Jangan
Ucapkan Cinta
Cerpen
Karkono Supadi Putra
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1168156/original/096912900_1457691625-ilustrasi_cerpen_warung_mas_eko.jpg)
Bagi Dina, melupakan Satria adalah hal yang teramat
sulit untuk dia lakukan.
Sepuluh tahun lebih menjalin hubungan, tentu banyak
sudah yang terjadi. Suka duka sudah dilalui dan Dina sudah sampai pada sebuah
kesimpulan: dia tidak bisa hidup tanpa Satria. Dina tidak bisa membayangkan
jika dia tidak menikah dengan Satria, betapa hidupnya serasa hampa. Dina sudah
jatuh bangun menerima semua yang ada pada diri Satria. Jamak terjadi pada
seseorang yang tengah jatuh cinta, terkadang hanya dapat melihat sesuatu yang
baik dari orang yang dicintai. Namun, tidak bagi Dina. Dia sudah hafal di luar
kepala apa dan bagaimana diri Satria. Baik dan buruk Satria sudah Dina sadari.
Dan, Dina siap menerima semua-muanya.
Dalam rentang waktu sepuluh tahun itu, Dina sering
merasai dua rasa yang berbeda. Kadang, Dina merasa teramat bahagia saat bersama
Satria. Ibarat, dia tidak pernah begitu bahagia, selain saat bersama Satria.
Hanya Satria yang mampu membuat Dina benar-benar bahagia. Namun, Dina juga
sering merasai sakit yang teramat sangat karena Satria. Dina merasa tidak
pernah merasakan sesakit yang begitu purna, kecuali sebab Satria yang
melukainya. Ringkasnya, Dina sudah melakukan apa saja demi seseorang yang
sangat dicintainya.
Namun, sesuatu telah terjadi.
Dina mendapat kabar jika Satria hendak menikah, dan
bukan dengan dirinya. Dina tak mampu lagi berkata-kata. Langit seakan runtuh.
Hanya bulir-bulir bening yang membelah pipinya. Tak perlu ditanya lagi
bagaimana sakit dalam hati Dina. Lalu, apa arti selmua ini? Apa maksud
hubungan ini? Kalau aku hanya untuk permainan, kenapa harus bertahan hingga
sepuluh tahun? Berarti selama ini, kau tidak pernah benar-benar mencintaiku?
Pertanyaan-pertanyaan itu berbelesatan dalam benak Dina.
Mendadak, rasa cinta Dina kepada Satria berubah
menjadi benci.
Dina tidak menyangka jika Satria setega itu pada dirinya.
Bayangan semua masa yang pernah dilalui bersama Satria mendadak menari-nari. Dina
begitu mencintai Satria. Namun, Satria ternyata begitu jahat pada Dina. Di
tengah kegalauan itu, sejatinya Dina masih berharap agar berita itu bohong
belaka. Dina ingin mendengar jika Satria tidak akan menikah dengan perempuan
lain. Sebab, Dina memang begitu mendamba Satria untuk menjadi suaminya.
***
Tidak berpaut lama dari saat Dina kali pertama mendengar
tentang rencana pernikahan Satria, Satria ternyata pada akhirnya benar-benar
menikah dengan perempuan lain. Serasa ribuan sembilu menggores hati Dina,
mencipta sakit yang teramat. Perih tiada terperi. Dan, Dina tidak bisa berbuat
apa-apa. Saat mengingat Satria, yang ada hanyalah dadanya yang berdetak tak
beraturan. Ada kebencian yang membuncah. Ada dendam yang ingin menggelegak
tumpah.
Namun, Dina sadar, hidup harus terus berjalan.
Perlahan Dina mulai berdamai dengan kondisinya.
Kadang, untuk menghibur luka hatinya, Dina menganggap tidak pernah ada hubungan
antara dia dan Satria. Selama ini Dina saja yang salah mengartikan hubungan
dengan Satria. Satria tidak pernah mencintainya. Perasaan seperti itu Dina
anggap lebih menyehatkan dirinya dan memudahkan Dina untuk bangkit.
Sebab apa guna juga selalu meratapi keadaan.
Pernah juga terbersit rencana dalam benak Dina untuk
melakukan kejahatan demi melampiaskan dendam pada Satria. Namun, itu urung Dina
lakukan. Untuk menepis kesepian dalam kesendirian, sering Dina menghabiskan
waktu pergi bersama sahabat-sahabatnya. Saat dalam kegalauan, sahabat
setidaknya mampu menghiburnya.
Hingga, suatu ketika, setelah berpuluh purnama
terlewat, hadir Ray dalam kehidupan Dina.
Ternyata, melupakan seseorang akan terasa lebih mudah
jika kita menemukan penggantinya. Begitu yang kini ada di benak Dina. Ray mampu
menggeser bayang-bayang Satria. Dulu, Dina memang pernah ingin melupakan Satria
saat sering Satria menyakiti Dina. Namun, Dina tidak pernah benar-benar bisa. Dina
berulang kali memaklumi kesalahan Satria dan memafkan kesalahan kecil Satria.
