dengan kebutuhan
cerita.
Hal pertama
yang saya lakukan adalah menyusun skenario. Saya buat konsep skenario adalah
pagelaran sendratari tanpa dialog. Jika sudah pernah melihat Sendratari Ramayana
di Prambanan, konsepnya sama dengan itu. Semua cerita disampaikan dalam gerakan
tari, tanpa dialog dari para pemain. Paling ada dalang atau sindhen di beberapa
adegan untuk mempertegas adegan atau suasana melalui iringan gamelan yang ada
tembangnya. Konsep ini menguntungkan dari proses latihan sebab pemain tidak
perlu menghafalkan dialog dan durasi pementasan bisa lebih ringkas jika tanpa
dialog. Namun, tantangannya adalah bagaimana cerita bisa mudah diterima oleh
penonton jika hanya dalam rangkaian gerak tari. Dalam proses casting, saya
berdikusi dengan Bu Tri dan juga Bu Febrita dari FIK. Pertimbangan pemain tidak
sekadar dari satu orang biar terhindar dari subjektivitas. Secara umum, kami
cocok dengan komposisi casting pemain ini. Selanjutnya, perlu kepastian
langsung kepada para dosen atau tendik yang kami pasang ke peran tertentu.
Waktu
yang disedikan untuk proses pagelaran sendratari ini sebenarnya bisa dikatakan
cukup, sekitar tiga bulan. Namun, faktanya tidak mudah untuk mengeksekusinya.
Bisa dikata, proses dari mulai berlatih gerak hingga iringan dan hari H
pementasan, sekitar satu bulan. Seperti yang sudah saya prediksi, aktivitas
para pemain yang beragam dan sangat padat adalah tantangan tersendiri. Beberapa
kali terjadi bongkar pasang posisi pemain sebab banyak hal yang terjadi. Sekali
ini, sebuah proses produksi karya, apa pun itu, masing-masing memiliki
tantangan tersendiri. Saya sudah terbiasa merasai hal ini. Jadi, senantiasa
berusaha santai dan yakin bahwa nanti akan aman-aman saja. Sebagai seorang yang
diamanahi untuk menajdi sutradara, sejatinya ini bukan hal baru. Terlibat di
produksi pementasan di kampus sudah beberapa kali. Demikian juga di produksi
film. Namun, kali ini berbeda. Sebagian besar pemain adalah dosen dan pejabat.
Diperlukan strategi tersendiri agar semua bisa berjalan dengan baik, terutama
dalam hal waktu untuk berlatih.

Kembali pada pergantian pemain yang hingga
hari H pun masih terjadi, hehe. Misalnya, pemeran Anoman di tengah perjalanan
mengundurkan diri sebab alasan kesehatan yang sangat bisa dimaklumi. Saya
memutar otak, mencari pengganti. Syukur alhamdulillah, Pak Robby Hidayat,
bersedia menjadi Anoman setelah sedikit saya rayu-rayu. Saya salut dan kagum
dengan kesungguhan dan kerendahhatian beliau. Beliau dosen senior, usia di atas
60 tahun, dan baru saja meraih Guru Besar. Saya jujur juga sangsi saat meminta
beliau untuk menjadi Anoman. Bukan soal kompetensi, melainkan terkait usia
sebab Anoman tentu banyak gerak lincah yang tidak mudah dilakukan. Namun sekali
lagi, saya banyak belajar pada beliau. Beliau tidak banyak bicara, tetapi
memberi pelajaran bagi saya tentang kedisiplinan dan profesionalitas. Gerakan
lincah beliau dan ide-ide gerakan akrobatik membuat pagelaran semakin indah. Pergantian
pemain juga terjadi pada tokoh lelaki tua jelmaan Rahwana. Peran ini awalnya
diperankan oleh Prof. Munjin, WR III. Namun, saat latihan, beliau tidak hadir
sebab ada acara lain. Lalu, peran tersebut diganti ke Prof. Markus Diantoro. Prof.
Munjin bergeser ke peran Raja Peserta Sayembara. Ringkasnya,
pergantian-pergantian terjadi bahkan menjelang hari H. Peran penting yang juga
mengalami pergantian adalah Rahwana. Alhamdulillah, Prof. Aji dengan ringan menyatakan
jika sanggup menjadi Rahwana, tukar dengan Prof. Dasna yang akhirnya memerankan
Kumbakarna. Prof. Aji sangat bersemangat berlatih dan dengan bekal beliau
sebagai dalang, tentu sangat membantu beliau dalam memerankan Rahwana.
Saya
belajar untuk tetap tenang dan yakin. Meski jujur, kalau menggunakan standar
proses sebuah produksi pageleran sebelum-sebelumnya, ini jauh dari standar
tersebut. Beberapa orang menyarakan saya untuk mengambil sikap, misalnya jika
ada pemeran yang saat gladi kotor tidak datang, apa langsung diganti saja. Namun,
saya tidak melakukannya. Saya memiliki keyakinan bahwa masing-masing pemain
pasti memiliki tanggung jawab dan profesionalisme dalam kadar masing-masing. Jika
memang tidak bisa datang latihan dengan maksimal, mereka pasti akan berusaha
berlatih mandiri, entah dari video rekaman saat latihan sebelumnya atau dari pranala
youtube yang kami bagi di grup. Maka, Keputusan akhir untuk ikut terlibat atau
tidak, saya serahkan pada para pemain sendiri. Ada yang memutuskan tidak ikut
sebab ada kendala anak sakit, ada yang beliau sendiri sakit, dan lainnya. Semua
keputusan kembali pada para pemain sendiri.

Bagi
saya, tugas utama sutradara bukan sekadar memastikan karya akan selesai dan
bagus. Tugas sutradara yang sangat penting juga adalah bagaimana memastikan keseluruhan
proses berjalan nyaman, semua merasa bahagia dan suasana tetap menyenangkan.
Kekurangan di sana sini bagaimana harus disikapi dengan kepala dingin dan
sembari cerdas memikirkan berbagai solusi. Kadang, tidak semua anggota proses
produksi pagelaran bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini sengaja
diciptakan untuk menjaga stabilitas agar semua tetap berlangsung nyaman, tetapi
semua bisa selesai. Proses kali ini sangat mengajari saya untuk lebih-lebih lembah
manah dan untuk selalu belajar dewasa dengan kejutan-kejutan yang terjadi.
Biasanya, saya lebih banyak berproses dengan mahasiswa. Relasi dosen-mahasiswa
barangkali bisa menbuat mahasiswa untuk lebih serius sebab mungkin sungkan
dengan dosen. Sementara kali ini, tentu bukan soal sungkan, tetapi aktivitas
lain yang sama-sama penting adalah salah satu kendala yang perlu disiasati.
Jika
beberapa hal ini saya ceritakan, bukan untuk validasi atas yang sudah saya
lakukan. Namun, lebih kepada mengambil hikmah kebaikan, agar untuk proses-proses
selanjutnya bisa lebih keren lagi. Atau untuk para mahasiswa yang akan memulai
sebuah proses produksi, agar tidak kaget dan bahwa lika-liku sebuah proses itu
ya begini. Dan tentu, masing-masing proses punya dinamika tersendiri. Kadang,
kita memang harus melakukan hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawab kita.
Hal-hal seperti itu sangat lumrah untuk dilakukan agar hal-hal yang harus
dilakukan dan diantisipasi tidak lepas dan akhirnya semua terakomodasi. Bahwa
pagelaran ini ada panitia, tentu saja. Namun, panitia di saat yang sama masih
mengurusi rangkaian kegiatan lain. Wajar jika kadang ada hal-hal yang belum
terkeksekusi dengan maksimal. Namun, panitia Lustrum XIV ini keren, sangat
mendukung, dan koordinatif. Jika ada kurang, itu hal biasa. Yang utama adalah
komunikasi.
Menjelang
hari H, saya sempat ketar ketir. Pak Hartono menyampaikan, kapasitas Graha Cakrawala
sekitar 6000 an, kalau hanya 1000 an penontonya, tidak akan terlihat kalau ada
penonton. Hal tersebut disampaikan saat melihat angka calon pendaftar yang
mengisi G form pendaftaran. Ketar ketir saya berubah saat semakin dekat hari H.
Pendaftar yang mengisi form 4000 an. Ketar ketir saya bukan soal jumlah
penonton, tetapi kalau ada ribuan penonton, tetapi sajian karya belum maksimal
bagaimana. Bahkan, saat gladi bersih pun, ada beberapa pemain yang tidak hadir.
Ada juga adegan yang belum pernah dicoba dengan iringan. Gladi bersih kan
harusnya sekali tampil, apa pun yang terjadi, ya sudah ya. Ini tidak, hihi,
gladi bersih belum berjalan maksimal sebab perlu mengulang beberapa adegan agar
lebih maksimal. Saya, Bu Tri, dan Pak Hartono, memastikan beberapa adegan yang
belum fiks. Ya alhamdulillah, kami memiliki beberapa antisipasi, salah satunya,
musik yang mengikuti aktivitas di panggung, hehe. Jika kondisi panggung salah,
ya musik menyesuaikan. Pilihan bijak dari Pak Hartono saat beliau menyepakati
hal tersebut. Saya salut dengan profesionalitas dan kesungguhan beliau. Meski
durasi latihan tidak panjang, beliau tetap menyiapkan sajian musik yang tertata
dan begitu keren. Sekadar info, yang paling malam pulang selesai latihan adalah
Pak Hartono. Matur nuwun sanget Pak Har.
Saat
pementasan, kejutan terjadi. Graha Cakrawala penuh penonton. Di Google Form,
saya lihat ada 4800 an yang mengisi. Bisa jadi, sebab hanya bisa mengisi satu
kali, ada beebrapa teman atau anggota keluarga yang datang tetapi belum mengisi
form. Maka, kapasitas Graha Cakrawala yang sekitar 6000 an itu bisa tersisi
penuh. Semua urutan proses acara berjalan lancar. Secara umum, tampilan
pertunjukkan lancer dan keren. Banyak adegan yang justru jauh lebih bagus jika
dibanding latihan. Ini semakin menguatkan saya, bahwa yakin dan selalu berpikir
positif akan menghasilkan hal yang positif juga. Saya yakin, para pemain yang
sebelumnya bisa jadi belum bisa berlatih maksimal sebab kesibukan, pada hari H
akan bertanggung jawab dengan maksimal menampilkan potensi yang dimiliki. Alhamdulillah,
pagelaran lancer, teknis secara umum lancer. Baik pemain, pengirin, maupun
penontong merasa lega.

Satu
hal, penonton sebanyak itu bisa tenang menyimak keseluruhan pagelaran. Di beberapa
adegan, penonton menujukkan ekspresi suara mengikuti jalan cerita. Misal saat
Rama memenangkan sayembara, ikut bersorak, saat Jatayu dibunuh Rahwana,
penonton ikut terkejut dan teriak. Atau tawa membahana saat adegan Emban. Meski
saya yakin, tidak semua bisa leluasa jelas menyimak jalan cerita, tetapi sajian
ini masih bisa dinikmati dari keindahan koreografi dan komposisi iringannya.
Tata lampu, riaa busana, tata artistik, dan videotron pun turut mendukung
keindahan pagelaran ini.
Dalam
tulisan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak yang
sudah memberi kesempatan merasai pengalaman berharga ini. Seluruh Jajaran Rapim
UM yang menyetujui dan mendukung ide pagelaran ini, Kak Lely dan jajaran panitia
Lustrum yang sangat mendukung dan melayani. Semua pemain dan pengiring yang
sudah memberikan kemampuan yang dimiliki sepenuh cinta. Penghargaan setingginya
untuk semua pendukung. Dalam beberapa kesempatan, haru saya menyeruak saat
melihat para pejabat itu berusaha menyempatkan waktu di sela-sela aktivitas
yang sangat padat. Ada yang meminta ke saya berlatih privat atau direkam. Ini
bukti bahwa beliau-beliau ini berusaha maksimal dan profesional. Saya juga
memohon maaf yang sebesarnya apabila banyak hal yang kurang berkenan selama
proses berlangsung.

Alhamdulillah,
kolaborasi dan sinergi ini membuktikan kepada kita bahwa UM memiliki talenta-talenta
yang jika disatukan dalam sebuah karya, akan menghasilkan karya yang istimewa.
Masing-masing potensi bukanlah ancaman bagi satu dan yang lainnya, tetapi
justru sebuah entitas yang potensial untuk dikolaborasikan. Semu aini terasa
indah, sebab cintalah yang menggerakkan kita. Sebab cinta kita pada almamater
yang membuat kita rela melawan rasa ‘malu’ kita untuk mau pentas, dan
sebagainya. Semua pengorbanan semoga mendapat balasan yang indah. Semoga proses
ini bukan yang pertama dan yang terakhir. Kepada Allah kita berserah diri dan kembali.