Hingga, yang terakhir adalah saat Satria menggores luka yang teramat dalam saat
dia menikah dengan perempuan lain. Dan, Dina hingga kini tidak pernah bisa
memafkan Satria. Pun, sepertinya Satria tidak pernah merasa bersalah. Dina
terkadang menyesali apa yang sudah terjadi, mengapa dulu dia bisa mencintai
Satria sedemikian kuat.
Namun, kehadiran Ray seolah memudahkan Dina untuk benar-benar
melupakan Satria. Dina serasa menemukan malaikat penolong hidupnya. Dari banyak
sisi, Ray memang lebih baik dari Satria. Dari segi fisik, pendidikan,
kedewasaan, bahkan soal agama. Dina bak menemukan cahaya di tengah gulita.
“Yang pasti, Ray benar-benar mencintaiku. Bagiku itu
sudah lebih dari cukup,” kata-kata Dina meluncur ringan saat ditanya Renata, salah
satu sahabat Dina. Siang itu, Dina dan Renata keluar kantor untuk makan siang.
Seperti biasa, mereka sering terlibat dalam pembicaraan yang bersifat pribadi,
termasuk soal asmara. Mereka memang tidak bekerja satu kantor, tetapi terkadang
mereka janjian untuk makan bersama saat jam istirahat. Kebetulan kantor mereka
tidak terlalu jauh.
“Gimana ceritanya sih, kamu akhirnya bisa kenal dengan
Ray?” tanya Renata penuh rasa ingin tahu.
“Kenalnya sudah lama sih, sekadar kenal. Namun, kami
sepertinya selama ini hanya sama-sama mengagumi dalam diam, hingga suatu
ketika, dia yang lebih dulu mendapatkan nomorku. Awalnya untuk urusan
pekerjaan, nara sumber artikel di majalah di kantorku. Ya, lama-lama akrab gitu
deh...”
Begitulah...
Dina kini merasa nyaman menjalin hubungan dengan Ray.
Hari-harinya penuh dengan bunga. Jika dulu, saat menjalin hubungan dengan Satria,
Dina merasa hanya Dina yang selalu menjaga agar hubungan itu tidak koyak. Dina
yang lebih banyak mengorbankan perasaan atas apa yang dilakukan Satria, demi
Satria tetap dekat dengannya. Namun, tidak dengan Ray. Ray adalah lelaki dewasa
yang tanpa sungkan mengekspresikan perasaan cintanya kepada Dina. Bahkan,
seingat Dina belum pernah sekalipun Satria mengucapkan cinta pada Dina. Beda
dengan Ray yang bahkan sejak awal sudah menyampaikan niat baiknya saat dekat
dengan Dina, sebelum keduanya bersepakat untuk menyeriusi hubungan tersebut. “Aku
ingin mencari istri, bukan pacar. Maka, aku tak perlu mengucapkan cinta
untukmu. Aku dekat kamu ini bukan untuk main-main, Dina.”
Kata-kata Ray itu yang akhirnya membuat Dina luluh.
Dekat dengan Ray memang tidak seperti saat bersama Satria. Dulu, sudah tak
terhitung berapa kali Satria dan Dina menghabiskan waktu untuk bersama: makan,
nonton, piknik, dan banyak aktivitas hura-hura yang sejatinya membuat hati Dina
resah. Namun, Ray tidak demikian. Dari Ray, Dina belajar banyak untuk bisa melewati
hari lebih sehat dan indah. Kata-kata Ray serasa nasihat dari ustadz yang kerap
Dina dengar di televisi. Bahkan, seingat Dina, belum pernah sekalipun Ray
menyentuh tangan Dina. Ah, lelaki misterius itu benar-benar menempatkan Dina
pada sebuah negeri yang hanya ada bahagia bertahta di sana.
“Na, kamu sangat beruntung bisa mendapatkan Ray. Dia itu
lelaki idaman banyak perempuan lho. Aku sempat ragu sih, masak sih kamu jadian
sama dia. Bukan apa-apa, soalnya aku lihat Ray itu kan kayaknya tidak dekat dengan
perempuan, maksudnya sangat menajga pergaulan dengan perempuan,” kata-kata
Renata sejatinya melambungkan angan Dina, menjadikan Dina serasa menjadi wanita
paling bahagia di dunia. Namun, Dina hanya menyungging senyum termanisnya demi
merespon kata-kata Renata.
“Nah, itu dia Ren... Aku juga heran. Jujur nih ya,
sejak pertama berjumpa, aku memang tertarik dengan fisiknya. Tahu kan ya...
perempuan mana sih yang tidak tergoda dengan ketampanannya. Namun, karena aku
tahu dia kayaknya takut dengan perempuan, maka aku ya biasa saja, malah
cenderung nyuekin dia saat beberapa kali berjumpa untuk urusan pekerjaan.”
“Terus?” muka Rena berbinar dan penuh keingintahuan.
“Terus tahu tidak apa alasannya dia mau dekat
denganku?”
“Apa?” sahut Renata gegas.
“Katanya sebab aku ini wanita yang paling dingin saat
dekat denagn dia. Kalau perempuan lain yang selama ini dekat denganya, entah
itu teman kuliah atau teman urusan kerja, katanya cenderung reaktif dan
cenderung agresif menggodanya. Dia justru tidak suka yang begitu...”
“Memang itu strategimu ya Na?” tanya Renata polos.
“Ih, apaan sih. Bukan lah. Mungkin, saat awal-awal
kenal dengan Ray, saat aku masih sakit sebab ditinggal nikah Satria. Jadi kesannya
memang dingin sama semua lelaki. Hihiiii. Semoga kelak berakhir bahagia, ya
Ren...”
***
Pagi hari saat langit begitu cerah membiru.
Dina buru-buru pergi ke toko buku. Dia ingin membeli
sebuah buku dan menghadiahkannya untuk Ray yang hari ini berulang tahun. Entah,
Ray berkenan atau tidak, setidaknya Dina ingin memberi tanda sayangnya pada
lelaki yang hari-hari ini bayangnya menyesaki ruang-ruang kosong khayalnya.
Suasana toko buku belum begitu ramai. Dina asyik
memilih-milih buku. Berbagai jenis buku sudah dia buka-buka dan lihat. Namun,
Dina masih bingung mau memilih buku mana yang akan dia beli untuk diberikan
pada Ray. Dina bolak balik ke sana ke mari di seluruh sudut toko. Hingga dadanya
mendadak berdetak saat dari kejauhan dia melihat Ray baru saja masuk toko. Kali
ini bukan senyum manis yang tersungging di bibir Dina saat melihat Ray, tetapi
justru hati yang berdegub sebab Ray datang bersama seorang perempuan. Dina
buru-buru menyembunyikan tubuhnya di balik sebuah rak agar Ray tidak melihatnya.
Dari kejauhan Dina mengamati Ray. Dan, Dina tahu persis siapa perempuan yang
tengah bercanda riang di sebelah Ray itu.
Dia adalah Ryana. Dina tahu persis bahwa perempuan itu
adalah Ryana, meski sudah cukup lama Dina tidak berjumpa dengannya, tetapi Dina
tidak lupa pada sosok Ryana. Dada Dina seketika sesak. Mengapa Ray bisa bersama
Ryana? Apa hubungan di antara keduanya? Mungkinkah keduanya ada hubungan
istimewa? Apakah Ray tak ubahnya dengan Satria yang akan mencipta luka di hati
Dina? Pertanyaan-pertanyaan itu menyesaki dada Dina. Melihat Ryana, gemuruh di
dada Dina kian terasa. Ryana adalah sahabat lama Dina yang pernah mencipta
cerita tak indah untuk dikenang. Dulu, mereka berdua adalah sahabat begitu dekat
sejak SMP, hingga saat mereka mengetahui bahwa mereka sama-sama mencintai
Staria, persahabatan itu kandas, tanpa penyelesaian yang tuntas.
Saat Ray dan Ryana beranjak ke salah satu sudut buku
yang jauh dari jangkauan Dina, Dina gegas beranjak meninggalkan toko buku,
tanpa membeli buku seperti yang dia rencanakan sebelumnya. Langkah kakinya
terlihat tergesa, ada mendung di kedua matanya. Mendung itu sebentar lagi akan
berubah menjadi hujan.
***
Malam hari yang berhias gerimis, Dina masih terjaga di
dalam kamarnya. Dia masih memilin-milin HP. Masih ragu untuk mengirim pesan WA
pada Ray. Memang, sejauh ini antara Dina dan Ray bisa dikatakan sangat jarang
komunikasi via WA. Tidak seperti mereka yang tengah dimabuk asmara, bisa berbusa-busa
.
Dina masih berpikir, ada hubungan apa antara Ray dan
Ryana.
Tiba-tiba, ada pesan masuk di HP-nya, dari Ray. Hati Dina
bergetar saat membaca pesan itu.
“Apakah besok siang saat istirahat bisa berjumpa?
Adikku, Ryana, katanya sangat ingin bertemu denganmu Dina. Ryana sudah cerita
semuanya tentang kalian. Percayalah, tidak ada sesuatu yang tidak bisa
diselesaikan. Aku peribadi ingin hubungan persahabatan kalian kembali seperti
semula. Mau kan?”
Mendadak, Dina merasa ada air sejuk yang menyiram
kalbunya, bak oase di gersang sahara. Sudah lama Dina juga ingin bertemu Ryana,
meminta maaf dan menjelaskan semua yang dulu pernah terjadi. Namun, kadang ego
yang lebih mendominasi hingga rencana untuk bertemu Ryana hanyalah wacana.
“Insya Allah, bisa. Mau ketemu di mana?” balas Dina.
“Di rumah makan dekat kantormu bisa. Nanti sekalian
membicarakan rencana keluargaku yang akan bertandang ke rumahmu membicarakan
pernikahan kita. Alhamdulillah, mereka setuju jika....”
Dina merasa tidak begitu jelas mendengar kata-kata Ray
selanjutnya. Tubuhnya seketika seperti kapas, ringan. Kali ini dia merasa
benar-benar bahagia yang sesungguhnya.
Selesai...
Pasuruan, 15062019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar